Saat sosiolognrl melintasi jalanan Sumba Barat Daya, mata saya terfokus pada bangunan yang berbentuk persegi yang disemen persis dekat dengan rumah penduduk. Saya pun langsung melakukan tanya jawab dengan local guide, apakah bangunan tersebut dan mendapatkan penjelasan bahwa itu merupakan pemakaman. Memang gaya pemakaman berbeda, ada yang persis seperti dolmen, ada dikeramik, dan ada yang disemen. Tergantung dari seberapa pengaruh orang yang meninggal ini terhadap masyarakat.
Bentuk pemakaman yang khas seperti dolmen atau di semen di depan rumah dalam masyarakat Sumba memiliki akar budaya dan makna filosofis yang dalam. Ini adalah bagian integral dari tradisi dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Sumba. Berikut adalah penjelasan mengapa bentuk pemakaman ini digunakan:
Dolmen sebagai Tempat Pemakaman: Dolmen adalah struktur batu yang biasanya terdiri dari tiga batu besar, dengan dua batu vertikal yang berdiri sebagai penyangga dan satu batu horizontal sebagai penutup di atasnya. Dolmen digunakan sebagai tempat pemakaman karena diyakini sebagai pintu gerbang ke dunia roh. Masyarakat Sumba percaya bahwa melalui dolmen, arwah orang yang telah meninggal akan dapat berpindah ke alam roh.
Pemakaman di Semen di Depan Rumah: Pemakaman di semen di depan rumah merupakan bagian dari tradisi Sumba yang menghubungkan hubungan antara dunia hidup dan dunia roh. Masyarakat Sumba meyakini bahwa melalui pemakaman dekat rumah, arwah orang yang meninggal dapat tetap berada di dekat keluarganya dan memberikan perlindungan serta berkah bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Hubungan dengan Leluhur: Pemakaman yang terlihat dekat atau di depan rumah juga mencerminkan pentingnya hubungan dengan leluhur. Masyarakat Sumba meyakini bahwa leluhur mereka tetap memiliki pengaruh dan peran dalam kehidupan mereka, dan dengan memakamkan orang yang meninggal di dekat rumah, mereka dapat tetap terhubung dengan leluhur tersebut.
Perlindungan dan Spiritualitas: Pemakaman di dekat rumah juga memiliki unsur perlindungan dan spiritualitas. Masyarakat Sumba percaya bahwa pemakaman yang dekat dengan rumah dapat memberikan perlindungan terhadap roh-roh jahat dan energi negatif yang mungkin datang mengganggu. Selain itu, pemakaman ini juga memungkinkan keluarga untuk terus berinteraksi dengan arwah orang yang telah meninggal melalui upacara-upacara dan persembahan.
Masyarakat Sumba memiliki kepercayaan yang kuat dengan integritas antara ikatan budaya dan spiritual yang tinggi.
Eksplor sosiologis kali ini mencoba mengunjungi kampung Praijing. Masyarakat Praijing memiliki kehidupan yang sangat terikat dengan nilai-nilai adat dan tradisi mereka. Pemukiman tradisional di sini umumnya terdiri dari rumah-rumah panggung dengan atap berbentuk perisai.
Salah satu aspek penting dari budaya Praijing adalah sistem adat yang kuat. Masyarakatnya menghormati nilai-nilai tradisional seperti gotong royong, dan sering mengadakan upacara adat dalam berbagai kesempatan penting seperti pernikahan, kematian, dan panen. Mereka juga memiliki tarian dan musik tradisional yang menjadi bagian integral dari identitas budaya mereka.
Pemakaman di Praijing dijalankan dengan ritual dan prosesi yang khusus. Biasanya, jenazah akan dikebumikan dalam sebuah kuburan yang terletak di tempat yang disucikan. Upacara pemakaman melibatkan doa-doa dan nyanyian khusus yang dipimpin oleh seorang pemimpin adat atau dukun. Selain itu, ada pula tradisi memberikan sesaji atau persembahan kepada arwah yang telah meninggal.
Praijing Village yang terletak di Desa Tebara, Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa ini terletak sekitar 3 km dari pusat Kota Waikabubak.Â
Desa ini dikenal sebagai desa wisata yang memiliki 38 rumah tradisional Sumba. Rumah-rumah adat di desa ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Lei Bangun (bagian bawah) yang digunakan untuk memelihara hewan ternak, Rongu Uma (bagian tengah) yang ditinggali oleh penghuni, dan Uma Daluku (bagian atas atau menara) untuk menyimpan bahan makanan dan alat pusaka. Bagian atas juga memiliki fungsi keagamaan sebagai tempat tinggal arwah leluhur sesuai dengan agama tradisional masyarakat Sumba yang disebut Marapu.
Sosiolognrl mencoba bertanya ke salah satu mamah tentang ikon kepala kerbau yang terpasang di selasar rumah atau di tembok depan rumah Umma Adung saat ditemui di kampungnya dia menjelaskan bahwa kepala kerbau yang sudah dikeringkan menandakan jumlah berapa ekor kerbau yang dipotong saat upacara pemakaman.Â
Umumnya antara 5 sampai 10 ekor kerbau, selain kerbau hewan yang dipotong yaitu babi. Sedangkan babi yang dipajang adalah rahang babi tersebut. Ini berfungsi sebagai penanda jumlah ekor babi yang dipotong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H