Mohon tunggu...
Nurul Hidayat
Nurul Hidayat Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sociologist and educator

Pendidik Sosiologi Global Prestasi School

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiga Pilar Disrupsi Pendidikan

21 Juli 2020   12:59 Diperbarui: 21 Juli 2020   13:00 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah satu minggu memulai tahun ajaran 2020 metode pembelajaran kami disekolah menggunakan virtual class. Kami menggunakan platform dari google seperti google meet dan aplikasi google lainnya untuk memudahkan pembelajaran kami. Saat pembelajaran tidak ada kendala internal dari guru dan murid kecuali dari eksternal yaitu internet.

Dalam pembelajaran jarak jauh terdapat tiga pilar yaitu; 

  1. pelaku pembelajaran dalam hal ini guru dan murid, tentu tidak ada guru dan murid bukanlah pembelajaran.
  2. alat pembelajaran dalam hal ini meliputi laptop atau hp, jika sebelumnnya menggunakan spidol dan kertas atau alat tulis.
  3. internet, jalur yang menghubungkan antara murid dengan guru.

Jika ketiga pilar tersebut tidak lengkap maka virtual class tidak akan pernah terjadi. Realitasnya pilar ketiga yaitu internet sebagai faktor eksternal sering mengalami kendala. Ketika kejadian salah satu ISP mengalami gangguan, virtual class langsung bubar, proses pembelajaran yang tadinya terhubung menjadi lost contact. 

Masa pandemi ini telah menggeser pola pembelajaran konvensional di kelas menjadi pembelajaran virtual melalui jaringan internet. Jika orang tua membayar SPP anaknya untuk sekolah kali ini orang tua wajib membayar lebih kouta untuk provider yang menyediakan internet. Berarti mari kita sepakati bersama bahwa internet merupakan bagian dari pendidikan era ini. 

Siapakah pemilik internet? apakah perusahaan telekomunikasi A, B, atau C. Tapi bagi saya, internet layaknya sumber daya "alam" yang dimiliki oleh siapa pun tanpa harus membayarnya. Loh kok bisa? iyalah yang kita bayar adalah infrastrukturnya.

Jika kita memiliki infrastruktur untuk mengambil jalur internet maka kita bisa melakukan pembelajaran. Analoginya seperti ini, air adalah sumber daya alam, jika kita hendak mendapatkan air, maka kita bisa menggali sungai, membeli pompa air, dan lainya seperti itu.

Maka, kita cukup mengeluarkan dana menyediakan infrastrukturnya tapi buka membeli airnya. Bagaimana dengan internet? asusmsi saya pertama, jika pendidikan dilakukan secara jarak jauh ini menjadi permanen dan tidak jelas kapan selesainya. Pemerintah harus menyediakan infrastruktur internet. Sudah ada yaitu telkom dan lainnya.

Kementerian Pendidikan punya e-raport Dapodik yang dapat diakses oleh setiap sekolah. Cuma, tidak semua sekolah tahu dan mau menggunakan e-raport itu. Sekarang manakah aplikasi yang harus ada dalam virtual class? 

  1. penyimpanan file (cloud)
  2. platform classroom
  3. video call atau conference

Apakah aplikasi di atas tersedia? jawabannya iya sudah ada dan semua bisa diakses oleh kita. Apakah aplikasi itu milik Indonesia? jawabannya "ngimpiiiiii" Indonesia punya itu. 

Kembali ke pilar ketiga, internet. Jika kita berandai-andai salah satu, satu saja, gak usah banyak banyak. Provider internet kita melalui perusahaan telekomunikasi plat merah milik BUMN bersedia untuk memfasilitasi aplikasi agar dapat diakses untuk pendidikan. Maka itu adalah topmarkotop.
Aplikasinya apa saja? penyimpanan file (cloud) khusus pendidikan cukup dengan ukuran 10GB untuk menyimpan buku digital. platform classroom, ambillah milik google classroom, bisa free akses tanpa kouta karena classroom terhubung dengan cloud maka sekalian milik google drivenya itu.

Terakhir adalah video call/conference yang bebas tanpa kouta, aplikasi seperti zoom meeting, cisco webex, atau google meet, ambil salah satu saja. Belajar tanpa tatap muka seperti makan tanpa lauk. Betul? 

Era disrupsi pendidikan akan segera terwujud, ketika ketiga pilar pembelajaran jarak jauh difasilitasi oleh negara. Jika masih menggunakan kouta, berapa banyak biaya dari guru dan murid secara tidak terhitung menguap.

Untuk mengakses video call saja bisa menghabiskan 1GB dalam waktu satu jam. Harga kouta 1GB katakanlah RP.2.000 saja. Tapi jika dilakukan berjam-jam dan berhari-hari. Berapa dana yang dikeluarkan oleh guru dan murid?

Belum lagi, sudah bayar sendiri malah gangguan. internet leletlemot. malah byarpet. 

Saya harap Menteri Pendidikan, Menteri BUMN, dan Menteri Komunikasi dan Informatika duduk bersama Presiden Jokowi membahas ketiga pilar ini. 

Maaf jika tulisan ini kurang berkenan.

Semoga pendidikan Indonesia lebih maju.

artikel ini tayang juga di socioeducation by sosiolognrl

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun