"Mas, melihat cowok gondrong berkucir aja, darah di hati ini mengalir", kata Andi, aku sampai tidak tahu apakah itu keringat atau airmata yang mengalir dari matanya.
Memang teman dia yang dipergoki tidur sama pacar barunya, gondrong. Aku tidak bisa berkata apa-apa, tercekat, dan tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali mengelus punggungnya.
Kami berjalan sedikit melambat, dan suara kaki kami dikalahkan oleh suara nafas dalam dia.
"Perasaan seperti itu selalu menghantui ku ketika bersama dia, ataupun sedang sendirian", "aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menghilangkan perasaan ini, mengatasi ini". Aku tahu selama ini, Andi selalu tidak tahu apa yang dia harus lakukan.
Dan ketika kabut gelap datang menghampirinya, dia selalu merasa tertekan, ingin lari, ingin pergi, tetapi sekali lagi cinta selalu menahannya.Â
Setelah lima tahun berjalan, Andi selalu bertahan dengan rasa sakit dan cinta, seenggaknya dia masih mempunyai cinta, masih mempertahankan cinta, walaupun begitu, dia akhirnya ditinggalkan.
Dalamnya cinta yang dia punya, menikam lagi hatinya, dan menusuk sampai dasar, "Mas, dia sudah menemukan yang dia mau, dan aku ditinggalkan, dilepas, dihempas"
"Ternyata, perjuangan, pengorbanan, Â kesetiaan, luka tidak cukup berharga dimatanya, Mas", Andi terduduk bersimpuh menangis, dan aku memeluknya, aku tahu, kebaikan gak selamanya menemukan jalan yang lapang.
Sambil bersenggukan Andi menangis, dan dalam hati aku berkata "Apakah kita harus selalu baik?
Sore itu menjadi gelap, rintik hujan mulai turun membasahi kami berdua, kami berdiri dan berjalan lagi, aku melihat wajah Andi, dan melihat Airmatanya, bercampur dengan air hujan yang mulai deras, menetes ke tanah, membasahi jalanan kami pulang.
Air bercampur airmata itu menetes, tersapu oleh kendaraan lewat, bercampur dengan debu jalan, mengalir ke sungai dan berhenti di laut keabadian.