Mohon tunggu...
Sorot
Sorot Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Resmi

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana Sorot digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel seputar rilis, serta kolaborasi dengan mitra. Email : sorot.kompasiana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penyusunan Catatan Strategis untuk APBN 2025: Menjadikan Hilirisasi dan Kemandirian Pangan sebagai Fokus Utama oleh Said Abdullah

4 Juni 2024   23:00 Diperbarui: 4 Juni 2024   23:22 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sekaligus Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Said Abdullah menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur dan hilirisasi belum mampu mengubah haluan ekonomi Indonesia agar nilai ekspor dapat lebih tinggi. 

Hal tersebut disampaikan Said dalam Rapat Penyampaian Pemerintah Atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, Selasa (4/6/2024). 

Rapat ini membahas beberapa agenda strategis yang perlu dilanjutkan oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto dalam melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. 

Berkaitan dengan hal tersebut, Said mengatakan bahwa tingkat investasi dalam menghasilkan barang dan jasa juga belum efisien. Hal tersebut turut terlihat dari angka koefisien Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang semakin naik.

"ICOR kita pada 2014 tercatat 5,5. Setelah hampir sepuluh tahun menggelorakan pembangunan infrastruktur, skor ICOR kita malah naik di kisaran 6,5 pada 2023," ujar Said dalam siaran persnya, Selasa. Bahkan, kata Said, angka ICOR negara-negara peers justru lebih rendah jika dibandingkan dengan Indonesia, seperti Malaysia di angka 4,5; Thailand di angka 4,4; Vietnam di 4,6; serta Filipina yang berada di angka 3,7. "Data itu menjelaskan, setiap penambahan Rp 1 miliar output dibutuhkan tambahan investasi sekitar Rp 6,5 miliar. Sementara negara-negara peers hanya di kisaran Rp 3-4 miliar," jelas Said. 

Menurut Said, pembangunan infrastruktur dan investasi sumber daya manusia (SDM) beserta teknologi seharusnya dapat menurunkan koefisien ICOR nasional.

Berkaitan dengan hilirisasi, Said berkata bahwa program tersebut harus dapat menjadi tumpuan untuk menjadikan Indonesia negara industri. Oleh sebab itu, hilirisasi perlu menjadi pedoman baru bagi kebijakan ekspor maupun pengelolaan devisa. Ia pun mendukung penuh agar pemerintah dapat lebih tegas dalam mengubah tata kelola devisa untuk kepentingan nasional.

 "Selama ini ekspor bahan mentah lalu beli lagi ketika menjadi barang jadi, dan puluhan tahun kita lakukan ini. Kita juga belum merasakan manfaat devisa atas hasil ekspor. Mereka mengambil kekayaan alam kita, tetapi memarkir devisanya ke luar negeri," tutur Said. 

Di samping itu, Said menyebut, insentif pajak atas kebijakan hilirisasi perlu diimbangi dengan kewajiban untuk menyerap tenaga kerja Indonesia, alih teknologi, dan memperluas cakupan industri nasional.

Hal ini bertujuan agar pengelolaan sumber daya alam dapat memberikan nilai tambah bagi kemakmuran rakyat. Tidak hanya itu, Said mengungkapkan bahwa pemerintah perlu mewaspadai adanya fenomena deindustrialisasi. 

Sebab, menurut data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), rata-rata nilai tambah manufaktur selama sepuluh tahun terakhir turun menjadi sekitar 39,12 persen hingga 2020. 

Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan masa pemerintahan Presiden Megawati yaitu berada di angka 43,94 persen dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berada di angka 41,64 persen.


"Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini," kata Said.

Selain hilirisasi, Said berpendapat bahwa masalah lain yang perlu menjadi catatan bagi pemerintahan selanjutnya adalah berkaitan dengan kemandirian pangan dan energi, yang bahkan belum tercapai sejak Nawacita 1. 

Ia menuturkan, sejak 2007 hingga saat ini, food trade deficit Indonesia semakin dalam, bahkan sempat menyentuh 5,3 miliar dollar Amerika Serikat pada tahun lalu. 

Hal serupa pun turut terjadi pada sektor energi. Said menyampaikan, sejak 2003 konsumsi minyak bumi Indonesia lebih besar dibandingkan dengan produksi dalam negeri. 

"Tahun lalu tingkat konsumsi minyak bumi kita lebih dari 1.000.000 barel per hari. Sementara itu, kapasitas produksi dalam negeri hanya sekitar 600.000 barel per hari, itupun sebagian hak kelolaan perusahaan minyak asing," ucapnya.

Said pun berharap pemerintah mampu memberikan perhatian khusus terkait beberapa problem fundamental yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi Makro serta Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025 tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun