Sebab, menurut data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), rata-rata nilai tambah manufaktur selama sepuluh tahun terakhir turun menjadi sekitar 39,12 persen hingga 2020.Â
Angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan masa pemerintahan Presiden Megawati yaitu berada di angka 43,94 persen dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berada di angka 41,64 persen.
"Situasi ini menjadi tanda deindustrialisasi dini, oleh sebab itu pemerintah harus mewaspadai hal ini," kata Said.
Selain hilirisasi, Said berpendapat bahwa masalah lain yang perlu menjadi catatan bagi pemerintahan selanjutnya adalah berkaitan dengan kemandirian pangan dan energi, yang bahkan belum tercapai sejak Nawacita 1.Â
Ia menuturkan, sejak 2007 hingga saat ini, food trade deficit Indonesia semakin dalam, bahkan sempat menyentuh 5,3 miliar dollar Amerika Serikat pada tahun lalu.Â
Hal serupa pun turut terjadi pada sektor energi. Said menyampaikan, sejak 2003 konsumsi minyak bumi Indonesia lebih besar dibandingkan dengan produksi dalam negeri.Â
"Tahun lalu tingkat konsumsi minyak bumi kita lebih dari 1.000.000 barel per hari. Sementara itu, kapasitas produksi dalam negeri hanya sekitar 600.000 barel per hari, itupun sebagian hak kelolaan perusahaan minyak asing," ucapnya.
Said pun berharap pemerintah mampu memberikan perhatian khusus terkait beberapa problem fundamental yang telah dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah dan Kebijakan Ekonomi Makro serta Pokok Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2025 tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H