Mohon tunggu...
Sorot
Sorot Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Resmi

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana Sorot digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel seputar rilis, serta kolaborasi dengan mitra. Email : sorot.kompasiana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tidak Bisa Diabaikan, Hilirisasi Tunjukkan Dampak Positif pada Neraca Perdagangan Indonesia

6 Januari 2024   14:25 Diperbarui: 6 Januari 2024   14:32 2953
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS/RIZA FATHONI

Kompasiana -- Mohammad Faisal selaku Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) menilai bahwa kebijakan hilirisasi mulai memberikan manfaat positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Tak hanya itu, ia pun menyoroti perubahan struktur ekspor Indonesia, yang semula fokus pada ekspor komoditas beralih menjadi ekspor manufaktur. 

"Struktur ekspor Indonesia berubah sejak ada hilirisasi sehingga ekspor produk olahan nikel meningkatkan jenis ekspor untuk logam dasar. Itu masuk kategori manufaktur yang memberikan nilai tambah dibanding ekspor barang mentah," kata Faisal kepada Media Center Indonesia Maju. 

Faisal membenarkan bahwa ekspor kita mulai merasakan manfaat dari hilirisasi walaupun tingkat pengolahannya masih dalam tahap awal dan masih harus disempurnakan lagi potensinya. Namun, ia menilai bahwa hal itu sudah lebih baik dibandingkan ketika kita hanya mengekspor barang mentah.

"Kalau kita puas dan stop di sini, justru negara lain yang akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Artinya, hilirisasi ini harus terus diolah," tambah dia. 

Peraih gelar doktor dari Universitas Queensland itu menyatakan, hilirisasi memang kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang. Jika pemerintah terus menggeber surplus neraca perdagangan dengan mengekspor barang mentah, maka Indonesia akan kehilangan daya tawar dan kesempatan emasnya untuk menjadi negara besar di masa depan. 

"Hilirisasi mungkin membuat kita rugi jangka pendek karena ada ekspor yang tereduksi. Tapi, jangka panjangnya, kita akan punya produk dengan nilai tambah yang lebih besar. Kalau kalkulasi dagang, hilirisasi akan jauh lebih untung daripada jual barang mentah," beber dia. 

Faisal pun menambahkan, bahwa apabila hilirisasi ditunda dengan alasan mengekspor raw material, maka keputusan ini bukanlah keputusan yang baik karena sumber dayanya lama-kelamaan akan habis.

"Semakin banyak yang diekspor barang mentah, semakin sedikit kita merasakan nilai manfaatnya. Secara kuantitas dan peluang investor datang akan semakin kecil, karena hilirisasi jadi tidak menarik lagi," sambung Faisal.

Dia pun tidak menampik munculnya resistensi dari sejumlah negara yang menentang kebijakan hilirisasi. Oleh karenanya, alumni Institut Teknologi Bandung itu mengusulkan dua hal supaya kebijakan hilirisasi tidak mengganggu neraca perdagangan. 

Pertama, pemerintah harus menentukan sektor hilirisasi prioritas karena Indonesia memiliki segudang potensi hilirisasi, mulai dari sektor energi, perikanan, pertanian, hingga kehutanan. Namun, kalkulasi pasar dan permintaan harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan sektor apa yang akan menjadi senjata andalan Indonesia. 

"Makanya nikel dan electric vehicle itu mungkin paling menjanjikan karena kalkulasi market dan permintaannya ada. Jadi kita harus menentukan hilirisasi prioritas, tidak bisa semuanya bersamaan," ungkap Faisal. 

Adapun usulan kedua adalah pemerintah harus siap bertarung di arena politis melalui platform diplomasi perdagangan. Sebab, hilirisasi sama saja memberikan restriksi atau proteksi terhadap suatu komoditas, yang mungkin saja negara lain memberikan respons serupa kepada Indonesia. 

"Setiap ada hilirisasi, pasti ada larangan ekspor. Nah di situ lah harus ada kesiapan trade diplomacy karena akan sangat lumrah ketika negara protes atau men-challenge kebijakan hilirisasi, dan itulah fakta yang kita hadapi dengan negara lain," papar Faisal. 

Maka, untuk mengoptimalkan hilirisasi, praktiknya tidak dapat digerakkan parsial hanya bisnisnya. Baik investasi, perdagangan, maupun diplomasi harus dilaksanakan secara bersamaan.

Salah satu peluang hilirisasi di masa depan bisa dilihat dari PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan "harta karun" yang masih tersimpan di Grasberg Papua. Untuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang diperpanjang dari 2018 hingga 2024, PTFI optimistis bisa menyetorkan hingga Rp1.200 triliun ke negara. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun