Kompasiana -- Mohammad Faisal selaku Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) menilai bahwa kebijakan hilirisasi mulai memberikan manfaat positif terhadap neraca perdagangan Indonesia. Tak hanya itu, ia pun menyoroti perubahan struktur ekspor Indonesia, yang semula fokus pada ekspor komoditas beralih menjadi ekspor manufaktur.Â
"Struktur ekspor Indonesia berubah sejak ada hilirisasi sehingga ekspor produk olahan nikel meningkatkan jenis ekspor untuk logam dasar. Itu masuk kategori manufaktur yang memberikan nilai tambah dibanding ekspor barang mentah," kata Faisal kepada Media Center Indonesia Maju.Â
Faisal membenarkan bahwa ekspor kita mulai merasakan manfaat dari hilirisasi walaupun tingkat pengolahannya masih dalam tahap awal dan masih harus disempurnakan lagi potensinya. Namun, ia menilai bahwa hal itu sudah lebih baik dibandingkan ketika kita hanya mengekspor barang mentah.
"Kalau kita puas dan stop di sini, justru negara lain yang akan mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Artinya, hilirisasi ini harus terus diolah," tambah dia.Â
Peraih gelar doktor dari Universitas Queensland itu menyatakan, hilirisasi memang kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang. Jika pemerintah terus menggeber surplus neraca perdagangan dengan mengekspor barang mentah, maka Indonesia akan kehilangan daya tawar dan kesempatan emasnya untuk menjadi negara besar di masa depan.Â
"Hilirisasi mungkin membuat kita rugi jangka pendek karena ada ekspor yang tereduksi. Tapi, jangka panjangnya, kita akan punya produk dengan nilai tambah yang lebih besar. Kalau kalkulasi dagang, hilirisasi akan jauh lebih untung daripada jual barang mentah," beber dia.Â
Faisal pun menambahkan, bahwa apabila hilirisasi ditunda dengan alasan mengekspor raw material, maka keputusan ini bukanlah keputusan yang baik karena sumber dayanya lama-kelamaan akan habis.
"Semakin banyak yang diekspor barang mentah, semakin sedikit kita merasakan nilai manfaatnya. Secara kuantitas dan peluang investor datang akan semakin kecil, karena hilirisasi jadi tidak menarik lagi," sambung Faisal.
Dia pun tidak menampik munculnya resistensi dari sejumlah negara yang menentang kebijakan hilirisasi. Oleh karenanya, alumni Institut Teknologi Bandung itu mengusulkan dua hal supaya kebijakan hilirisasi tidak mengganggu neraca perdagangan.Â
Pertama, pemerintah harus menentukan sektor hilirisasi prioritas karena Indonesia memiliki segudang potensi hilirisasi, mulai dari sektor energi, perikanan, pertanian, hingga kehutanan. Namun, kalkulasi pasar dan permintaan harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan sektor apa yang akan menjadi senjata andalan Indonesia.Â