Proses persidangan Pasca Persidangan Perbaikan Permohonan menuju Pemeriksaan Persidangan dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden terkesan terlalu lama, bahkan memakan waktu hingga 2 (dua) bulan, yakni pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan 1 (satu) bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.Â
Meskipun hal ini tidak melanggar hukum acara baik yang diatur di dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi. Namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).
Terkait RPH, Arief menyebut Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH untuk tiga perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.Â
Alasan kala itu untuk menghindari konflik kepentingan karena kerabat Ketua MK berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo.Â
Namun demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 dengan isu konstitusionalitas yang sama, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar "dikabulkan sebagian".
"Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar. Tindakan Ketua ini kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, tanggal 21 September 2023, Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan alasan kesehatan dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu," urai Arief.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menegaskan jika Mahkamah mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi adalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai "legislating or governing from the bench" tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient reason) dalam batas penalaran yang wajar.Â
Hal ini menjadikan Mahkamah masuk sangat jauh dan begitu dalam kepada salah satu dimensi dan area yang paling fundamental bagi terselenggaranya kekuasaan legislatif yang baik dan konstitusional, yakni fungsi representasi parlemen sebagai salah satu refleksi serta implementasi utama dari prinsip "kedaulatan rakyat" sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, jelas Wahiduddin, Mahkamah dalam rangka memeriksa, mengadili, dan memutus perkara ini seharusnya (sekali lagi) meyakinkan kepada publik dan khususnya Pemohon bahwa adakalanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu diselenggarakan dalam bentuk "kemerdekaan untuk tidak melakukan sesuatu" (The Dont's; judicial restraint) yang secara manusiawi memang relatif lebih sulit untuk dilakukan, sebab manusia memang secara alamiah cenderung lebih tertarik untuk melakukan sesuatu ketimbang menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. "Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak Permohonan Pemohon," ujarnya.
Kemudian pendapat berbeda juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo yang berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo.Â
Sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbedanya dalam putusan permohonan a quo.