Mohon tunggu...
Sophia Jasmine
Sophia Jasmine Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Justitiae non est neganda, non differenda

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Kebijakan Publik dalam Penggusuran Tanah

17 Desember 2023   10:56 Diperbarui: 17 Desember 2023   11:00 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kebijakan publik merupakan kewenangan pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya dalam hubungannya dengan masyarakat dan dunia usaha yang berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat). Penjabaran Kebijakan Publik menjadi suatu keputusan diimplementasikan dalam peraturan negara, yaitu UU no. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 

Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan Fungsi Pemerintahan adalah melaksanakan pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan. Salah satu fungsi tersebut yaitu pembangunan diantaranya dapat berupa pembuatan infrastruktur, peremajaan kota dan atau pengelolaan risiko bencana. 

Fungsi Pemerintahan ini dilakukan dalam bentuk Tindakan Pemerintahan yang bersifat konkret dan terkait salah satunya dengan tindakan penggusuran. Adapun Pemerintah berdalih mendasarkan melakukan penggusuran dimaksudkan baik sebagai upaya penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum melalui PP no. 30 tahun 2014 ataupun tindakan yang diambil sebagai upaya penertiban atas pemakaian tanah negara tanpa izin berdasarkan Perppu no. 51 tahun 1960.

Penggusuran secara umum diartikan tindakan pengusiran dan merobohkan bangunan yang dilakukan secara paksa oleh pihak berwenang. Akibat yang ditimbulkan dari penggusuran paksa adalah pemindahan individu sampai dengan skala komunitas warga masyarakat. 

Kalau kita melihat lagi penjelasan diawal bahwa normatif Kebijakan Publik untuk kepentingan masyarakat, maka bagaimana terhadap masyarakat yang tergusur tersebut dan apakah ini justru untuk kepentingan masyarakat lainnya dalam artian terbagi dimana ada satu/beberapa kelompok masyarakat yang dirugikan dan ada kelompok lainnya diuntungkan. Ini akan terlihat pemerintah justru tidak melaksanakan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, karena Tindakan Administrasi Pemerintahan melalui penggusuran paksa menuai kontroversi dan dapat memunculkan isu-isu terkait hak asasi manusia, keadilan sosial, dan perlindungan masyarakat yang rentan.

Penggusuran tidak hanya terjadi di negara Indonesia, tetapi juga oleh pemerintah di luar negeri karena memang pada dasarnya ada kesamaan terhadap prinsip penguasaan tanah oleh negara dimana selanjutnya negara memandang perlu pemanfaatan tanah untuk menciptakan tata ruang wilayah yang maksimal dan baik. 

Namun implementasinya juga kadang berbentuk penggusuran paksa. Melihat hal yang mendasar atas perlindungan yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia ini, maka PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki peran dan tujuan penting dalam menjaga perdamaian, keamanan dunia, mengembangkan kerja sama internasional, dan memajukan hak asasi manusia. Melalui Committee on Economic, Social, and Cultural Rights dalam Poin Ketiga General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant):

Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.

Penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.

Oleh karena penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang kemudian lebih lanjut dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights”/pelanggaran HAM berat.

UUD 1945 menyebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dan terhadap penggusuran dilakukan untuk kepentingan pengadaan tanah untuk pembangunan, maka penggusuran tersebut harusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 

Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Pemberian ganti kerugian dapat ,diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Dalam banyak kasus, penggusuran masih dilakukan tanpa diimbangi dengan langkah-langkah yang memastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak menerima kompensasi yang adil, mendapatkan penggantian tempat tinggal, dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga apabila penggusuran dilakukan tanpa ganti kerugian, maka masyarakat dapat menggugat pemerintah secara perdata atas perbuatan melawan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Gugatan atas penggusuran ini pernah dilakukan terhadap pemerintah atas Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat cq. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air cq. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadan. Gugatan masyarakat ini didasarkan bahwa masyarakat mengalami kerugian materiil dan imateriil dan tidak mendapatkan ganti kerugian. Masyarakat dimenangkan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selanjutnya Kementerian yang tidak puas melakukan Banding. Namun Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak ada lanjutan upaya hukum dari Para Pihak ke Mahkamah Agung. 

Kenyataannya banyak masalah yang timbul seperti telah dilakukan penggusuran sedangkan masih dalam sengketa, pemukim liar yang telah berpuluh tahun mendiami tanah negara, pengusiran sepihak antar warga dll. Terlihat Tindakan Pemerintah yang didasarkan pada tujuan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dalam penjabarannya dapat menjadi hal yang tidak diinginkan dan kadang jauh dari yang diharapkan atau dapat dikatakan terjadi dilema efisiensi tujuan dengan penerapan keadilan. 

Di awal dimaksudkan untuk pembangunan dan pemanfaatan tanah demi fungsi sosial, namun kemudian terjadi kenyataan penggusuran paksa. Untuk itu sekali lagi pemerintah sebagai penyusun Kebijakan Publik harus menerapkan langkah-langkah yang baik apalagi berbagai peraturan terkait telah memberikan landasan yang jelas bertindak.

Akhir kata sebagaimana adagium yang menyebutkan ”Gouverner c’est prevoi” atau menjalankan pemerintahan berarti melihat kedepan dan menjalankan apa yang harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya diharapkan di masa yang akan datang tidak ada lagi kasus penggusuran yang terkesan sebagai Kebijakan Pemerintah yang justru merugikan masyarakat, tetapi melainkan pemanfaatan yang nyata terasa bagi masyarakat dan dijalankan dengan dasar keadilan dan kesepakatan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun