Kebijakan publik merupakan kewenangan pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya dalam hubungannya dengan masyarakat dan dunia usaha yang berorientasi pada kepentingan publik (masyarakat). Penjabaran Kebijakan Publik menjadi suatu keputusan diimplementasikan dalam peraturan negara, yaitu UU no. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dalam Pasal 1 angka 1 dinyatakan Fungsi Pemerintahan adalah melaksanakan pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan. Salah satu fungsi tersebut yaitu pembangunan diantaranya dapat berupa pembuatan infrastruktur, peremajaan kota dan atau pengelolaan risiko bencana.
Fungsi Pemerintahan ini dilakukan dalam bentuk Tindakan Pemerintahan yang bersifat konkret dan terkait salah satunya dengan tindakan penggusuran. Adapun Pemerintah berdalih mendasarkan melakukan penggusuran dimaksudkan baik sebagai upaya penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum melalui PP no. 30 tahun 2014 ataupun tindakan yang diambil sebagai upaya penertiban atas pemakaian tanah negara tanpa izin berdasarkan Perppu no. 51 tahun 1960.
Penggusuran secara umum diartikan tindakan pengusiran dan merobohkan bangunan yang dilakukan secara paksa oleh pihak berwenang. Akibat yang ditimbulkan dari penggusuran paksa adalah pemindahan individu sampai dengan skala komunitas warga masyarakat.
Kalau kita melihat lagi penjelasan diawal bahwa normatif Kebijakan Publik untuk kepentingan masyarakat, maka bagaimana terhadap masyarakat yang tergusur tersebut dan apakah ini justru untuk kepentingan masyarakat lainnya dalam artian terbagi dimana ada satu/beberapa kelompok masyarakat yang dirugikan dan ada kelompok lainnya diuntungkan. Ini akan terlihat pemerintah justru tidak melaksanakan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, karena Tindakan Administrasi Pemerintahan melalui penggusuran paksa menuai kontroversi dan dapat memunculkan isu-isu terkait hak asasi manusia, keadilan sosial, dan perlindungan masyarakat yang rentan.
Penggusuran tidak hanya terjadi di negara Indonesia, tetapi juga oleh pemerintah di luar negeri karena memang pada dasarnya ada kesamaan terhadap prinsip penguasaan tanah oleh negara dimana selanjutnya negara memandang perlu pemanfaatan tanah untuk menciptakan tata ruang wilayah yang maksimal dan baik.
Namun implementasinya juga kadang berbentuk penggusuran paksa. Melihat hal yang mendasar atas perlindungan yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia ini, maka PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki peran dan tujuan penting dalam menjaga perdamaian, keamanan dunia, mengembangkan kerja sama internasional, dan memajukan hak asasi manusia. Melalui Committee on Economic, Social, and Cultural Rights dalam Poin Ketiga General Comment No. 7 on the Right to Adequate Housing (Article 11(1) of the Covenant):
Forced eviction is “the permanent or temporary removal against their will of individuals, families and/or communities from the homes and/or land which they occupy, without the provision of, and access to, appropriate forms of legal or other protection.
Penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Oleh karena penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”) yang kemudian lebih lanjut dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights”/pelanggaran HAM berat.
UUD 1945 menyebutkan dalam Pasal 28H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dan terhadap penggusuran dilakukan untuk kepentingan pengadaan tanah untuk pembangunan, maka penggusuran tersebut harusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.