Mohon tunggu...
Sophia Jasmine
Sophia Jasmine Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Justitiae non est neganda, non differenda

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Larangan Perkawinan Hukum Perdata Islam di Indonesia

9 November 2022   10:08 Diperbarui: 9 November 2022   10:15 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Larangan perkawinan hukum perdata islam di indonesia:

Hukum perkawinan Islam didasarkan pada suatu asas yang disebut asas pilihan. Implikasi dari asas ini adalah bahwa seseorang yang ingin menikah harus terlebih dahulu memilih siapa yang akan dinikahi dan siapa yang tidak akan dinikahi. Bahkan hukum adat diketahui memiliki larangan pernikahan yang lebih spesifik melampaui apa yang diatur oleh agama atau perundang-undangan. Dalam masyarakat Minang, eksogami suku dan eksogami kampung berlaku. Artinya, orang-orang dari suku yang sama tidak dapat menikah di negara yang sama, seperti halnya orang-orang dari kampung yang sama tidak dapat menikah di kampung mereka sendiri. Perkawinan sesuku tidak dianggap baik karena menyiratkan perkawinan antar keturunan dan dapat disebut kejahatan komunitas atau incest.

Dalam hukum Islam disebut juga dengan hukum larangan nikah dan disebut dalam fikih mahram (siapa yang diharamkan menikah). Di masyarakat, istilah itu selalu disebut Muhrim, yang kurang tepat. Muhrim artinya seorang suami yang melarang istrinya untuk menikah dengan laki-laki lain ketika dia masih menikah atau ketika dia masih dalam iddha Talak Raj'i Muhrim juga digunakan untuk menyebut mereka yang sedang ihram.

Ulama fikih membagi mahram ini pada 2 macam. Pertama, disebut menjadi mahram mu'aqqat (larangan untuk waktu tertentu) dan yang kedua merupakan mahram mu'abbad (larangan untuk selamanya). Wanita yang haram dinikahi untuk waktu yang selamanya terbagi ke pada tiga kelompok. Yaitu, perempuan -perempuan seketurunan (al-muharramat min an-nasab), perempuan -perempuan sepersusuan (al muharramat min ar-rada'ah), dan yang terakhir merupakan perempuan-perempuan yang haram dikawinin lantaran interaksi persemendaan (al-muharramat min al-musaharah). Dalam hal larangan perkawinan ini agaknya al Quran memberikan aturan yang tegas dan jelas pada surah an-Nisa ayat 22-23 Allah SWT.

Berpijak dari ayat ini maka para ulama membuat rumusan-rumusan yang lebih sistematis:

1.Pertalian nasab (hubungan darah)

a.Ibu, nenek (dari garis ibu atau bapak) dan seterusnya.

b.Anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah.

c.Saudara perempuan sekandung. Seayah dan seibu.

d.Saudara perempuan ibu (bibi atau tante)

e.Saudara perempuan bapak (bibi atau tante)

f.Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung

g.Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah

h.Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.

i.Anak perempuan saudara perempuan sekandung

j.Anak perempuan saudara perempuan seayah

k.Anak perempuan saudara perempuan seibu.

2.Karena hubungan semenda

a.Ibu dari istri (mertua)

b.Anak (bawaan) istri yang telah dicampuri (anak tiri)

c.Istri bapak (ibu tiri)

d.Istri anak (menantu)

e.Saudara perempuan istri, adik, atau kakak ipar selama dalam ikatan perkawinan.

3.Karena pertalian sepersusuan

a.Wanita yang menyusui seterusnya ke atas.

b.Wanita sepersusuan dan seterusnya menurut garis ke bawah.

c.Wanita saudara sepersusuan dan kemanakan sesusuan ke bawah.

d.Wanita bibi sesusuan dan bibi sesusuan ke atas.

e.Anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

Perspektif UU No 1/1974

Uu no 1/1974, larangan perkawinan telah diatur dengan jelas yang terdapat dalam pasal 8 yang menyatakan:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

1.Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.

2.Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3.Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu ibu/bapak tiri.

4.Berhubungan dengan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara sesusuan dan bibi/paman susuan.

5.Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

6.Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang dilarang kawin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun