Mereka sengaja dibentuk sehubungan dengan kepentingan lain untuk mendukung kegiatan bisnis Wajib Pajak di luar kepentingan perpajakan. Ambil contoh pengenaan PPN tarif 0% untuk kegiatan ekspor objek PPN ke luar negeri.Â
Di satu sisi, kebijakan ini membuat produk dalam negeri dapat bersaing di pasaran internasional namun di sisi lain berpotensi menimbulkan restitusi yang mengurangi penerimaan pajak.
Kembali lagi ke pertanyaan: How Aggressive is Too Aggressive? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut penulis, terletak pada seberapa jauh ketentuan perpajakan suatu negara mengatur definisi agresif itu sendiri.
Di dalam konteks Indonesia, secara eksplisit undang-undang perpajakan yang saat ini berlaku telah memberikan keterangan dan rujukan soal kondisi yang bisa dimanfaatkan untuk menerapkan perencanaan pajak.
Dua di antara contohnya adalah Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh tentang pembebanan biaya untuk mengurangi laba kotor/ omset. Selain itu ada pula pasal 18 UU PPh yang mengatur dan memberikan petunjuk soal definisi transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa/ terafiliasi.
Permasalahannya, meski secara eksplisit celah-celah tersebut dapat diketahui dan dimanfaatkan, Wajib Pajak secara kreatif dapat menciptakan kondisi-kondisi yang pada akhirnya membuat mereka menikmati celah tersebut untuk mencapai tujuan efisiensi beban pajak tersebut.
Apakah hal tersebut dibenarkan? Jawabannya iya, jika dilihat secara profesional menurut ketentuan perpajakan dan praktik bisnis yang diperkenankan.
Solusi Jangka Panjang Demi Keadilan
Menyelesaikan permasalahan dalam penerapan Tax Planning adalah pekerjaan rumah yang terus menerus harus dilakukan pemerintah. Hal ini dikarenakan skema bisnis Wajib Pajak akan terus berkembang seiring kemajuan zaman dan dunia usaha.Â
"Semangat untuk mengumpulkan dana bagi belanja negara harus beriringan dengan introspeksi dan pembaharuan yang terus menerus seiring dengan bisnis yang semakin berkembang."Â
Kecepatan pemerintah mengidentifikasi pola transaksi dan kreatifitas Wajib Pajak dalam memanfaatkan celah kebijakan perpajakan harus lebih unggul daripada kemampuan Wajib Pajak mengembangkan pola-pola dan skema yang baru, atau setidaknya sama.
Dengan kemampuan yang memadai, maka pemerintah akan mampu memagari niat agresif Wajib Pajak dalam menyusun skema Tax Planning bagi bisnisnya.Â