"This is the conundrum that gives rise to the issue of tax avoidance: Although governments always seem to lack sufficient funds to support the needs of society, tax codes are often written that offer "a way out" of paying taxes for some but not all constituents. The ways out are referred to as loopholes that allow taxpayers to avoid taxes." --Dinah M. Payne & Cecily A. Raiborn
Aggressive Tax Planning: Meninjau Kembali Batas Kewajaran yang Diperkenankan
Tax Planning (Perencanaan Pajak) dalam skema transaksi antara perusahaan dalam satu grup merupakan satu bagian penopang dari sebuah skema besar dengan tujuan untuk mengoptimalkan laba kegiatan bisnis tersebut. Ia mencakup perhitungan dengan seksama soal bagaimana suatu lini atau lokasi difungsikan untuk mendukung tujuan tertentu.
Ada satu lini dijalankan sebagai pusat biaya, pemasok bahan baku, ada pula yang menjalankan fokus penjualan dan pemasaran, atau ada juga yang hanya menyokong bagian yang tidak signifikan seperti administrasi dan pembukuan.
Namun demikian, di manapun fungsi-fungsi itu dijalankan, ia adalah bagian dari praktik bisnis yang wajar yang tidak bisa serta merta dianggap merugikan meskipun ia berdampak buruk pada rendahnya pajak yang harus dibayar.Â
Sebab Tax Planning diterapkan oleh manajemen setelah menimbang banyak celah yang bisa dioptimalkan di suatu negara atau yurisdiksi, termasuk Indonesia.Â
Lantas kapan sebuah Tax Planning dikatakan agresif? Atau dengan kata lain: How Aggressive is Too Aggressive?
Konsep Dasar Agresif dalam Tax Planning
Tax Planning pada dasarnya berkutat pada tiga hal yaitu: menunda, mengurangi, dan atau menghapus beban pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah.Â
Ketentuan perpajakan setiap negara selalu memiliki celah yang secara sah, kreatif, dan profesional dapat dioptimalkan untuk menjalankan tiga hal yang telah disebutkan tadi. Celah-celah yang menjadi pintu masuk penerapan Tax Planning bukan hal yang dengan sengaja tanpa perhitungan dibiarkan pemerintah.
Mereka sengaja dibentuk sehubungan dengan kepentingan lain untuk mendukung kegiatan bisnis Wajib Pajak di luar kepentingan perpajakan. Ambil contoh pengenaan PPN tarif 0% untuk kegiatan ekspor objek PPN ke luar negeri.Â
Di satu sisi, kebijakan ini membuat produk dalam negeri dapat bersaing di pasaran internasional namun di sisi lain berpotensi menimbulkan restitusi yang mengurangi penerimaan pajak.
Kembali lagi ke pertanyaan: How Aggressive is Too Aggressive? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut penulis, terletak pada seberapa jauh ketentuan perpajakan suatu negara mengatur definisi agresif itu sendiri.
Di dalam konteks Indonesia, secara eksplisit undang-undang perpajakan yang saat ini berlaku telah memberikan keterangan dan rujukan soal kondisi yang bisa dimanfaatkan untuk menerapkan perencanaan pajak.
Dua di antara contohnya adalah Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh tentang pembebanan biaya untuk mengurangi laba kotor/ omset. Selain itu ada pula pasal 18 UU PPh yang mengatur dan memberikan petunjuk soal definisi transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa/ terafiliasi.
Permasalahannya, meski secara eksplisit celah-celah tersebut dapat diketahui dan dimanfaatkan, Wajib Pajak secara kreatif dapat menciptakan kondisi-kondisi yang pada akhirnya membuat mereka menikmati celah tersebut untuk mencapai tujuan efisiensi beban pajak tersebut.
Apakah hal tersebut dibenarkan? Jawabannya iya, jika dilihat secara profesional menurut ketentuan perpajakan dan praktik bisnis yang diperkenankan.
Solusi Jangka Panjang Demi Keadilan
Menyelesaikan permasalahan dalam penerapan Tax Planning adalah pekerjaan rumah yang terus menerus harus dilakukan pemerintah. Hal ini dikarenakan skema bisnis Wajib Pajak akan terus berkembang seiring kemajuan zaman dan dunia usaha.Â
"Semangat untuk mengumpulkan dana bagi belanja negara harus beriringan dengan introspeksi dan pembaharuan yang terus menerus seiring dengan bisnis yang semakin berkembang."Â
Kecepatan pemerintah mengidentifikasi pola transaksi dan kreatifitas Wajib Pajak dalam memanfaatkan celah kebijakan perpajakan harus lebih unggul daripada kemampuan Wajib Pajak mengembangkan pola-pola dan skema yang baru, atau setidaknya sama.
Dengan kemampuan yang memadai, maka pemerintah akan mampu memagari niat agresif Wajib Pajak dalam menyusun skema Tax Planning bagi bisnisnya.Â
Pemerintah juga sebaiknya mulai menimbang untuk memberikan batasan yang tegas mengenai agresifitas Tax Planning yang dinilai merugikan kepentingan negara.
Batas ini merujuk pada ruang yang secara tegas tidak boleh dimanfaatkan Wajib Pajak untuk kepentingan efisiensi beban pajak selain ruang-ruang yang memang sudah disediakan untuk dioptimalkan secara legal.
Namun demikian, pembatasan yang dilakukan pemerintah juga harus diiringi dengan penegakan hukum yang kuat dan pengawasan yang memadai. Tanpa dua hal ini maka aturan-aturan yang diterbitkan demi memagari ruang gerak bisnis yang agresif tersebut tidak akan manjur dalam penerapannya di lapangan.
Dari uraian dan ilustrasi di dalam artikel ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa batas agresifitas dalam penggunaan Tax Planning bagi Wajib Pajak adalah pada seberapa jauh Wajib Pajak menciptakan sistem atau lingkungan demi mengoptimalkan kepentingan efisiensi beban pajak tersebut.
Ketika konstruksi-konstruksi tersebut menyalahi aturan yang berlaku maka di saat itu, dapat dikatakan Tax Planning yang mereka jalankan menyalahi aturan yang berlaku.Â
Oleh sebab itu, agresif atau tidaknya sebuah Tax Planning bersifat subjektif. Tergantung di negara atau yurisdiksi mana bisnis tersebut dilakukan dan seberapa ketat batasan-batasan Tax Planning yang diperkenankan di negara tersebut.
Tidak ada agresivitas dalam Tax Planning, meskipun merugikan kepentingan dalam negeri suatu negara, jika memang tidak ada ketentuan hukum yang membatasi skema yang dijalankan Wajib Pajak.
Oleh sebab itu, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi secara komprehensif atas kebijakan dalam merespon makin masifnya praktik Tax Planning yang menjurus ke agresif demi kepentingan penerimaan pajak yang optimal.Â
Sebab semangat untuk mengumpulkan dana bagi belanja negara harus beriringan dengan introspeksi dan pembaharuan yang terus menerus seiring dengan bisnis yang semakin berkembang.
Catatan:
Penulis bekerja sebagai ASN Ditjen Pajak dan opini ini adalah murni pandangan pribadi penulis sehingga tidak berkaitan dengan sikap atau pandangan tempat di mana penulis bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H