Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Negara Vs Pandemi Covid-19, Pajak Bisa Apa?

14 Juni 2020   15:44 Diperbarui: 14 Juni 2020   15:42 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah tiga bulan lebih, negara ini bergelut dengan pandemi yang disebabkan SARS-CoV-2. Banyak hal yang lumpuh dibuatnya. Kita bisa jadi terkaget-kaget melihat banyak grafik soal lapangan pekerjaan atau aktivitas ekonomi yang menukik tajam lurus hingga ke titik negatif yang disajikan banyak lembaga. 

Efek pandemi ini nyata, terasa, dan kasat mata, meski ia sendiri dipicu oleh mahluk kecil yang tak kasat mata. Begitu pula dampaknya terhadap perpajakan. Ekonomi yang melambat adalah pangkal muasal bagaimana pandemi bisa berpengaruh terhadap kinerja perpajakan.

Sederhananya, aktivitas ekonomi yang melemah atau bahkan stagnan/mundur dapat membuat bisnis dan sosial terhenti sehingga masyarakat tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. 

Ketika beberapa waktu lalu diberitakan bahwa jumlah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan per 1 Mei 2020 mengalami penurunan sebesar 9,43% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2019 dan Penerimaan Pajak Triwulan I 2020 mencapai Rp 241,6 Triliun atau baru 14% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau minus 2,5 persen jika dibandingkan periode yang sama, boleh jadi dampak pandemi sudah mulai terlihat menjalari aspek kepatuhan formil dan materil perpajakan. 

Ini, tentu saja, bukan perkara sederhana sebab pajak adalah sumber penghidupan bagi negara untuk menjaga seluruh rakyatnya.

Pemerintah sigap dalam merespon fenomena ini dan kita masih beruntung sebab kita bukan satu-satunya negara yang terdampak Pandemi COVID19. Ada 188 negara yang mengalami perkara serupa menurut John Hopkins University & Medicine. 

Ini berarti bahwa ada kesempatan bagi pemerintah untuk menengok pola penanganan dan antisipasi yang dapat dilakukan berkenaan dengan kebijakan di bidang perpajakan. Dan saya cukup yakin bahwa pemerintah kita telah melakukan itu. 

Data dari Organisasi Kerjasama di Bidang Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada 13 kebijakan berkenaan dengan aspek perpajakan yang dijalankan banyak negara di dunia ini (Accelerate or enhanced tax depreciation provisions, Change in VAT rates, CIT rate reductions, Enhanced tax refunds, More flexible tax debt repayments, PIT rate reductions, Reduced tax rates for bonuses, extra hours worked, Tax filing extension, Tax filing extension and tax payment deferral, Tax payment deferral, Tax waivers, , Enhanced loss offset provisions, & Other). 

Indonesia telah menerapkan 5 dari kebijakan tersebut (CIT rate reductions, Enhanced tax refunds, Tax payment deferral, Tax waivers, & Other) yang dituangkan dalam 10 peraturan (1 Undang-Undang, 5 Peraturan Menteri Keuangan, 2 Peraturan Dirjen Pajak, dan 2 Keputusan Dirjen Pajak). 

Semangat dari penerapan kebijakan tersebut adalah sebagai bentuk bukti upaya negara melindungi segenap warga negara agar dapat bertahan secara ekonomi selama menghadapi masa Pandemi COVID19. Itu mengapa, konten utama dari kebijakan yang diterbitkan ini cuma berkutat pada dua hal yakni insentif dan relaksasi.

Pajak berperan penting sebagai bantalan sekaligus katalis (faktor yang mempercepat suatu proses suatu aktivitas) dalam menjaga kualitas hidup masyarakat semasa pandemi. 

Pajak hadir melalui insentif bagi dunia usaha maupun rumah tangga berupa keringanan membayar atau pembebasan sementara sampai dengan jangka waktu tertentu. Keringanan membayar tercermin dari pengurangan pajak bulanan PPh Pasal 25 sebesar 30%. 

Adapun untuk Wajib Pajak kecil/ kriteria UMKM, pemerintah bahkan membebaskan dari kewajiban membayar PPh Pasal 4 Ayat 2 yang lazimnya ditetapkan senilai 0,5% dari omset/bulan. 

Pajak juga hadir melalui skema Ditanggung Pemerintah (DTP) khusus untuk PPh Pasal 21 bagi karyawan dengan penghasilan kotor maksimal Rp200.000.000.- per tahun yang diterima dari pemberi kerja dengan jenis usaha yang diperkenankan (total ada 1.062 klasifikasi lapangan usaha menurut PMK-44/PMK.03/2020). 

Dengan skema DTP, karyawan dengan kriteria dimaksud dapat menerima semacam bantuan tunai sebesar Pajak Penghasilan yang seharusnya setiap bulan dipotong pemberi kerja. 

Tambahan penghasilan ini diharapkan mampu memberi sokongan bagi karyawan tersebut untuk tetap dapat hidup cukup semasa kondisi sulit akibat pandemi. 

Selain itu terdapat pula Pembebasan PPh Pasal 22 Impor dan Restitusi PPN Dipercepat untuk nilai Restitusi maksimal s.d. Rp5 Milyar untuk Pengusaha Kena Pajak Risiko Rendah. 

Untuk dapat menggelar sederet insentif perpajakan ini, pemerintah menyediakan dana sekitar Rp123 Triliun atau setara kurang lebih 18% dari total belanja insentif di bidang ekonomi yang dianggarkan pemerintah untuk mencegah dampak kerugian akibat Pandemi COVID19.

Pandemi COVID19 memaksa pemerintah melakukan penyesuaian soal pola interaksi petugas pajak dan Wajib Pajak serta soal bagaimana keduanya menjalankan tugas dan peran masing-masing. 

Adaptasi akibat pandemi ini terwujud dalam sejumlah kebijakan semisal: Pembatasan Layanan Tatap Muka, Relaksasi Pelaporan SPT Tahunan PPh Badan (Pelonggaran Lampiran Wajib), dan Perpanjangan Batas Waktu Selama 6 Bulan Untuk Penyampaian Permohonan & Proses Penyelesaian Keberatan. 

Kebijakan relaksasional sejenis ini adalah sisi lain dari fungsi pajak yang dapat mengambil peran untuk mencegah penyebaran COVID19 melalui pembatasan interaksi, pemakluman administratif akibat dampak pandemi, dan semangat untuk mendukung di masa sulit bagi satu sama lain. 

Kombinasi peran pajak sebagai pemberi sokongan material dan pengatur perilaku di masa pandemi, sejatinya adalah peran yang tidak sederhana. Pajak berperan untuk membantu masyarakat kelompok rentan agar mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan mendasar melalui berbagai skema selain insentif langsung di bidang perpajakan. 

Hal ini dapat berlangsung karena pemerintah memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan program tersebut melalui ketersediaan anggaran di dalam APBN. 

Kelompok rentang mencakup masyarakat golongan menengah ke bawah yang penghasilan atau pekerjaanya terdampak semasa pandemi akibat pemutusan hubungan kerja, dirumahkan sementara, atau pemangkasan jam kerja/ pengurangan penghasilan. 

Namun di sisi lain, meski tengah dalam keadaan sulit, pajak juga tetap harus mampu menjalankan fungsinya mengumpulkan uang bagi negara agar daya topang yang tadi disebutkan dapat berlangsung dengan baik.

Semakin kuat kontribusi pajak dalam APBN, maka makin mampu negara bertahan dan menang melawan Pandemi COVID19. Berbagai skema perlindungan sosial dan penanggulangan di lapangan akan dapat berjalan dengan baik manakala pemerintah memiliki sokongan dana yang memadai. 

Maka dalam posisi sekarang ini, ketika negara diposisikan berhadapan dengan pandemi yang menggulung ekonomi, pajak melalui berbagai kebijakan strategis dapat dihadirkan sebagai sarana untuk memenangkan laga negara melawan SARS-CoV-2. 

Keberadaan strategis pajak sebagai instrumen yang sah untuk negara mengumpulkan uang di masa pandemi juga harus dijalankan dengan adil dan hati-hati. 

Strategi ini mencakup upaya penagihan pajak kepada Wajib Pajak yang memiliki tunggakan pajak namun dengan kriteria terbatas pada Wajib Pajak yang terkena dampak minimal akibat pandemi, pengawasan pajak secara intensif kepada Wajib Pajak pribadi pemilik bisnis dengan kategori terdampak rendah akibat pandemi, termasuk pula di dalamnya adalah evaluasi pemenuhan kewajiban perpajakan kelompok tersebut sepanjang 5 tahun ke belakang. 

Ketiga langkah ini perlu dijalankan demi mengganti penerimaan pajak yang hilang akibat gelontoran insentif (revenue forgone) dan untuk mendukung pendapatan negara tetap tersedia di saat-saat kritis. 

Semangat menjalankan fungsi pajak untuk menopang anggaran negara juga harus berpijak pada upaya untuk memperluas basis pemajakan, sehingga ketika pemerintah mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN atas Perdagangan Melalui Saranan Elektronik) 10% atas barang digital dari luar negeri patut dipahami sebagai bagian dari langkah tersebut.

Pajak akhirnya kita pahami bukan semata melalui ekonomi tetapi justru lewat pandemi. COVID19 menyadarkan kita bahwa risiko negara berhadapan dengan suatu hal yang tidak terduga bukanlah suatu hal yang jauh dan tidak akan terjadi. 

Negara, tidak peduli apapun perihal itu, tentu akan tetap menimbang cara dan strategi demi melindungi segenap warga negaranya. Melalui berbagai skema dan mekanisme, Pajak hadir sebagai tameng pelindung yang disediakan pemerintah dalam menjalankan misi tersebut. 

Di titik inilah kita kemudian memahami bahwa penerimaan pajak harus terus diperkuat demi mengantisipasi berbagai kemungkinan yang tidak diduga di masa mendatang. 

Melalui upaya pembangunan kesadaran untuk patuh dan taat pajak, perluasan basis pemajakan dan intensifikasi area pemajakan, dan menjadikan pajak sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat (Inklusi Kesadaran Pajak), kita menemukan jalan dapat memahami bahwa pajak adalah wujud kepedulian kita sebagai sesama manusia, sebagai bagian bersama suatu bangsa, dan pada akhirnya sebagai kontribusi yang bisa kita berikan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi kemudian. 

Sebab bukan sejarah negara yang kalah digempur pandemi yang ingin kita wariskan kepada anak cucu kita nanti, melainkan negara yang tetap berdiri tegar menatap masa depannya, dan di bawah naungan negara yang demikianlah kita membangun solidaritas bersama bernama Indonesia.

Referensi Bacaan:

  1. Policy Tracker among countries: https://www.oecd.org/tax/tax-and-fiscal-policies-central-to-governments-responses-to-covid-19-crisis.htm
  2. Tax Administration Responses to COVID-19: https://read.oecd-ilibrary.org/view/?ref=126_126478-29c4rprb3y&title=Tax_administration_responses_to_COVID-9_Measures_taken_to_support_taxpayers
  3. Tax Policy in Indonesia by Tax Officials DGT: https://www.pajak.go.id/covid19
  4. Collecting Taxes During an Economic Crisis : Challenges and Policy Options: https://www.imf.org/en/Publications/IMF-Staff-Position-Notes/Issues/2016/12/31/Collecting-Taxes-During-an-Economic-Crisis-Challenges-and-Policy-Options-23092
  5. Tax and Fiscal Policy in Response to the Coronavirus Crisis: Strengthening Confidence and Resilience: https://read.oecd-ilibrary.org/view/?ref=128_128575-o6raktc0aa&title=Tax-and-Fiscal-Policy-in-Response-to-the-Coronavirus-Crisis

P.S:

Gambar diambil dari sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun