(Memoar 6 Bulan Gugurnya Parada- Soza, 12 April 2016-12 Oktober 2016)
Enam bulan tanpa terasa sejak Parada & Soza tiada.
Menyisakan ingatan tentang patriot yang gugur muda demi penerimaan negara.
Lakon dursila itu tentu tidak perlu ada jika kepatuhan sukarela terpelihara.
Nyawa mereka adalah harga teramat mahal yang harus dibayar negara.
Lalu kita pun bertanya: “Sudahkah negara menghargai pengorbanan keduanya?”
Belakangan pikiran tentang Parada dan Soza kerap muncul dalam benak saya. Pertanyaan soal seberapa mahal nyawa mereka ditakar negara terus bergelayut meminta jawaban. Sebab kematian keduanya terlalu mahal untuk berlalu begitu saja tanpa makna. Dibutuhkan nyawa Parada dan Soza untuk membuka mata kita bahwa soal kesadaran masyarakat terhadap pajak dapat berbuah petaka. Tiga bulan sejak tragedi itu, negara merilis kebijakan Amnesti Pajak. Kehadirannya didapuk sebagai solusi minimnya kepatuhan pajak di negeri ini. Triwulan pertama setelah berlaku, Amnesti Pajak dinilai sukses dan bertabur puja puji khalayak. Di titik ini ada harapan bahwa negara serius berbenah dari titik tragedi yang dialami mendiang Parada dan Soza.
Momentum Perbaikan
Periode Amnesti Pajak merupakan momentum untuk membangun kesadaran masyarakat dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Keduanya esensial untuk mendukung keuangan negara yang mandiri dan sehat. Tidak ada kemandirian fiskal jika tingkat paritisipasi masyarakat dalam sistem perpajakannya minim. Partisipasi ini meliputi kesadaran untuk membayar pajak dengan benar, mendaftarkan diri untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara sukarela, dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar, lengkap, dan jelas.
Apa yang terjadi pada Parada dan Soza adalah dampak dari absennya satu dari tiga butir partisipasi itu. Pajak secara ironis justru dianggap sebagai musuh bagi bisnis karena dianggap mengganggu. Kebijakan Amnesti Pajak yang membebaskan pengenaan dengan tarif normal adalah momentum rekonsiliasi untuk memperbaiki keadaan itu. Melalui pemaafan itu, wajib pajak dan masyarakat dirangkul untuk diterima dengan mengakui semua kekhilafan yang telah diperbuat. Sehingga hubungan yang harmonis wajib pajak-masyarakat dengan negara bukan lagi hal yang terlalu utopis.
Pesan Tunggal
Pajak telah lama menjadi kekuatan dalam memenuhi tuntutan pembangunan. Oleh sebab itu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas perpajakan harus dibentuk menjadi apa yang disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) sebagai organisasi dengan kepercayaan diri (confidence),dapat dipercaya(trust),dan memiliki kredibilitas. Tiga nilai yang ia yakini ampuh menghindarkan Indonesia dari defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Namun hal ini menuntut proses panjang sehingga harus diiringi dengan sistem pengawalan yang baik. Cerita duka Parada dan Soza sejatinya membawa pesan pengawalan itu. Bahwa masih ada hal yang harus diperbaiki untuk mencapai mimpi mengangkat marwah DJP lebih tinggi. Hal itu adalah dengan merancang DJP menjadi otoritas yang kuat dan memiliki kapasitas yang cukup. Dan bila mau melihat dengan jujur, kebijakan Amnesti Pajak dapat difungsikan untuk mendukung upaya itu.
Amnesti Pajak dan elegi Parada-Soza adalah dua hal yang saling berkaitan. Bila mangkatnya Parada dan Soza memantik upaya untuk berbenah, maka Amnesti Pajak merupakan jawaban atas pantikan itu. Tetapi jawaban tersebut belum benar-benar sempurna jika negara belum bisa membaca dan memahami satu pesan tunggal yang dibawa keduanya yaitu: penguatan otoritas pajak mutlak dan mendesak.
Catatan:
Gambar diambil dari halaman: www.kompasiana.com/rafaelayuningtyas/ode-untuk-parada_571729c3507a612b07033f10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H