Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Money

Quo Vadis Wacana Otonomi Ditjen Pajak

1 Agustus 2016   20:52 Diperbarui: 2 Agustus 2016   07:20 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ditulis dari hasil pemikiran bersama antara Erikson Wijaya & Anandita Laksmi

Anjuran pemberian status otonomi dan fleksibilitas fungsi kepada otoritas perpajakan suatu negara sudah banyak tersebar di sejumlah hasil studi para peneliti. Namun demikian asumsi bahwa kedua hal tersebut mampu menyelesaikan semua permasalahan dalam administrasi perpajakan masih saja menjadi pertanyaan. Arthur Mann (2004) dalam penelitiannya mengenai pembentukan lembaga perpajakan yang semi otonom (Semi Autonomous Revenue Authorities/ SARA) sebagai solusi penyelesaian permasalahan administrasi perpajakan di sejumlah negara berkembang menyimpulkan bahwa: “SARAs have not proven to be quick-fix panaceas.” Signifikansi manfaatnya menurut Mann baru hanya pada terbentuknya landasan untuk mewujudkan administrasi perpajakan yang efisien. Lantas mau dibawa kemana wacana otonomi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang timbul tenggelam beberapa tahun belakangan?

Dalam Catatan Sejarah

Dalam 15 tahun terakhir, banyak negara memberikan otoritas perpajakannya status otonomi (dengan level yang berbeda-beda) sebagai bagian dari program reformasi fiskal di negara masing- masing. Meskipun belum ada penilaian global yang komprehensif sebagai evaluasi atas implementasi model tersebut dalam mendukung pencapaian tujuan reformasi yang dikehendaki (Kidd dan Crandall, 2006). Di Indonesia, sejak sebelum tahun 1980an sampai dengan akhir tahun 2000an reformasi perpajakan yang terkait dengan perbaikan fungsi kelembagaan (capacity strengthening) diwakili oleh sejumlah program asistensi teknis (technical assistance) yang diberikan oleh lembaga donor (DAS, WB, IMF, JICA, USAID, HIID, dan JBIC). Mukhammad Faisal Artjan dalam papernya yang berjudul Developing State Capacity in Indonesia (2011) menyebutkan bahwa penguatan kelembagaan melalui asistensi teknis tersebut dapat dikategorikan menjadi empat fokus yaitu: Level Organisasi, Level Individu, Sistem pada Level Makro, dan Sistem pada Level Mikro. Artjan juga telah mengimplikasikan bahwa Indonesia tidak pernah secara legal memasukkan atau menerima wacana menjadikan otonomi sebagai suatu kemungkinan opsi solusi. Dalam catatan dari masa ke masa terdapat sejumlah aksi riil yang telah dilaksanakan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan perpajakan/fiskal di Indonesia yang tercermin dari sejumlah program sebagai berikut:

  • Economic Stabilization Program(1960an s.d. awal 1980an) & General Participation Training (1967-1981)

Kebijakan ini didanai oleh Development of Advisory Services (DAS) dengan maksud untuk membantu pemerintah Indonesia kala itu untuk memformulasikan kebijakan ekonomi agar tercipta perekonomian yang stabil dan menjadikan kesempatan boomingharga minyak mentah sebagai landasan penguatan ekonomi yang berkelanjutan. Program ini berfokus utama pada Sistem pada Level Makro sehingga praktis belum menyentuh level penguatan organisasi perpajakan secara kelembagaan. Kala itu, secara organisasional penguatan kelembagaan baru terwakili oleh program pengembangan sumber daya manusia yang bernama General Participation Training(didanai oleh USAID tahun 1967-1981).Namun tema besar dari program tersebut adalah perbaikan kondisi ekonomi pada sistem di level makro, belum ke level organisasi.

  • The Need for Economic Policy Reforms(1980an s.d. pertengahan 1990an

Didanai oleh DAS yang kemudian berganti nama menjadi HIID (Harvard Institute for International Development), program ini dinamai Fiscal Reform Project (FRP) dengan sasaran utama reformasi ditujukan untuk mewujudkan hukum dan ketentuan perpajakan yang sederhana, perluasan basis pemajakan, peningkatan keadilan fiskal, dan perombakan tarif pajak dalam rangka mengikuti praktik internasional yang lazim digunakan. Keluaran dari program reformasi ini adalah sejumlah Undang-Undang (UU) perpajakan, termasuk implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang baru pertama kali diadopsi di Indonesia. Penguatan secara kelembagaan melalui program ini diwujudkan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang potensial melalui penyediaan pendidikan dan pelatihan di luar negeri. Program reformasi ini berhasil menciptakan stabilitas fiskal karena berhasil menutup celah korupsi yang mengurangi realisasi penerimaan pajak sampai akhirnya Indonesia dihantam krisis global pada tahun 1997-1998. Hingga titik ini belum ada pemikiran untuk menempatkan DJP sebagai lembaga terpisah dari struktur Kementerian Keuangan dalam kerangka penguatan fiskal.

  • The Need for Overcoming Financial Crisis Impact(awal2000an)

Dampak krisis global hingga awal tahun 2000an membuat perekonomian Indonesia dibawah supervisi International Monetary Fund (IMF) yang diwujudkan dengan ditandatanganinya Letter of Intent(LOI) dan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) pada tahun 2000. Ketentuan didalam kesepakatan tersebut telah menempatkan IMF sebagai perumus kebijakan fiskal Indonesia kala itu. Rumusan tersebut berlaku dalam skala luas dalam konteks keuangan negara termasuk Reformasi Administrasi Perpajakan yang jamak dikenal dengan istilah Modernisasi Ditjen Pajak. Hasil modernisasi Ditjen Pajak kala itu adalah pembentukan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar (LTO) yang khusus melayani 200 (dua ratus) Wajib Pajak terbesar di Indonesia sebagai pilot project. Struktur organisasi LTO disusun berdasarkan anjuran IMF untuk mengedepankan fungsi organisasi yang terintegrasi tanpa tersekat oleh jenis-jenis pajak tertentu. Kebijakan ini kemudian meleburkan sejumlah organisasi operasional DJP (Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pemeriksaan Pajak, dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) menjadi satu Kantor Pelayanan Pajak. Agenda besar kebijakan modernisasi ini adalah menciptakan organisasi yang berorientasi pelayanan kepada Wajib Pajak dan mencegah korupsi yang selama terbentuk akibat tidak adanya transparansi melalui pemisahan fungsi yang ada di model struktur sebelumnya. Sebagaimana sudah disebutkan bahwa meski status otonomi dapat menjadi landasan untuk membantu organisasi mewujudkan kedua tujuan tersebut, anjuran dari IMF kala itu belum memasukkan resep untuk memberikan status otonomi bagi DJP. Secara resmi, baru sekitar satu dekade kemudian IMF mulai merekomendasikan opsi pemberian status otonomi sebagai salah satu opsi solusi yang dapat dicoba lembaga publik, jauh setelah intervensi fiskalnya di Indonesia berakhir. Praktis, sampai dengan era 2000an pemikiran mengenai pemisahan DJP sebagai lembaga otonom belum begitu berkembang.

  • The Need for Sustainable Tax Reform (akhir2000an)

Reorganisasi di internal tubuh DJP mulai berakhir pada tahun 2008 dimana seluruh unit kerja di Indonesia telah berjalan dengan struktur modernisasi. Reformasi kemudian dilanjutkan ke tahap dua melalui proyek yang dinamai Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR) dengan fokus utamanya adalah peningkatan kepatuhan Wajib Pajak melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi dan penguatan mekanisme transparansi dan akuntabilitas untuk mewujudkan tata kelola organisasi DJP yang baik. PINTAR merupakan asistensi teknis pada Sistem pada Level Mikro dan Level Individual. Program asistensi teknis ini didanai oleh Bank Dunia (World Bank) melalui pinjaman senilai US$ 110 juta. Ada empat komponen utama program ini yaitu 1) peningkatan efisiensi pengumpulan dan manajemen data wajib pajak melalui peningkatan daya dukung infrastruktur teknologi informasi. 2) manajemen dan pengembangan sumber daya manusia yang diwujudkan dengan penyediaan dana beasiswa dan perbaikan sikap mental dan komitmen untuk anti-korupsi. 3) penguatan operasional menajemen kepatuhan atas beberapa aspek inti seperti pemeriksaan pajak dam penagihan tunggakan pajak, terakhir 4) manajemen perubahan, yang disiapkan dalam rangka menciptakan mekanisme komunikasi dan sosialisasi yang efektif untuk mendukung keberhasilan PINTAR itu sendiri. Dari keempat komponen tersebut, tampak jelas bahwa kedua tujuan program yang hendak dicapai melalui PINTAR tidak dicobakan melalui wacana otonomisasi. Bank Dunia selaku lembaga donor tidak merekomendasikan opsi tersebut sebagai kemungkinan langkah yang bisa diambil sehingga di tingkat pimpinan, pembahasan mengenai wacana pemisahan bukan suatu topik utama. PINTAR sendiri pada akhirnya tidak jadi dijalankan di Indonesia setelah melalui berbagai pertimbangan.

Jalan Terjal Menuju Ideal

Dari ulasan mengenai catatan sejarah diatas diketahui bahwa meskipun upaya untuk menjadi lembaga dengan status otonom tidak pernah menjadi langkah resmi yang dimunculkan pemerintah (setidaknya sampai dengan akhir 2000an) namun pada akhirnya wacana tersebut mulai mengemuka kembali setelah sejumlah tokoh masyarakat, peneliti, dan akademisi mengemukakan pendapatnya beberapa waktu belakangan. Gus Sholah pada awal 2016 dalam suatu opininya yang berjudul “Pajak dan Masa Depan Indonesia” menyatakan bahwa: “pembentukan badan perpajakan bisa mendorong tercapainya reformasi birokrasi di instiusi perpajakan secara maksimal”. Opini Gus Sholah sejalan dengan hasil penelitian Mann (2004) bahwa: “They do provide a platform from which tax administration efficiencies can be generated, but their mere establishment offers no guarantee of success.” Senada dengan itu, Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana juga memandang bahwa dengan masih berada dibawah struktur Kementerian Keuangan maka itu menunjukkan bahwa tata kelola organisasi DJP masih tradisional sehingga menyulitkan dalam melaksanakan tugas yang memiliki urgensi besar. “Seharusnya Ditjen Pajak berada langsung dibawah Presiden sehingga keputusanya tidak mudah dipengaruhi oleh pihak lain.” Demikian Haula Rosdiana mengemukakan pendapatnya. Secara eksplisit Haula menjelaskan bahwa dengan menjadi otonom tidak ada jaminan semua masalah dalam administrasi perpajakan akan selesai tetapi setidaknya mekanisme itu menjanjikan suatu kemudahan dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas yang begitu vital bagi negara. Opini mengenai peningkatan status DJP sebagai badan otonom juga dilemparkan oleh Yustinus Prastowo, Director of Center of Indonesian Taxation Analysis (CITA), dalam tulisannya yang dimuat harian Kompas pada medio tahun ini. Ia menyatakan bahwa salah satu agenda mendesak terkait reformasi perpajakan adalah pembentukan Badan Penerimaan Pajak.

Pertanyaan mendasar mengenai urgensi keberadaan lembaga otonom dapat dikaji melalui penjabaran yang diuraikan oleh William Crandall (2010) bahwa pada prinsipnya otonomi dapat menuntun pada perbaikan performa sebab model otonom memungkinkan organisasi untuk menghapus semua hal yang menghambat terwujudnya manajemen organisasi yang efektif dan efisien dengan mengedapankan semangat transparansi dan akuntabilitas. Disaat yang sama, Crandall juga menyatakan bahwa hal-hal yang menghambat tersebut secara dominan menganggu kinerja pencapaian penerimaan pajak. Model otonomi menyediakan landasan prinsip untuk mewujudkan administrasi perpajakan yang efisien demi meningkatkan kinerja tersebut. Alink dan van Kommer (2011) menyebutkan bahwa pilar utama efisiensi dalam administrasi perpajakan adalah: 1) kebijakan perpajakan yang befokus pada Wajib Pajak 2) spesialisasi sumber daya manusia berdasarkan sektor-sektor industri tertentu 3) independensi yang cukup dari Kementerian Keuangan demi menjauhkan organisasi dari campur tangan politik dan bebas dalam menentukan kebijakan mengenai manajemen sumber daya manusia dan perencanaan strategis lainnya.

Namun tentu saja jalan untuk mewujudkan visi ideal yang dikemukakan sejumlah tokoh diatas tidaklah mudah. Panjang dan berliku. Ada proses yang melibatkan senyawa aspek politik dan ekonomi yang menyertainya. Untuk menjadi otonom, dibutuhkan dasar hukum atau legal baseyang mampu menopang keberlangsungan Semi Autonomous Revenue Agency/Autonomous Revenue Agency atau yang biasa disingkat dengan SARA/ARA (istilah DJP yang semi otonom/otonom) dalam jangka panjang. Dasar hukum itu adalah Undang-Undang yang merupakan proses legislasi hasil interaksi (dan transaksi) politik yang tidak sederhana. Meski bisa saja diwujudkan melalui Keputusan Presiden namun recommended best practicemenyarankan agar SARA/ARA berdiri diatas UU (Taliercio, 2004). SARA/ARA yang ideal juga selayaknya jauh dari intervensi politik yang biasanya sangat sulit dihindari dalam environment negara berkembang. Untuk mewujudkan hal ini, maka bentuk hukum yang paling baik adalah status otonomi penuh dengan kebebasan di sejumlah aspek strategis. Namun patut diingat bahwa status tersebut membutuhkan pengawasan yang kuat dan dukungan elemen lain untuk mewujudkan tata kelola yang efisien dan efektif sebagaimana sudah diantisipasi oleh Alink dan van Kommer melalui Handbook of Tax Administration (2011).

Pelajaran dari Peru, Tanzania, Guetamala, Ecuador, dan Malaysia

Penyajian hasil studi atas kebijakan implementasi SARA/ARA di sejumlah negara Amerika Latin dalam artikel ini dimaksudkan untuk memaparkan bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap performa otoritas perpajakan terkait. Sejumlah negara tersebut adalah: Peru, Tanzania, Guetamala, Ecuador, dan Malaysia.

Peru

Jejak implementasi SARA di negara Peru dapat ditelusuri dari tahun 1991 ketika pemeritah kala itu memberlakukan remunerasi yang signifikan terhadap sistem kompensasi kepada pegawainya dan menerapkan manajemen sumber daya manusia yang kompetitif (open competitive exams that was offered to old employees and outside newcomers). SARA di negeri Peru dibentuk dengan nama SUNAT (Superintendencia Nacional de Administración Tributaria). Kebijakan ini mendorong tingginya tingkat persaingan dan kesempatan untuk mengajukan pemberhentian diri dengan hormat. Kala itu, jumlah petugas pajak dapat dipangkas hingga seperempat. Pendanaan SUNAT berasal dari 2% hasil pemungutan pajak yang dikumpulkan. Implementasi SUNAT pada tahun 1991 telah memperbaiki kinerja perpajakan negara Peru pada akhir tahun 1992. Dampak positif yang terasa cepat ini dimungkinkan karena adanya status otonomi pada SUNAT yang memungkinkan dapat dilaksanakannya sejumlah inovasi.

Signifikansi dampak implementasi SUNAT terasa pada awal-awal periode 1992-1997. Rasio Pajak negara Peru mencapai rata-rata hingga 14.80%, dua tingkat diatas Rasio Pajak pra implementasi SUNAT yang hanya di kisaran 12.30%. Pada saat yang sama SUNAT berhasil menambah jumlah Wajib Pajak dari hanya 895.000 di tahun 1993 hingga mencapai 1.8 juta di akhir tahun 1997. Jumlah ini terus meningkat hingga 2.66 juta sampai akhir tahun 2003. Namun demikian, performa ini berjalan tidak konsisten memasuki tahun 1999 yang ditandai dengan terus menurunnya Rasio Pajak menjadi 14.20% dibawah rata-rata 1992-1997. Hal ini disebabkan karena SUNAT beroperasi tanpa adanya pengawasan yang cukup dari pihak eksternal. SUNAT tidak mengadopsi rekomendasi praktsis terbaik yang dianjurkan yakni melibatkan pihak pengawas eksternal. Ini mendorong masuknya kepentingan politik, penyimpangan integritas aparat, dan potensi konflik dengan Kementerian Keuangan. Konflik tersebut muncul karena tidak adanya penegasan mengenai bagaimana seharusnya kebijakan perpajakan seharusnya dirumuskan. Di Peru, kebijakan perpajakan dirumuskan oleh tim analis kebijakan Kementerian Keuangan yang kerap kali lemah dalam analytical skill(tidak otonomi sepenuhnya sebagaimana direkomendasikan) tanpa melibatkan perwakilan SUNAT itu sendiri. 

SARA di Peru kini bernama ADUANAS (hasil penggabungan tahun 2002 antara otoritas pajak yang bernama SUNAT (Superintendencia Nacional de Administración Tributaria) dan otoritas bea cukai yang benama SUNAD (Superintendencia Nacional de Administración Duane)). Fusi ini merupakan mandat legislatif yang didasari semangat untuk mengoptimalkan proses perturkaran data demi penerimaan negara. Namun demikian ada aspek kultural dan psikologis yang diabaikan dalam proses ini, kedua instansi ini memiliki sejarah, budaya, dan fungsi yang sangat berbeda. Sehingga apabila perbedaan-perbedaan ini tidak dijembatani terlebih dahulu maka tujuan dibalik penggabungan tersebut tidak akan terwujud. Hal ini sepatutnya menjadi pertimbangan dan pelajaran bagi Indonesia yang kini tengah menapaki wacana untuk menjadikan Ditjan Pajak menjadi instansi setara LPNK (setara SARA) dengan model yang hampir sama dengan SUNAT di Peru.

Tanzania

Tanzania Revenue Authority (TRA) dengan model SARA didirikan tahun 1995 dan mulai efektif beroperasi tahun 1996. Sebelum TRA berdiri, administrasi perpajakan Tanzania identik dengan lemahnya kapasitas kelembagaan dan tingginya tingkat penghindaran pajak dengan Rasio Pajak terendah sepanjang 1990-1995 di antara negara Sub Sahara Afrika. TRA terbentuk setelah Tanzania menjalankan sejumlah program reformasi di bidang perpajakan. TRA sama seperti halnya SUNAT di Peru, bukan suatu model otonomi penuh karena mekanisme penganggaran masih mengikuti kebijakan pemerintah berdasarkan anggaran tahunan. Namun dalam hal tata kelola TRA lebih baik karena dijalankan oleh Dewan Direksi yang diwakili oleh sejumlah pihak yang berkepentingan. Sementara dalam hal sumber daya manusia, keduanya sama yakni memberikan remunerasi pada sistem kompensasi kepada pegawainya dan menerapkan manajemen sumber daya manusia yang kompetitif.

Meski demikian, TRA mengalami permasalahan akut yang menyebabkan implementasi SARA tidak berdampak signifikan dalam waktu yang cepat. Tanzania memiliki basis pemajakan yang sangat sempit dimana lebih dari 50% Pendapatan Domestik Brutonya berasal dari sektor agrikultur yang termasuk kategori hard-to-tax sector. Rasio Pajak Tanzania tidak terkoreksi positif secara signifikan pada tahun-tahun awal implementasi (bahkan cenderung turun). Seiring implementasi TRA di Tanzania, banyak permasalahan mendasar yang tidak terselesaikan dan mempengaruhi kinerja TRA secara berkelanjutan. Pertama dan utama adalah adanya inkonsistensi dalam menjalankan ketentuan perundangan perpajakan. Ini berkaitan dengan kapasitas sumber daya manusia di level menengah ke bawah yang kurang kompeten dalam melakukan fungsi pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum perpakakan. Perbaikan besaran penghasilan yang diberikan TRA kepada pegawainya tidak otomatis berdampak pada perbaikan kinerja karena memang implementasinya tidak diiringi atau diawali dengan penguatan keahlian sumber daya manusia di dalamnya. Seiring waktu karena tergerus persaingan dan inflasi perbaikan penghasilan tersebut menjadi tidak relevan dan banyak pegawainya yang terjerat perilaku korup. Hal ini menyebabkan Wajib Pajak lebih leluasa melakukan kecurangan (fraud) yang pada gilirannya merugikan penerimaan negara.

Namun demikian, implementasi TRA memberi pijakan bagi Tanzania untuk memperkenalkan suatu reformasi administrasi perpajakan, pengembangan dan implementasi unique taxpayer identification number (TIN), pendirian sejumlah LTO (seperti di Indonesia), penyeragaman mekanisme banding (appeal) pada Wajib Pajak, komputerisasi sistem pembayaran pajak, dan penyederhanaan Pajak Penghasilan pada Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM). Oleh sebab itu hikmah utama dari apa yang dijalankan di Tanzania bagi Indonesia adalah bahwa reformasi, apapun bentuknya, terhadap instansi perpajakan sebaiknya diawali dengan peningkatan fundamental terhadap sikap dan cara pandang petugas dalam menjalankan pekerjaan sehat dan perbaikan tingkat kepatuhan Wajib Pajak serta komitmen yang kuat dan konsisten dari pucuk pimpinan pemerintahan. Sebab bagaimanapun, implementasi SARA tidak otomatis menyelesaikan semua permasalahan jika hal mendasar tersebut tidak disiapkan terlebih dahulu.

Guetamala

Model SARA yang diadopsi Guetamala, Superintendencia de Administración Tributaria (SAT), pada tahun 1998 merupakan modifikasi dari yang dimiliki Peru, yaitu SUNAT dengan model operasional seperti yang dijalankan Tanzania (Dewan Direksi yang meliputi pengawas eksternal). Pendanaan SAT tidak hanya berasal dari proporsi 2% hasil pemungutan pajak yang dikumpulkan tetapi juga dari pinjaman luar negeri dan bagian dari anggaran pemerintah yang dialokasikan. SAT merupakan gabungan otoritas pajak dan bea cukai termasuk personelnya. Dalam hal sumber daya manusia, SAT juga memberikan remunerasi pada sistem kompensasi kepada pegawainya dan menerapkan manajemen sumber daya manusia yang kompetitif. Sejumlah dampak positif yang dinikmati Guetamala dengan implementasi SAT meliputi sejumlah hal misalnya penerapan mekanisme penagihan pajak secara elektronik mencapai 85% dari tindakan penagihan, terlaksananya upaya pembersihan basis data untuk mengoptimalkan pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap Wajib Pajak besar terlaksana dengan baik sehingga mendorong peningkatan penerimaan pajak, serta tercapainya Rasio Pajak sebanyak dua digit pada tahun 2004 (meski sejumlah pihak meragukan hal ini terlaksana karena implementasi SAT).

Implementasi SAT di Guetamala pada lima tahun pertama telah mencatat peningkatan Rasio Pajak, dimana rata-rata pada rentang periode 1999-2003 Rasio Pajak hampir menyentuh dua digit yaitu 9.90% dua tingkat diatas rata-rata Rasio Pajak sebelum masa implementasi 7.90%. Meski harus diakui bahwa pencapaian itu dibawah target sebesar 12.0% pada tahun 2002. Kegagalan pencapaian ini disebabkan karena memang Guetamala masih memiliki masalah rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak. SAT mencatat bahwa jumlah potensi pajak yang dapat digali dari terbongkarnya praktik penghindaran pajak mencapai 2/3 (dua pertiga) penerimaan pajak yang telah dikumpulkan. Permasalahan internal lainnya adalah buruknya tata kelola sumber daya manusia yang ditunjukkan penambahan pegawai tanpa mekanisme yang ketat dan tdak memperhitungkan efisiensi organisasi, penurunan penghasilan riil seiring waktu yang berdampak pada terdegradasinya integritas pegawai. Selain itu terdapat faktor eksternal yang turut mempengaruhi kinerja SAT yaitu masih maraknya praktik korupsi dan ketidakstabilan politik. Bercermin dari pengalaman yang dialami Guetamala, dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi SAT memang menyediakan landasan untuk membangun suatu kinerja yang lebih baik namun konsistensi dan strategi lebih dibutuhkan untuk menjadikan landasan tersebut dapat memberikan dampak yang lebih panjang.

Ecuador

Otoritas perpajakan di Ecuador telah mengadopsi model SARA dengan nama Servicio de Rentas Internas (SRI) dan efektif beroperasi sejak tahun 1999. Sama hanya seperti SUNAT/ ADUANAS di Peru, SRI merupakan fusi otoritas perpajakan dan bea cukai Ecuador (Corporación Aduanera Ecuatoriana). Latar belakang terbentuknya SRI di Ecuador sama seperti kondisi perpajakan Indonesia kini yaitu administrasi perpajakan yang tidak efektif, selain itu Ecuador juga sedang berada dalam ketidakpastian daya dukung kondisi perekonomian terhadap kelangsungan negara dimana hutang negara terus bertambah, pertumbuhan ekonomi rendah, dan nilai tukar mata uang terus tertekan. SRI kemudian dibentuk dengan struktur pucuk pimpinan tertinggi adalah seorang Direktur Jenderal yang ditunjuk langsung oleh Presiden dengan masa jabatan yang dapat lebih lama dari masa jabatan Presiden itu sendiri. Sejarah implementasi SARA di Guetamala mencatat bahwa SARA dapat dipimpin oleh seorang tanpa terbatas jangka waktu jika terbukti memiliki kemampuan teknis yang kuat dalam mencapai tujuan organisasi.

Permasalahan operasional dalam SRI terletak pada mekanisme pendanaan yang meskipun bersumber dari 1.5% total penerimaan pajak tetap harus melalui mekanisme penganggaran yang cukup panjang dan kerap kali bermasalah sebelum tiba ke dalam anggaran SRI untuk kebutuhan operasional. Mekanisme penganggaran tersebut melibatkan Bank Sentral dan Kementerian Keuangan. Proses teknis dan birokrasi yang terjadi di ketiga instansi ini kerap kali menghambat arus kas SRI dan aktivitas eksekusi rencana kerja. Ini menunjukkan bahwa SRI tidak mengadopsi penuh mekanisme penganggaran yang mandiri sebagai SARA Ecuador. Otonomi penuh yang dimiliki SRI ada pada pengelolaan sumber daya manusia. SRI menerapkan standar tes rekrutmen yang ketat untuk menghasilkan pegawai yang kompeten dengan mekanisme promosi dan demosi didasarkan pada sistem meritokrasi yang diputuskan oleh manajemen puncak sehingga menciptakan iklim kompetisi yang tidak rigid sebagaimana terjadi pada birokrasi umumnya.

SRI di Ecuador telah berhasil meningkatkan peran penerimaan pajak selain pajak atas minyak bumi yang merupakan penerimaan utama Ecuador. Porsi penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan SRI terus meningkat beberapa tahun setelah implementasinya hingga mencapai hampir separuh (45.3%) total penerimaan negara pada tahun 2001. Rasio Pajak pada tahun tersebut mencapai angka tertinggi dalam kurun waktu 1994-2003 di titik 11.16%. Kinerja yang baik ini terwujud karena kepemimpinan Direktur Jenderal SRI serta tim nya yang komitmen dan kompeten, dengan kata lain SARA di Ecuador mampu menyediakan kesempatan bagi pemimpin dengan leadershipdan kompetensi yang memadai untuk mengambil peran memberikan kontribusi terbaiknya. Selain itu, dalam proses implementasi SRI sendiri didukung dengan adanya kebijakan yang stabil dan beriringan dengan semangat untuk memerangi korupsi melalui pembentukan unit pengawas internal serta upaya optimal untuk memerangi praktik penghindaran pajak. Semua hal tersebut diwujudkan melalui upaya yang konsisten dan kontinu.

Ecuador merupakan sebuah contoh tentang kerja keras sebuah negara berkembang untuk menciptakan otoritas perpajakan yang kuat demi menopang terwujudnya cita-cita negara. Hal ini merupakan contoh nyata yang dapat ditiru oleh Indonesia. Meskipun Ecuador belum mengadopsi status otonomi penuh, namun adanya semangat untuk menciptakan perbaikan dan komitmen bersama telah menuntun negara ini kepada perbaikan demi perbaikan yang menuju arah positif. Semangat perbaikan itu meliputi upaya memerangi praktik korupsi, menyiapkan kebijakan berupa peta jalan yang stabil dan berkelanjutan untuk memerangi maraknya praktik penghindaran pajak yang dapat membuat tingkat kepatuhan Wajib Pajak tergerus.

Malaysia

Inland Revenue Board Malaysia (IRBM) merupakan badan semi otonom yang menangani administrasi perpajakan di negeri jiran, Malaysia. Pada tahun 1995, IRBM dibentuk dan diberikan otonomi dalam hal manajemen keuangan dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan efektivitas administrasi perpajakan di Malaysia yang semula sangat birokratis dan kaku. IRBM merupakan lembaga otonom yang dibangun diatas pilar yang berkomitmen kuat untuk menyediakan pelayanan terbaik kepada Wajib Pajak dengan semangat integritas. IRBM adalah contoh sukses model otonom lembaga perpajakan yang terdekat dengan Indonesia. Kinerja penerimaan pajak Malaysia mengalami tren peningkatan secara positif dan beberapa kali melampaui target. Pada tahun 2011, realisasi penerimaan pajak Malaysia melampaui target sebesar RM109.67 Miliar dari target RM91 Miliar dengan peningkatan sebesar 26.7% dibandingkan kinerja tahun 2010. Sementara tahun 2012 realisasi penerimaan pajak Malaysia mencapai RM123.5 Miliar dari target RM110 Miliar. IRBM mengakui pencapaian ini dapat terwujud setelah mereka menerapkan perubahan secara radikal terhadap budaya kerja dan gaya pada manajemen.

Model semi otonom IRBM di Malaysia tidak otomatis merubah secara signifikan kondisi administrasi perpajakan Malaysia dalam waktu singkat. Proses tersebut berlangsung selama bertahun-tahun. IRBM memandang model semi otonom yang tersedia didalam IRBM telah memungkinkan mereka menerapkan inisiatif inovasi yang menunjuang kinerja kini. Inovasi tersebut antara lain pembangunan infrastruktur teknologi yang kuat untuk meningkatkan pelayanan dengan meluncurkan secara bertahap layanan layanan berbasis jaringan. Penguatan basis teknologi tersebut juga dimaksudkan untuk membangun kualitas pelayanan bagi kepentingan internal organisasi. Bersamaan dengan hal itu, IRBM menerapkan model manajemen ilmu pengerahuan (knowledge management) dengan melibat sumber daya manusia dengan kualifikasi tertenty untuk bertemu dan merumuskan sejumlah input demi perbaikan organisasi. Manajemen tersebut juga diwujudkan dalam bentuk penyediaan fasilitas pembelajaran (e-learning) yang dapat diakses seluruh pegawai.

Kesimpulan

Meski secara legal kebijakan fiskal di Indonesia tidak pernah memasukkan opsi untuk memberikan status otonomi bagi Ditjen Pajak, nyatanya Indonesia kini tengah berupaya menapaki jalan untuk mewujudkan otoritas perpajakan yang otonom dan memiliki sejumlah independensi dalam menjalankan tugasnya. Terakhir, upaya itu berupa wacana perubahan status DJP menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dibawah koordinasi Menteri Keuangan. LPNK sendiri dapat dipandang setara SARA (semi otonom) dengan otonomi yang terbatas. Dari sejumlah studi yang telah penulis telusuri, disimpulkan bahwa sebetulnya status otonomi (penuh sekalipun) bukan satu-satunya syarat mutlak untuk menyelesaikan semua masalah administrasi perpajakan yang dimiliki negeri ini. Ada faktor lain diantaranya artikulasi strategi yang dijalankan dan komitmen kuat dari pucuk pimpinan. Belajar dari sejumlah negara berkembang semisal Peru, Tanzania, dan Guetamala, ketiadaan unsur pendukung ini membuat status SARA yang telah mereka miliki tidak memberikan dampak positif yang panjang. Sementara di Ecuador dan Malaysia , SARA yang diimplementasikan telah didukung oleh elemen positif lainya seperti kepemimpinan yang kuat, rencana strategis dan kebijakan yang mendukung good governance dan beriringan dengan semangat perubahan radikal atas budaya kerja serta upaya optimal untuk memerangi praktik penghindaran pajak sehingga menghasilkan kinerja penerimaan pajak yang meningkat. SARA/ARA bagaimanapun bukan satu-satunya solusi, namun SARA/ARA dapat menjadi landasan yang memadai untuk mewujudkan DJP yang lebih efektif dan efisien.

Referensi Utama:

  • Allink, Mattjhis and van Kommer, Victor. 2011. Handbook for Tax Administration. International Board of Fiscal Documentation. Netherlands.
  • Artjan, Faisal Mukhammad. 2011. Developing State Capacity in Indonesia: Lessons From Technical Assistance Program in The Ministry of Finance. Graduate School of International Development. Nagoya University. Japan.
  • Crandall, William. 2010. Revenue Administration: Autonomy in Tax Administration and the Revenue Authority Model. Technical Notes and Manual. International Monetary Fund. USA.
  • Kidd, Maureen and Crandall, William. 2006. Revenue Authorities: Issues and Problems in Evaluating Their Success. IMF Working Paper WP/06/240.
  • Mann, Arthur J. 2004. Are Semi-Autonomous Revenue Authorities The Answer To Tax Administration Problemns in Developing Countries? A Practical Guide. Georgia State University. USA.
  • Republik Indonesia. 2016. Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  • Rosdi et al. 2016.  Hasilpedia: Transforming knowledge management at Inland Revenue Board of Malaysia (IRBM). Kuala Lumpur, Malaysia.
  • Taliercio, Robert Jr. (2004). Designing Performance: The Semi-Autonomus Revenue Authority Model in Africa and Latin America. World Bank Working Paper. Harvard University, Cambridge, MA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun