Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Money

Quo Vadis Wacana Otonomi Ditjen Pajak

1 Agustus 2016   20:52 Diperbarui: 2 Agustus 2016   07:20 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Namun tentu saja jalan untuk mewujudkan visi ideal yang dikemukakan sejumlah tokoh diatas tidaklah mudah. Panjang dan berliku. Ada proses yang melibatkan senyawa aspek politik dan ekonomi yang menyertainya. Untuk menjadi otonom, dibutuhkan dasar hukum atau legal baseyang mampu menopang keberlangsungan Semi Autonomous Revenue Agency/Autonomous Revenue Agency atau yang biasa disingkat dengan SARA/ARA (istilah DJP yang semi otonom/otonom) dalam jangka panjang. Dasar hukum itu adalah Undang-Undang yang merupakan proses legislasi hasil interaksi (dan transaksi) politik yang tidak sederhana. Meski bisa saja diwujudkan melalui Keputusan Presiden namun recommended best practicemenyarankan agar SARA/ARA berdiri diatas UU (Taliercio, 2004). SARA/ARA yang ideal juga selayaknya jauh dari intervensi politik yang biasanya sangat sulit dihindari dalam environment negara berkembang. Untuk mewujudkan hal ini, maka bentuk hukum yang paling baik adalah status otonomi penuh dengan kebebasan di sejumlah aspek strategis. Namun patut diingat bahwa status tersebut membutuhkan pengawasan yang kuat dan dukungan elemen lain untuk mewujudkan tata kelola yang efisien dan efektif sebagaimana sudah diantisipasi oleh Alink dan van Kommer melalui Handbook of Tax Administration (2011).

Pelajaran dari Peru, Tanzania, Guetamala, Ecuador, dan Malaysia

Penyajian hasil studi atas kebijakan implementasi SARA/ARA di sejumlah negara Amerika Latin dalam artikel ini dimaksudkan untuk memaparkan bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap performa otoritas perpajakan terkait. Sejumlah negara tersebut adalah: Peru, Tanzania, Guetamala, Ecuador, dan Malaysia.

Peru

Jejak implementasi SARA di negara Peru dapat ditelusuri dari tahun 1991 ketika pemeritah kala itu memberlakukan remunerasi yang signifikan terhadap sistem kompensasi kepada pegawainya dan menerapkan manajemen sumber daya manusia yang kompetitif (open competitive exams that was offered to old employees and outside newcomers). SARA di negeri Peru dibentuk dengan nama SUNAT (Superintendencia Nacional de Administración Tributaria). Kebijakan ini mendorong tingginya tingkat persaingan dan kesempatan untuk mengajukan pemberhentian diri dengan hormat. Kala itu, jumlah petugas pajak dapat dipangkas hingga seperempat. Pendanaan SUNAT berasal dari 2% hasil pemungutan pajak yang dikumpulkan. Implementasi SUNAT pada tahun 1991 telah memperbaiki kinerja perpajakan negara Peru pada akhir tahun 1992. Dampak positif yang terasa cepat ini dimungkinkan karena adanya status otonomi pada SUNAT yang memungkinkan dapat dilaksanakannya sejumlah inovasi.

Signifikansi dampak implementasi SUNAT terasa pada awal-awal periode 1992-1997. Rasio Pajak negara Peru mencapai rata-rata hingga 14.80%, dua tingkat diatas Rasio Pajak pra implementasi SUNAT yang hanya di kisaran 12.30%. Pada saat yang sama SUNAT berhasil menambah jumlah Wajib Pajak dari hanya 895.000 di tahun 1993 hingga mencapai 1.8 juta di akhir tahun 1997. Jumlah ini terus meningkat hingga 2.66 juta sampai akhir tahun 2003. Namun demikian, performa ini berjalan tidak konsisten memasuki tahun 1999 yang ditandai dengan terus menurunnya Rasio Pajak menjadi 14.20% dibawah rata-rata 1992-1997. Hal ini disebabkan karena SUNAT beroperasi tanpa adanya pengawasan yang cukup dari pihak eksternal. SUNAT tidak mengadopsi rekomendasi praktsis terbaik yang dianjurkan yakni melibatkan pihak pengawas eksternal. Ini mendorong masuknya kepentingan politik, penyimpangan integritas aparat, dan potensi konflik dengan Kementerian Keuangan. Konflik tersebut muncul karena tidak adanya penegasan mengenai bagaimana seharusnya kebijakan perpajakan seharusnya dirumuskan. Di Peru, kebijakan perpajakan dirumuskan oleh tim analis kebijakan Kementerian Keuangan yang kerap kali lemah dalam analytical skill(tidak otonomi sepenuhnya sebagaimana direkomendasikan) tanpa melibatkan perwakilan SUNAT itu sendiri. 

SARA di Peru kini bernama ADUANAS (hasil penggabungan tahun 2002 antara otoritas pajak yang bernama SUNAT (Superintendencia Nacional de Administración Tributaria) dan otoritas bea cukai yang benama SUNAD (Superintendencia Nacional de Administración Duane)). Fusi ini merupakan mandat legislatif yang didasari semangat untuk mengoptimalkan proses perturkaran data demi penerimaan negara. Namun demikian ada aspek kultural dan psikologis yang diabaikan dalam proses ini, kedua instansi ini memiliki sejarah, budaya, dan fungsi yang sangat berbeda. Sehingga apabila perbedaan-perbedaan ini tidak dijembatani terlebih dahulu maka tujuan dibalik penggabungan tersebut tidak akan terwujud. Hal ini sepatutnya menjadi pertimbangan dan pelajaran bagi Indonesia yang kini tengah menapaki wacana untuk menjadikan Ditjan Pajak menjadi instansi setara LPNK (setara SARA) dengan model yang hampir sama dengan SUNAT di Peru.

Tanzania

Tanzania Revenue Authority (TRA) dengan model SARA didirikan tahun 1995 dan mulai efektif beroperasi tahun 1996. Sebelum TRA berdiri, administrasi perpajakan Tanzania identik dengan lemahnya kapasitas kelembagaan dan tingginya tingkat penghindaran pajak dengan Rasio Pajak terendah sepanjang 1990-1995 di antara negara Sub Sahara Afrika. TRA terbentuk setelah Tanzania menjalankan sejumlah program reformasi di bidang perpajakan. TRA sama seperti halnya SUNAT di Peru, bukan suatu model otonomi penuh karena mekanisme penganggaran masih mengikuti kebijakan pemerintah berdasarkan anggaran tahunan. Namun dalam hal tata kelola TRA lebih baik karena dijalankan oleh Dewan Direksi yang diwakili oleh sejumlah pihak yang berkepentingan. Sementara dalam hal sumber daya manusia, keduanya sama yakni memberikan remunerasi pada sistem kompensasi kepada pegawainya dan menerapkan manajemen sumber daya manusia yang kompetitif.

Meski demikian, TRA mengalami permasalahan akut yang menyebabkan implementasi SARA tidak berdampak signifikan dalam waktu yang cepat. Tanzania memiliki basis pemajakan yang sangat sempit dimana lebih dari 50% Pendapatan Domestik Brutonya berasal dari sektor agrikultur yang termasuk kategori hard-to-tax sector. Rasio Pajak Tanzania tidak terkoreksi positif secara signifikan pada tahun-tahun awal implementasi (bahkan cenderung turun). Seiring implementasi TRA di Tanzania, banyak permasalahan mendasar yang tidak terselesaikan dan mempengaruhi kinerja TRA secara berkelanjutan. Pertama dan utama adalah adanya inkonsistensi dalam menjalankan ketentuan perundangan perpajakan. Ini berkaitan dengan kapasitas sumber daya manusia di level menengah ke bawah yang kurang kompeten dalam melakukan fungsi pengawasan, pemeriksaan, dan penegakan hukum perpakakan. Perbaikan besaran penghasilan yang diberikan TRA kepada pegawainya tidak otomatis berdampak pada perbaikan kinerja karena memang implementasinya tidak diiringi atau diawali dengan penguatan keahlian sumber daya manusia di dalamnya. Seiring waktu karena tergerus persaingan dan inflasi perbaikan penghasilan tersebut menjadi tidak relevan dan banyak pegawainya yang terjerat perilaku korup. Hal ini menyebabkan Wajib Pajak lebih leluasa melakukan kecurangan (fraud) yang pada gilirannya merugikan penerimaan negara.

Namun demikian, implementasi TRA memberi pijakan bagi Tanzania untuk memperkenalkan suatu reformasi administrasi perpajakan, pengembangan dan implementasi unique taxpayer identification number (TIN), pendirian sejumlah LTO (seperti di Indonesia), penyeragaman mekanisme banding (appeal) pada Wajib Pajak, komputerisasi sistem pembayaran pajak, dan penyederhanaan Pajak Penghasilan pada Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM). Oleh sebab itu hikmah utama dari apa yang dijalankan di Tanzania bagi Indonesia adalah bahwa reformasi, apapun bentuknya, terhadap instansi perpajakan sebaiknya diawali dengan peningkatan fundamental terhadap sikap dan cara pandang petugas dalam menjalankan pekerjaan sehat dan perbaikan tingkat kepatuhan Wajib Pajak serta komitmen yang kuat dan konsisten dari pucuk pimpinan pemerintahan. Sebab bagaimanapun, implementasi SARA tidak otomatis menyelesaikan semua permasalahan jika hal mendasar tersebut tidak disiapkan terlebih dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun