Mohon tunggu...
Erikson Wijaya
Erikson Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Be strong for life is short. Be patient for life is good. Be bold for life is challenging.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

[Yang Tersisa] Setelah Parada dan Soza Mangkat*

25 April 2016   13:48 Diperbarui: 25 April 2016   13:59 2804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri ini, hubungan antara Wajib Pajak dan pemerintah (Petugas Pajak /Ditjen Pajak) telah lama terserak dalam belantara prasangka. Pada tragedi Parada-Soza bahkan telah mencapai titik nadir. Pengeroyokan keji yang mereka alami telah menyudahi dedikasi mereka dengan catatan sejarah yang monumental. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas sisi personal yang lahir dari rahim peristiwa tersebut, selain karena sudah banyak tulisan yang bernuansa demikian, juga lebih karena adanya sisi relevan lainnya yang saya kira perlu diangkat agar mangkatnya Parada dan Soza tidak sia-sia dan secara bersamaan agar silang sengkarut prasangka yang membentengi relasi Wajib Pajak dan pemerintah dapat pelan-pelan luruh.

Adili Pelaku

Kata yang digunakan sebagai subjudul tulisan ini adalah “Adili Pelaku!” bukan “Hukum Pelaku!”. Pemilihan kata Ini dimaksudkan untuk menegaskan agar proses hukum yang dijalankan mengedepankan semangat untuk mencari keadilan bagi korban yang diwujudkan dengan memberi hukuman yang sesuai menurut ketentuan hukum yang ada terkait perbuatan yang telah terbukti dilakukan pelaku. Mengadili pelaku berarti menegakkan wibawa negara dan menunjukkan sinyal kuat hadirnya dukungan dari para pimpinan pucuk negeri ini kepada Ditjen Pajak. Selain itu, atas nama keadilan pula kita harus melihat bahwa yang dihadapi pelaku adalah buah dari perbuatannya yang dengan sengaja dan sadar mengakibatkan hilangnya nyawa dua kusuma bangsa dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Sibolga.

Pelaku dalam hal ini bukanlah korban, ia berstatus sebagai Wajib Pajak yang memiliki tunggakan senilai Rp14,7 Miliar (jumlah tersebut adalah jumlah pokok tunggakan dan sanksi/denda nya untuk tahun 2010-2011). Bahwa kemudian pelaku merasa terkejut dan menjadi gelap mata dengan besaran tunggakan tersebut adalah hal yang harus dipisahkan prosesnya analisisnya dengan perbuatannya menghilangkan nyawa yang sudah dilakukannya. Keduanya terpisah, berbeda, dan tidak saling menggantikan.

Negara dalam hal ini melalui Ditjen Pajak sudah memberikan ruang bagi hak konstitusionalnya sebagai Wajib Pajak dengan menyediakan jalur hukum yang ada, yaitu Pengajuan Keberatan. Keberatan merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan dalam hal terdapat sengketa terkait aspek materiil yang terkandung dalam Surat Ketetapan Pajak (dasar tunggakan) yang telah diterbitkan oleh Ditjen Pajak.  Lagipula tentunya ada proses panjang yang terjadi jauh sebelum angka tersebut ditagihkan ke pelaku. Proses yang saya kira memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Jadi kurang tepat jika pelaku didudukkan sebagai korban arogansi sistem perpajakan yang ditengarai keliru. Ditjen Pajak adalah alat negara yang dalam menjalankan tugasnya mengesampingkan kecenderungan untuk bersikap arogan, terlebih di era sekarang dimana masyarakat sudah semakin kritis dan sadar akan haknya. Prosedur itu sudah tersedia dan memiliki landasan hukum yang kuat. Didalamnya terdapat ketentuan mengenai prosedur acuan pelaksanaan dan petunjuk teknis yang dijalankan.

Proses Pra Ketetapan

Menyambung ulasan diatas, kiranya penting untuk memberi gambaran proses yang terjadi di internal Ditjen Pajak dalam menetapkan tunggakan yang ditagihkan kepada Wajib Pajak. Semua bermula dari temuan data potensi yang merupakan hasil dari penyandingan (matching) profil penghasilan atau volume transaksi dengan profil pemenuhan kewajiban perpajakannya. Jika terdapat ketimpangan hasilnya dapat berupa tax gap yang akan diproses lebih lanjut. Data atau informasi mengenai kewajiban pajak yang tanpa sadar atau dengan sadar belum dipenuhi Wajib Pajak bersumber dari banyak arah. Baik dari lawan transaksi, Instansi Pemerintah, atau internal Wajib Pajak itu sendiri. 

Tindak lanjut informasi potensi tersebut dilakukan oleh Account Representative (AR) atau Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan dengan menerbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) mengenai kebenaran data tersebut kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. Surat tersebut dikirimkan langsung ke alamat domisili Wajib Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menyebutkan nama AR atau Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan yang menyusun analsiis tersebut. Informasi yang terkandung dalam SP2DK berupa analisis dan besaran sementara kewajiban pajak yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak. Terkait permintaan penjelasan tersebut, Wajib Pajak diberikan waktu selama empat belas (14) hari untuk memberi tanggapan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh KPP jika memang terdapat keadaan yang diluar kendali (force majeur). Ketentuan ini sudah disebutkan didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-39/PJ/2015.

Tanggapan dapat diberikan dengan dua cara, yakni sebagai berikut: 1) Datang langsung, Wajib Pajak dapat datang langsung ke KPP dengan menemui petugas AR atau Pelaksana Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan yang menyusun Surat SP2DK tersebut. Sebaiknya sebelum datang, Wajib Pajak menghubungi via telepon untuk membuat janji bertemu sesuai dengan jadwal yang disepakati. Pada saat datang, Wajib Pajak dapat membawa serta dokumen atau copy dan/atau asli bukti pendukung yang dapat membantu dalam memberikan penjelasan. 

2) Secara Tertulis, Wajib Pajak dapat menyiapkan tanggapan secara tertulis dan menjelaskan tanggapan Anda disertai uraian penjelasan dan lampiran (copy bukti pendukung) untuk menguatkan pemaparan dalam tulisan Wajib Pajak. Untuk Wajib Pajak Badan, pemberian tanggapan dapat diwakili oleh pengurus atau direksi (sesuai daftar nama yang tercantum didalam Akta Pendirian atau Sususan Kepengurusan), karyawan yang menangani bagian legal perpajakan (dengan menunjukkan Surat Kuasa) atau Konsultan Pajak resmi yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur didalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak. Sementara untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, pemberian tanggapan tidak dapat diwakilkan kecuali dengan Surat Kuasa.

SP2DK II dengan perihal dan konten yang sama akan diterbitkan kembali oleh KPP jika Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan atas SP2DK I, rentang waktu yang diberikan oleh KPP untuk memberikan tanggapan atas SP2DK II ini adalah selama empat belas (14) hari sejak surat tersebut dikirimkan. Sampai dengan titik ini, telah disediakan waktu setidaknya 28 hari kerja bagi Wajib Pajak untuk memberikan tanggapan. Dengan asumsi bahwa SP2DK tersebut telah diterima Wajib Pajak, maka dianggap Wajib Pajak sudah mengetahui nilai yang dianalisis oleh KPP. Jika Wajib Pajak menerima SP2DK maka seyogyanya Wajib Pajak hadir memberikan tanggapan, atau setidaknya meminta penjelasan terlebih dahulu mengenai dasar perhitungan yang ditetapkan oleh KPP dalam menyusun analisis penentuan kewajiban pajak yang tertulis didalam surat tersebut.

Biasanya, proses penyampaian SP2DK II dilakukan AR dengan mendatangi langsung alamat Wajib Pajak dengan maksud untuk bertemu dan menjalin komunikasi serta memberikan penjelasan lisan atas isi surat tersebut (Field Visit). Pada prinsipnya, menurut SE-39/PJ/2015 tidak dikenal mekanisme penerbitan SP2DK II, yang disebutkan sebagai tindakan lanjutan dalam hal SP2DK I tidak memperoleh tanggapan dari Wajib Pajak adalah dengan 1) pemberian perpanjangan waktu paling lama 14 hari kerja atau 2) melakukan kunjungan kepada Wajib Pajak atau 3) mengusulkan agar terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan. Namun demikian, pada praktiknya untuk menjaga hubungan baik kepada Wajib Pajak, banyak KPP menerbitkan SP2DK II sehingga Wajib Pajak memiliki waktu tambahan untuk hadir memberikan penjelasan. Jika SP2DK II masih belum membuahkan tanggapan maka KPP akan menindaklanjutinya dengan melakukan kunjungan lapangan ke lokasi alamat/usaha Wajib Pajak.

Proses yang dilakukan AR untuk menindaklanjuti lebih jauh SP2DK yang belum ditanggapi Wajib Pajak adalah dengan mengundang Wajib Pajak datang ke KPP dalam rangka konseling. Jarak antara SP2DK II dengan terbitnya undangan konseling adalah 14 (empat belas) hari. Konseling merupakan titik temu paling akhir sebelum Wajib Pajak diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan. Melalui konseling diharapkan diperoleh kebenaran atas dugaan kewajiban pajak yang belum dipenuhi Wajib Pajak sebagaimana tertulis didalam SP2DK. Jika Wajib Pajak menyangkal dengan bukti yang kuat dan meyakinkan maka bukan tidak mungkin angka tersebut dibatalkan dan proses ditutup. 

Namun jika Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan atau tidak dapat membuktikan maka KPP berkewajiban menindaklajutinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu usulan pemeriksaan. Jarak sejak konseling sampai dengan usul pemeriksaan dibahas dan disetujui sangat beragam, tergantung kepada AR dalam menyusun analisis resiko dan penelaahan kembali usulan yang diajukan. Dengan asumsi bahwa seorang AR membutuhkan waktu sekitar 14 (empat belas) hari untuk menyelesaikannya maka sudah ada 42 (empat puluh dua) hari yang terlampaui sejak kali pertama potensi itu ditemukan.

Jangka waktu tersebut andaikan dimanfaatkan dengan baik oleh Wajib Pajak tentu saja cukup untuk membuktikan kebenaran pemenuhan kewajiban pajak menurut versi Wajib Pajak. Tahapan sampai dengan 42 (empat puluh dua) hari tersebut sebetulnya merupakan tahapan yang paling strategis karena nilai yang disampaikan oleh KPP belum menjadi ketetapan yang sifatnya mengikat. Melainkan baru berupa hasil analisis sementara sehingga akan lebih mudah bagi Wajib Pajak untuk memberi sanggahan, hal ini dimungkinkan karena tahapan tersebut belum melibatkan proses hukum yang panjang dan rumit, melainkan hanya mengandalkan itikad baik Wajib Pajak untuk bersikap kooperatif dan transparan. 

Tahapan panjang tersebut jika diabaikan akan menghantarkan ke proses yang lebih rumit yaitu pemeriksaan, proses ini tidak bisa dihentikan (kecuali dengan alasan tertentu yang biasanya ditetapkan oleh Instruksi Dirjen atau Peraturan Menteri Keuangan) dan selalu berakhir dengan terbitnya Surat Ketetapan Pajak (SKP). SKP merupakan produk hukum yang menjadi objek tagihan yang melekat kepada Wajib Pajak. Proses ini berlangsung setidaknya 3-7 bulan terhitung sejak usulan pemeriksaan dari AR disetujui atau bisa lebih cepat jika usul pemeriksaan berasal dari Kantor Pusat Ditjen Pajak (top-down). 

Jika dihitung dengan masa pra pemeriksaan, dengan jangka waktu pemeriksaan yang tercepat 3 (tiga) bulan maka ada rentang waktu sekitar 130 (seratus tiga puluh) hari atau hampir 5 (lima) bulan yang menjadikan sangat mungkin bahwa sebelumnya sudah ada interaksi langsung antara KPP dan Wajib Pajak. Jangka waktu tersebut belum memperhitungkan proses penagihan yang pada tragedi Parada dan Soza telah mencapai tahap penyampaian Surat Paksa. Jika diperhitungkan dengan proses penagihan yang sudah dijalankan maka durasi tersebut ditambah lagi sebanyak 28 hari (7 hari setelah jatuh tempo SKP ditambah 21 hari setelah batas jatuh tempo untuk dilakukan penyampaian Surat Paksa).

Terlepas dari bagaimana mekanisme pemeriksaan yang dijalankan, poin yang hendak disampaikan disini adalah dalam setiap tahapan tindak lanjut temuan data, selalu terbuka ruang yang begitu lebar untuk Wajib Pajak memberikan atau meminta penjelasan atas angka yang ditemukan. Begitu juga atas penetapan Surat Ketetapan Pajak yang akhirnya menghantarkan Parada dan Soza menuju keabadian. Lebih jelas lagi disampaikan bahwa berdasarkan runutan proses pra ketetapan tersebut, sangat kecil kemungkinan pelaku tidak mengetahui nilai yang ditagihkan. Sehingga pengakuan pelaku yang menyatakan terkejut lantas kalap atas nilai yang ditagihkan perlu diujikan kembali kebenarannya melalui proses pembuktian sesuai ketentuan yang berlaku.

Momentum Penguatan

Parada dan Soza telah mangkat dengan meninggalkan catatan sejarah yang akan dikenang banyak orang. Pemangku kepentingan di negeri ini seharusnya memaknai apa yang mereka alami sebagai momentum untuk menyadari bahwa pekerjaan Ditjen Pajak bukanlah suatu pekerjaan yang tanpa risiko terutama mereka yang menyandang jabatan tertentu yang bersentuhan langsung dengan Wajib Pajak di lapangan, seperti Juru Sita, Account Representative, Fungsional Pemeriksa Pajak, dan Fungsional Penilai PBB. Ketiga jenis jabatan ini menyusun sekitar 36% dari komposisis total sekitar 35.000 pegawai Ditjen Pajak. 

Penguatan DJP dapat dilakukan secara kelembagaan dengan memberikan amunisi yang memadai bagi instansi ini dalam menjalankan tugas. Amunisi tersebut diberikan dalam bentuk perlindungan hukum bagi pegawai Ditjen Pajak. Realita yang terjadi adalah regulasi yang membahas perihal tersebut mangkrak. Tidak terdengar progres yang signifikan sejak wacana itu mengemuka tahun 2015 lalu. Kerjasama yang terjalin antara Ditjen Pajak dan POLRI baru sampai rencana untuk memberikan pengamanan saat proses penagihan pajak. Namun sejauh ini belum terlihat realisasinya.

Perlindungan bagi petugas pajak mendesak untuk disediakan saat ini jika memang negara belum mampu membuat Ditjen Pajak menjadi lebih kuat sebagaimana yang seharusnya dianjurkan menurut penelitian terkini. Karena menurut saya sudah saatnya petugas pajak dengan jabatan dan kompetensi tertentu dilengkapi dengan alat dan keahlian khusus untuk melindungi dirinya dari ancaman fisik dan non fisik yang berpotensi membahayakannya. Potensi itu dapat berupa intimidasi, ancaman, kekerasan hingga kehilangan nyawa. 

Dalam skala lebih besar, seharusnya momentum ini menjadi tonggak untuk melakukan penguatan Ditjen Pajak secara kelembagaan melalui pemberian status otonomi dan melepaskan diri dari kelola Kementerian Keuangan. Dengan menjadi lembaga otonom Ditjen Pajak dapat bergerak lebih leluasa dan sigap untuk menentukan langkah strategis dalam melindungi aparatnya seperti misalnya membentuk jabatan Polisi Pajak atau Satgas Khusus dengan kapasitas yang memadai atau Satgas Khusus untuk wilayah cyber. Dengan hal tersebut diharapkan memberikan efek jera terhadap pengemplang pajak tanpa pandang bulu dan memperluas basis pemajakan (broadening the bases). Hal semacam ini mungkin terdengar absurd. Tetapi beranjak dari realitas kian kompleksnya perkembangan sosial masyarakat maka hal tersebut relevan untuk dilakukan.

Bila reformasi perpajakan tahun 1983 telah meneguhkan semangat self-assessment system (SAS) lalu berlanjut dengan evaluasi demi evaluasi yang melahirkan modernisasi nasional pada tahun 2007 yang mengubah orientasi organisasi menuju ke arah berbasis pelayanan, maka setelah hampir 10 (sepuluh) tahun berlalu kini saatnya segenap unsur pengambil kebijakan di negeri bercermin untuk dan menjalankan dua agenda besar yang patut disegerakan yaitu: menegakkan wibawa dan memperbaiki kapasitas institusi ini. Institusi yang setiap tahun dibebani target penerimaan untuk menghidupi APBN/D yang didalamnya pernah ada aparat hebat bernama Parada Toga Fransiano Siahaan dan Sozanolo Lase. Jauh dari uraian itu semua, upaya realisasi dua agenda besar itu adalah penghormatan yang paling terhormat yang dapat dilakukan negeri ini kepada kedua aparat yang gugur dalam tugas tersebut. Lebih hebat dari momen seremonial yang manfaatnya lekas usang.

*)Mungkin judul artikel ini agak mengernyitkan kening. Ada kata mangkat disitu. Kata yang lazim disematkan atas berpulangnya raja, pimpinan, sultan, presiden, perdana menteri, ratu, dan jabatan tinggi lainnya. Padahal Parada dan Soza secara status belumlah menjadi demikian. Namun dimata saya, mereka bukan sekadar aparat biasa, mereka adalah aparat bernyali yang memberi inspirasi dan contoh nyata totalitas dalam menjalankan tugas. Karakter yang hanya dimiliki oleh mereka yang berjiwa pemberani. Sehingga saya memilih kata mangkat sebagai bentuk penghormatan terakhir saya kepada dua rekan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun