Mohon tunggu...
Begawan Guno Seco
Begawan Guno Seco Mohon Tunggu... profesional -

Wong Ponorogo sing nunut lahir ning Suroboyo. Uga salah siji praktisi TI, sing saiki kerja nang Bandung. Sempat uga ngangsu kawruh nang UI.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golput : Antara Apatis dan Keterpaksaan

18 April 2014   05:22 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:32 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul di atas adalah mewakili perasaan saya saat ini, yang pada pemilu lalu memilih Golput. Beberapa status saya di wall facebook juga mengatakan demikian. Padahal, lima tahun yang lalu, saya memilih salah satu partai yang notabene mayoritas orang yang ngaji. Saya tak akan sebutkan partai apa itu, Anda bisa menduganya sendiri. Partai apa yang mayoritas laki-lakinya berjenggot? Nah, itu dia.

Saya disini tidak akan membicarakan partai yang mayoritas orangnya berjenggot. Tetapi saya sebagai golputer ingin menyampaikan beberapa alasan, yang masuk akal ataupun tidak masuk akal.

Alasan yang masuk akal

Pertama, adalah hambatan komunikasi antara pengurus RT dilingkungan saya dengan warga baru yang datang dari tempat lain. Sehingga sosialisasi pelaporan dan pendataan pemilih tidak dilakukan. Dan hanya terbatas warga yang memiliki KPT setempat saja. Padahal, di tempat saya tinggal, banyak kos-kosan yang hampir semuanya adalah pendatang. Dan tentu saja, memiliki KTP daerah lain. Di satu gang saja ada sekitar empat buah tempat kos yang rata-rata memiliki empat kamar. Jika semua warga kos itu sudah berkeluarga, maka ada sekitar 32 orang yang tidak memilih di satu gang saja. Dari satu RT mungkin lebih. Inilah mungkin yang menjadi penyebab lebih dari 30% GOLPUT. Jadi mereka terpaksa menjadi GOLPUT karena tidak ada kesempatan memilih, karena tidak ada surat panggilan memilih dari RT setempat.

Kedua, adalah Sistem Pemilihan Calon Legislatif. Mengapa sistem pemilihan dan penyeleksian calon legislatif saya kritisi. Ada beberapa alasan saya, diantaranya adalah :


  1. Kapasitas dan kemampuan dari calon legislatif yang kurang memadai. Hal ini jelas terlihat ketika kampanye. Tidak semua caleg memiliki program yang jelas, dan untuk apa dia dipilih.
  2. Visi dan Misi dari caleg yang masih lemah.
  3. Kebanyakan hanya mengandalkan setoran uang berlimpah untuk biaya kampanye. Padahal, ini bukan syarat mutlak yang bisa meloloskan seseorang untuk jadi dewan legislatif.
  4. Tidak ada seleksi moral. Padahal hal ini sangat diperlukan ketika nanti mereka menjadi anggota dewan.


Alasan yang tidak masuk akal

Tidak masuk akal disini adalah karena alasan tersebut berhubungan dengan keyakinan saya sebagai seorang muslim. Saya bukan sok alim, sok suci atau sok apa lah. Terserah penilaian dari pembaca sekalian, maklum atau tidak akan alasan saya ini.

Mengapa saya tidak ikut memilih juga didorong oleh beberapa hal, diantaranya adalah :


  1. Demokrasi adalah sistem batil. Bagaimanapun juga, demokrasi adalah bertentangan dengan budaya Indonesia yang mengutamakan musyawarah mufakat. Nanti akan saya jelaskan di sub bahasan dibawah, bagaimana seharusnya Demokrasi Pancasila itu.
  2. Jangan memilih orang yang minta dipilih. Hal ini sesuai dengan mahfum hadits Nabi SAW yang berbunyi, "Janganlah kamu memilih pemimpin yang memang ingin dirinya dipilih, karena suatu urusan akan rusak bila diserahkan kepada yang bukan ahlinya."
  3. Kebanyakan yang mencalonkan anggota dewan, motivasinya adalah Uang.


Nah, itulah beberapa alasan, mengapa pemilu kali ini saya tidak memilih calon legislatif.

Demokrasi Pancasila

Melihat praktek demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini. Menurut saya semakin jauh dari tujuan Undang-undang Dasar 1945 yang menginginkan sebuah demokrasi yang unik, yang berasal dari kebudayaan Indonesia yang sudah mengakar ratusan, bahkan ribuan tahun. Jangankan UUD 1945, Pancasila sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun