Biar bagaimanapun, Blackberry hanyalah seonggok sejarah dalam dunia teknologi kita. Ia pernah menjadi penguasa, menjadi primadona dan membantu begitu banyak orang. Hari ini, Blackberry telah selesai. Sayangnya, suasana batin saya biasa-biasa saja dengan matinya Blackberry.
Baru dua hari yang lalu, salah satu vendor smartphone terkenal yaitu Blackberry harus pamit dari dunia teknologi. Diberitakan bahwa, Blackberry secara resmi menghentikan seluruh Sistem Operasinya (Operating Sistem) pada seluruh jenis handphone yang ia keluarkan.
Dipastikan semua jenis hp yang mengusung OS Blackberry benar-benar akan is dead. Bila anda masih menggunakan jenis smarphone ini, maka ada baiknya kembali memikirkan matang-matang. Apakah akan tetap menggunakan Blackberry atau menggantinya dengan handphone jenis lain.
Berita miring mengenai Blackberry diIndonesia sepertinya disambut biasa-biasa saja oleh masyarakat. Tak ada perpisahan, tak ada tagar, tak ada rewind apalagi recap. Tak ada. Yang ada saat ini, netizen Indonesia sedang dalam perdebatan serius apakah Mas Aris akan rujuk dengan istrinya atau  malah kembali menikah dengan Jack Office alias Nadira.
Oke kembali ke topik...
Mendengar berita tentang matinya Blakcberry di Indonesia sama sekali tidak mengundang saya untuk bersedih. Bukan karena tak memiliki rasa empati, namun saya sendiri tak pernah menggunakan handphone dari produk tersebut. Mengapa?
Mari kembali ke zaman dimana Blackberry benar-benar jadi punggawa saat itu.
Pada era awal 2000-an, siapa yang tak mengenal Blackberry. Produk ini benar-benar mampu menjadi penguasa pasar teknologi menggeser Nokia dan Apel yang belum banyak memberikan sentuhan kemajuan.
Mengutip data makeuseoff.com melalui laman kompas.com, Â di Inggris BlackBerry pernah menguasai 33,2 persen pangsa pasar smartphone pada Desember 2011, menurut Statista. Namun dua tahun berikutnya jumlah itu menyusut hanya tinggal 17,44 persen.
Pada Mei 2021, studi yang sama menemukan bahwa smartphone BlackBerry saat ini hanya menguasai 0,01 persen dari pasar smartphone Inggris. Seperti yang dilaporkan Gartner pada Februari 2017, hanya 210.000 perangkat dengan sistem operasinya yang terjual pada kuartal keempat 2016. Itu jauh lebih buruk daripada di Q4 2015, yang hanya terjual 907.000 perangkat atau hanya 0,2 persen pasar ponsel.
Di Indonesia sendiri, tanpa harus menggunakan data dari berbagai media, kita pasti pernah merasakan bagaimana euforia penggunaan handphone jenis ini. Hampir dalam setiap pertemuan, orang-orang pada membicarakan Blackberry sebagai hape teranyar dan modern.
Pada tahun 2009 ketika saya masih SMP, salah seorang siswa menjadi bahan pembicaraan karena menjadi orang pertama yang membawa Blackberry kedalam sekolah. Teman-teman saya sangat antusias melihat ponsel ini karena pemberitaan mengenai Blackberry memang sedang naik-naiknya.
Wujud dari Blackberry ini gimana sih? Modelnya seperti apa sih? Bisa main game ga yah? Kirim file masih lewat Bluetooth atau Inframerah atau gimana yah?
Saya masih ingat jelas, masa itu Blackberry mengeluarkan berbagai varian jenis hp barunya. Kalian tentu sudah tak asing dengan prototipe Curve, Storm, Bold, Torch, Onyx bukan? Dari jenis Blackberry yang disebutkan ini, kalian pernah menggunakan yang mana? Tulis dikolom komentar yah
Semua varian  Blackberry ini, merupakan daftar wishlist yang banyak orang dambakan. Pokoknya kalau nggak Blackberry, gak gaul. Yah beda tipislah dengan para penggunan handphone jenis Apel.
Ketika Blackberry jaya, mayoritas dilingkaran tongkrongan saya secara pelan tapi pasti malah mengganti genggamannya dari Nokia ke Blackberry. Apalagi pada saat itu, aplikasi chatting instan atau yang dikenal dengan Blackberry Messengger alias BBM menjadi magnet utamanya.
Alhasil, Blackberry mampu merengkuh pasar dari kompetitor lain. Nokia dibuat tak berdaya dengan masuknya Blackberry. Walau mencoba menghadirkan aplikasi tandingan, nyatanya BBM terlalu kuat untuk dikalahkan.
Jika ditanya mengapa saya tidak menggunakan Blackberry dan lebih memilih menggunakan Nokia itu karena harga jenis hape ini terbilang cukup mahal. Kita tidak punya uang, begitu kata Prabowo. Ets tapi tunggu dulu.
Dengan harganya yang fantastis, faktanya Blackberry pada saat itu belum memberikan inovasi teknologi yang saya butuhkan. Jadi saya memilih seri Nokia atau Samsung yang terbaru dengan mengusung teknologi yang lebih oke.
Setidaknya, dimata saya Blackberry memiliki tiga kelemahan utama. Pertama, keypad fisik yang payah. Tampilannya malah lebih menyerupai papan kalkulator. Papan keypad yang disajikan oleh Blackberry tidak sebagus dengan Nokia. Jarak antar tombol sangat dekat sehingga menyulitkan kita untuk mengetik pesan.
Yang kedua, tampilan antar muka yang biasa-biasa saja, malah tidak ada bedanya dengan pesaing lain seperti Siemens, Mito apalagi Nokia. Sehingga memutar video atau memainkan game kurang memberikan kepuasaan kepada konsumen.
Ketiga dan yang paling terakhir ini yang paling terakhir, ga enak mau nambahin nanti yang punya marah adalah sistem operasi dari Blackberry sangat eksklusif sehingga membatasi penggunaan aplikasi lain. Tak banyak aplikasi yang bisa di pasang di OS Blackberry. Mungkin karena Blackberry belum bekerja sama dengan berbagai vendor. Alhasil hape ini hanya unggul pada aplikasi chattingnya yang too easy, yaitu Blackberry Messengger.
Bila bertemu orang dijalan atau berjumpa dengan kawan lama, maka kita akan akrab dengan istilah, eh minta pin dong, minta pin dong... Ini adalah frasa yang saat itu hampir diucapkan oleh segelintir orang. Saya yang tak menggunakan Blackberry pun terpaksa harus menjawab permintaan itu secara halus, maaf ga ada pin BB yang ada pin dan upin. Mauu???
Atas peristiwa itu pun, saya malah memutuskan untuk sama sekali tidak menggunakan Blackberry. Orang-orang pada saat itu tertarik memiliki Blackberry karena hanya ingin ikut trendy saja, yaitu memiliki pin. Sampai-sampai teman saya rela menggadai motornya hanya demi produk tersebut.
Namun seiring pergantian waktu dan vendor-vendor yang lain turut mengembangkan sebuah produk tandingan seperti lahirnya Android, secara perlahan pesona Blackberry memudar. Android berhasil bekerja sama dengan pihak Blackberry, sehingga aplikasi BBM bisa terinstal untuk handphone yang menggunakan OS Android. Praktis, penjualan dan penggunaan Blackberry anjlok tak terbendung.
Sejak hari itu, saya pun bertemu dengan BBM tapi bukan di Blackberry melainkan dihp samsung android pertama saya. Yah memang aplikasi ini sangat membantu. Menyerupai Whatsapp namun tidak sebaik Line apalagi Michat. Heheh...
Biar bagaimanapun, Blackberry hanyalah seonggok sejarah dalam dunia teknologi kita. Ia pernah menjadi penguasa, menjadi primadona dan membantu begitu banyak orang. Hari ini, Blackberry telah selesai. Sayangnya, suasana batin saya biasa-biasa saja dengan matinya Blackberry.
Walau tak ada ucapan sampai jumpa, acara ramah tamah, ataupun kata-kata perpisahan, mungkin itu adalah bukti  bahwa Blackberry tak dirindukan lagi oleh orang-orang. Puja-puji tentangnya telah hilang  tergerus zaman. Justru  malah sebaliknya. Saya ataupun kamu mungkin lebih memilih merindukan Nokia. Hehehe.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H