Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ironi Kritik Terbuka, Keras, dan Pedas ala Pemerintah

9 Februari 2021   23:01 Diperbarui: 9 Februari 2021   23:21 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah kemarin Presiden Joko Widodo mengajak peran serta masyarakat agar lebih aktif memberikan kritik kepada pemerintah, hari ini menyusul Sekretaris Kabinet, Pramono Agung yang kembali berujar perihal yang nyaris sama. Kayak dejavu gitulah, namun agak sedikit lebih menantang. Kedua orang ini kompak berbicara tentang kritik kepada pemerintah.

Presiden Joko Widodo dalam rapat virtual bersama Ombudsman mengharapkan agar pemerintah lebih aktif, sedangkan Seskab dalam Hari Pers Nasional meminta kritik yang terbuka, pedas, dan keras. Gayung bersambut pernyataan diatas seumpama, Presiden Jokowi yang menanam dan Seskab Pramono yang menyiram. Alangkah romantisnya. Mari kita dukung dan sukseskan permintaan nyeleneh dari kedua bapack-bapack ini.

Bila kita gabungkan kedua premis diatas maka akan ditarik kesimpulan yang seperti ini bunyinya

"Masyarakat harus memberikan kritik atau masukkan yang pedas dan keras secara aktif nan terbuka  kepada pemerintah." 

Jika kesimpulan ini masih kurang lengkap, maka bisa kita ubah dengan yang bunyinya demikian:

"Pemerintah meminta masyrakat agar lebih aktif memberikan kritik yang terbuka, pedas dan keras"

Bagaimana? Bila klean memiliki kesimpulan lain, tolong tinggalkan reply dikolom komentar yah.

Tak berat bila memahami permintaan dari kedua tokoh publik ini. Mbok hanya kritik kok. Itu mah gampang. Lah, anak STM aja sekarang udah turun kejalan loh. Mereka saling merangkul dengan para kakak-kakak mahasiwanya untuk melantunkan aspirasi dibawah terik sinar matahari. Jadi pak presiden dan Seskab tak perlu ragu dengan loyalitas kami dalam menyampaiakan aspirasi dan masukkan.

Tetapi bila pemerintah masih meminta agar kami LEBIH AKTIF dan memberikan KRITIK YANG TERBUKA, KERAS DAN PEDAS, maka patutlah kami bertanya Pak Pres, memang kritik-kritik yang selama ini kami lantunkan masih jauh dari harapan bapak?

Sejauh saya masih dianugerahi mata yang bisa melihat dan telinga yang masih mendengar, saya merasa bahwa sudah begitu banyak kritik yang masuk kepada pemerintah. Sebut saja kritik dari Rizal Ramli misalnya. Beliau ini Pak Pres, aktif menyentil Bu Menkeu dan Pak Luhut soal utang piutang negara dan neraca perkembangan ekonomi yang trendnya kurang positif.

Apakah bapak sudah mendengar kritik dari Pak Rizal? Jika masih kurang, saya ada lagi nih Pak. Kritikus ini masih muda dan mantan wartawan, namanya Dandhy Laksono. Setiap hari bung Dandhy aktif memberikan cuitan terkait kebijakan bapak maupun pembantu bapak. Bahkan melalui kanal yotubenya, Bung Dandhy membuat banyak konten menarik yang isinya tentang tabir buruk kebijakan pemerintah di daerah-daerah yang selama ini luput dari layar kaca.

Masih kurang pak? Tenang, saya masih punya banyak stok. Nama orang ini sudah melambung kemana-mana, dan dikenal dengan slogan "akal sehat". Yap, tidak lain tidak bukan dia adalah Rocky Gerung. Dalam  panggung-panggung debat politik, RG kerap kali membungkam para juru bicara pemerintah sampai tak berkutik, tik, tik...

Sudah ada tiga tokoh yang saya sebutkan. Bilamana presiden jokowi dan seskab masih juga merasa kurang, saya akan kasih bonus. Beliau adalah Kwik Kian Gie, seorang tokoh terpandang serta senior politik dari Presiden Joko Widodo dari PDI-P. Beberapa hari yang lalu Pak Kwik memberikan alternatif pandangan tentang ekonomi serta meladeni salah seorang staf khusus menteri.

Nama-nama besar diatas merupakan satu dari sebagian besar orang-orang Indonesia yang aktif memberikan kritik kepada pemerintah. Isi-isi kritik mereka pun sangat bernas dan layak untuk dijadikan suluh perubahan. Hanya sayangnya, permasalahan di negara kita saat ini ialah kita tidak kekurangan kritikus atau esensi maupun subtansi dalam setiap kritik, tetapi kita sedang berhadapan dengan tembok tebal yang dibungkus dalam balutan peraturan.

Saat orang-orang sudah mulai kritik, entah itu melalu media sosial, tulisan opini atau video dokumenter, mereka malah mendapat perlakuan yang tidak mengenakan. Sudah sering pak pres, kita melihat bagaimana aksi-aksi demonstrasi mahasiswa harus dibubarkan polisi. Para aktivis kampus ketakutan di drop out rektor saat mereka mulai menalarkan isi kepalanya.

Dijalan, sering kita melihat para mahasiswa dipukuli hingga berujung tewas. Semoga kita masih ingat mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara yang meninggal dunia setelah dihabisi oleh oknum. Orang tuanya yang baru pulang dari laut kaget sekaligus terharu melihat anaknya telah terbungkus kain kafan dan siap untuk dikuburkan.

Tidak sampai disitu, para kritikus kita juga sering mendapat teror dan ancaman pidana melalui UU ITE. Begitu kritik diucapkan, polisi berpakaian lengkap sudah dalam perjalanan menjemput yang bersangkutan. Syukurnya, masih ada orang-orang baik yang menjamin mereka. Kasus ini pernah terjadi pada Dandhy Laksono, kala itu tokoh 98 Budiman Sudjamitko menjadi penjamin dan bang Dandhy Laksono akhirnya bisa lepas dari kasus tersebut.

Selain mendapat ancaman sengketa pidana dan aksi represif dari Polri, para penabur kritik juga sering diserang oleh pendengung rupiah alias buzzer. Buzzer telah sangat meresahkan dan menggangu kelangsungan hidup demeokrasi kita. Bu Susi pernah menjadi sasaran tembak buzzer di twiter, selanjutnya Pak Kwik pun juga sama.

Serangan buzzer kepada para kritikus ini malah sangat berbahaya. Komentar yang mereka berikan sangat tidak pantas dan menyentuh ranah privasi. Om Kwik ketakutan atas buzzer yang mengodal-adil kehidupan pribadinya. Lalu Natalius Pigai yang menjadi korban rasialisme karena ikut mengkritik salah satu pembantu presiden.

Gambaran kusam iklim penyampaian pendapat dinegeri ini masih menjadi masalah pelik yang belum kelihatan jalan keluarnya. Kritik memang bisa menjadi suluh kebijakan yang lebih baik kedepan, namun bila untuk mau kritik saja, orang-orang sudah merasa ketakutan dan dikekang oleh jerat undag-undang, maka yang terjadi ialah antipati terhadap kritik itu tersebut.

Ajakan atau sekedar igauan pemerintah agar masyarakat aktif memberikan kritik yang terbuka, keras dan pedas akan menjadi ironi semata bila sengketa diatas belum mampu untuk diatasi. Pemerintah seharusnya bisa menciptakan ruang yang aman bagi mereka. Saling lapor dan beradu atas nama ujaran kebencian harus bisa ditindak secara bijaksana dan tidak berat sebelah.

Kritik yang aktif dan masif akan secara otomatis terjadi bila teror dan rasa takut itu bisa disingkirkan. Bersih-bersih para buzzer, menciptakan UU yang berkeadilan serta memutus mata rantai represif yang dilakukan oleh oknum dilapangan adalah langkah yang bisa pemerintah mulai.

Nenek moyang kita sepenuhnya bukanlah hanya seorang pelaut tapi juga orator dan kritikus ulang. Ada nama-nama besar seperti Moh. Yamin, Soekarno dan Wiji Tukhul yang roh dan spiritnya masih hidup sampai sekarang. Walau hidup dalam dimensi dan dinamika yang berbeda, dari mereka kita belajar bahwa kritik ternyata membawa aura positif yang menggerakan dan mengubahkan.

Proses berbenah ke arah yang semakin baik adalah harapan dari kita semua. Pendidikan yang terus maju disertai oleh perkembangan teknologi memungkinkan peluang itu terbuka lebar. Menata ulang kehidupan demokrasi yang bebas dan bertanggung jawab adalah impian yang niscaya akan terlaksana.

Jika bapak memiliki waktu luang, tolong dengarkan lah kritik-kritik dari kami. Saya terlalu yakin bila bapak mendengarkan masukkan dari para tokoh diatas, pertimbangan bapak dalam mengambil kebijakan akan semakin banyak dan kaya. 8

Selain itu, silahkan bapak nilai sendiri apakah kritik dari masyarakat sudah masuk kategori mana: Aktif, Terbuka, Keras atau Pedas? Tinggalkan jawaban dikolom komentar yah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun