Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Ajakan Kritik dari Presiden Joko Widodo

8 Februari 2021   20:52 Diperbarui: 8 Februari 2021   21:26 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang mengatakan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia telah dikorupsi. Entah atas dasar apa mereka menyatakan demikian. Lalu apakah keadaanya benar demikian?

Melansir laman kompas.com disebutkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini takut untuk mengeluarkan pendapatnya. Fakta ini didukung oleh salah satu hasil survei  yang dikeluarkan oleh  Lembaga Indikator Politik pada bulan Oktober tahun 2020. Pada survei yang dilaksanakan pada 24-30 September 2020 dengan total responden 1200 orang, margin of eror 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen menyebutkan bahwa 47,7 persen reponden menyatakan setuju tentang ketakutan masyarakat dalam menyatakan pendapat. Sisanya 21,9 sangat setuju, 2,20 persen kurang setuju dan 3,6 persen tidak setuju.

Apa yang bisa kita maknai dari data di atas?
Fakta berbicara bahwa kebebasan berpendapat terkekang karena ketakutan. Hal ini bisa terlihat jelas  dari banyaknya kritikus yang terancam bui sesaat setelah mengeluarkan pendapatnya. Ada nama-nama besar seperti Dandhy Laksono dan Ananda Badudu yang punya pengalaman pahit seputar persoalan pelik ini.

Dandhy Laksono dijemput polisi dirumahnya gara-gara cuitan soal kerusuhan  di Jayapura dan Wamena, Papua. Sehari berselang, Ananda Badudu juga disusul polisi dirumahnya. Dua kasus ini sangat menyita perhatian warganet sehingga ramai-ramai tokoh publik harus menjadi penjamin mereka dan meminta agar pemerintah jangan terlalu represif dengan kritik atau pendapat.

Dandhy dan Ananda sama-sama dijerat dengan UU tentag Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sedangkan Om Kwik, dihajar habis-habisan oleh buzzerRp. Disinilah jantung permasalahannnya, ketakutan karena tak ingin dipersengketakan ke pihak yang berwajib dan keengganan untuk berhadapan dengan buzzer yang tak memahami kaidah menjawab kritik dengan kritik.

Kritik-kritik yang kita kumandangkan tak menjadi soal bila tak didengarkan apalagi sampai dieksekusi oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah memang tak bisa memuaskan semua pihak, namun apa jadinya bila baru mau buka diskusi saja kita sudah dituduh radikal dan makar. Bukankah itu telah menciderai prinsip-prinsip demokrasi?

Apa yang disampaikan oleh presiden ini tentu sangat kontroversial bila bandingkan dengan kebijakan terkait kebebasan berpendapat. Satu pertanyaan besar yang meledak dari benak saya ialah, apakah selama ini masyarakat kurang atau tidak aktif mengeluarkan kritiknya PAK PRESIDEN, sampai-sampai bapak harus mengajak mereka?

Presiden Joko Widodo seharusnya tak perlu mengajak masyarakat untuk aktif memberikan kritik terhadap tata kelola pemerintahan, sebab itu akan menjadi insting ilmiah yang akan keluar secara sendirinya. Yang seharusnya pemerintah lakukan ialah menjamin keamanan dalam menyatakan kebebasan berpendapat dan mendidik para buzzer agar tidak mendengung para kritikus ini. Andai saja pak presiden mau menertibkan tali-tali pengekang demokrasi, maka partisipasi masyarakat dengan sendirinya akan semakin aktif.

Masyarakat baik atas nama pribadi maupun melalui gerakan civil society sudah sering mengkritik sebagai alternatif penentuan kebijakan. Maksud baik dari kritik harusnya diberi ruang yang luas demi tercipta pola pemikiran yang semakin terus menerus berkembang. Kritik-kritik yang bernas akan bermuara pada peningkatan mutu tata kelola pemerintahan dan pengambilan keputusan.

Kritik bukan bermaksud menghina apalagi sampai mengodal-adil privasi dari sang pengkritik. Kritik harusnya dijawab dengan kritik bukan dengan jemputan polisi. Bila kritik dianggap sebagai narasi yang mengancam jabatan seseorang, kritik tersebut tentu berhasil memberikan persepsi yang semakin beragam dan bernas.

Oleh karena itu, baiklah kiranya pak presiden menjamin dan memberikan rasa aman agar orang-orang yang mengkritik pemerintah tidak dianggap subversif, radikal apalagi sampai dituduh makar. Bisa dimulai dengan merevisi UU ITE, menerima diskusi, dan membersihkan istana dari debu para buzzer. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun