Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Ajakan Kritik dari Presiden Joko Widodo

8 Februari 2021   20:52 Diperbarui: 8 Februari 2021   21:26 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Biro Pres Setpres, Fotografer : Krishadiyant, melalui laman Kompas.com

Presiden Joko Widodo hari ini diberitakan mengikuti rapat virtual bersama dengan Ombudsman. Rapat tersebut membahas tentang Laporan Ombudsan selama masa kerja tahun 2020. Menariknya, dalam pertemuan yang diselenggarakan secara virtual itu, presiden mengajak masyarakat untuk ikut aktif dalam memberikan kritik kepada pemerintah. Tujuannya yaitu agar pelayanan publik semakin membaik dimasa depan.

Dalam laman kompas.com, Presiden mengatakan:

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi melalui tayangan YouTube Ombudsman RI, Senin.

Berbicara tentang kritik, kita tentu akan berhadapan dengan kebebasan berpendapat. Sejauh ini wadah untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah tentu sangat terbuka lebar. Melalui berbagai kanal, kita bebas secara aktif untuk memberikan pandangan atau bahkan hanya sekedar ocehan kepada pemerintah, baik itu kepada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kebebasan berpendapat merupakan hak dasar dari semua warga negara. Melalui penyampaian pendapat di muka umum, orang-orang bebas untuk mengorasikan apa yang menjadi isi kepalanya. Hak tersebut tentu harus dimanfaatkan sebaik mungkin agar mampu menjadi fungsi kontrol sosial kepada penguasa dan sekaligus untuk merawat  jalan demokrasi yang telah kita pilih.

Namun apa jadinya bila kebebasan mengemukakan pendapat dikekang atau malah dijadikan sarana untuk jadi bahan bullyan. Tentu pendapat yang disampaikan baik secara langsung maupun secara tertulis akan menemukan jalan buntu bila diperhadapkan dengan para pendengung yang bukan menyoal substansi namun mengolok-olok pribadi. Kejadian tak mengenakan tersebut, kerap kali kita temui.

Perihal ini pernah menimpa salah seorang tokoh politik sekaligua ekonom terkenal Kwik Kian Gie. Om Kwik yang notabene telah menjadi legend didunia perpolitikan tentu sangat mafhum dan terbiasa dengan mengkritik. Beliau telah menulis banyak buku dan kolom di berbagai lini masa. Salah satu buku beliau yang pernah saya baca adalah "Pikiran Yang Terkorupsi". 

Namun, nama besar dan pengalaman yang banyak tidak lantas membuat Om Kwik lepas dari cengkraman maut para buzzer. Silahkan teman-teman periksa dalam cuitan Om Kwik di kanal twiter. Beliau menyatakan bahwa ia menjadi takut saat mengkritik pemerintah, sangat beda dengan masa lalu yang mana menurutnya semua anteng-anteng saja saat melakukan aktivitas kritik mengkritik tersebut.

"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja dibuzzer habis-habisan, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Krtikik-kritik tajam tidak sekalipun ada masalah"

Pernyataan Om Kwik diatas tentu bukan kali pertama kita temui. Sudah terlalu sering, gegara mengemukakan pendapat atau menyampaikan kritik, orang-orang malah saling mencaci maki. Belum puas saling caci dan maki, masalah malah melebar ke persoalan pribadi, kemudian saling memperkarakan dengan berlindung dibalik kata-kata Pencemaran Nama Baik. So sweet kan endonesia kita ini...

Banyak orang mengatakan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia telah dikorupsi. Entah atas dasar apa mereka menyatakan demikian. Lalu apakah keadaanya benar demikian?

Melansir laman kompas.com disebutkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini takut untuk mengeluarkan pendapatnya. Fakta ini didukung oleh salah satu hasil survei  yang dikeluarkan oleh  Lembaga Indikator Politik pada bulan Oktober tahun 2020. Pada survei yang dilaksanakan pada 24-30 September 2020 dengan total responden 1200 orang, margin of eror 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen menyebutkan bahwa 47,7 persen reponden menyatakan setuju tentang ketakutan masyarakat dalam menyatakan pendapat. Sisanya 21,9 sangat setuju, 2,20 persen kurang setuju dan 3,6 persen tidak setuju.

Apa yang bisa kita maknai dari data di atas?
Fakta berbicara bahwa kebebasan berpendapat terkekang karena ketakutan. Hal ini bisa terlihat jelas  dari banyaknya kritikus yang terancam bui sesaat setelah mengeluarkan pendapatnya. Ada nama-nama besar seperti Dandhy Laksono dan Ananda Badudu yang punya pengalaman pahit seputar persoalan pelik ini.

Dandhy Laksono dijemput polisi dirumahnya gara-gara cuitan soal kerusuhan  di Jayapura dan Wamena, Papua. Sehari berselang, Ananda Badudu juga disusul polisi dirumahnya. Dua kasus ini sangat menyita perhatian warganet sehingga ramai-ramai tokoh publik harus menjadi penjamin mereka dan meminta agar pemerintah jangan terlalu represif dengan kritik atau pendapat.

Dandhy dan Ananda sama-sama dijerat dengan UU tentag Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sedangkan Om Kwik, dihajar habis-habisan oleh buzzerRp. Disinilah jantung permasalahannnya, ketakutan karena tak ingin dipersengketakan ke pihak yang berwajib dan keengganan untuk berhadapan dengan buzzer yang tak memahami kaidah menjawab kritik dengan kritik.

Kritik-kritik yang kita kumandangkan tak menjadi soal bila tak didengarkan apalagi sampai dieksekusi oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah memang tak bisa memuaskan semua pihak, namun apa jadinya bila baru mau buka diskusi saja kita sudah dituduh radikal dan makar. Bukankah itu telah menciderai prinsip-prinsip demokrasi?

Apa yang disampaikan oleh presiden ini tentu sangat kontroversial bila bandingkan dengan kebijakan terkait kebebasan berpendapat. Satu pertanyaan besar yang meledak dari benak saya ialah, apakah selama ini masyarakat kurang atau tidak aktif mengeluarkan kritiknya PAK PRESIDEN, sampai-sampai bapak harus mengajak mereka?

Presiden Joko Widodo seharusnya tak perlu mengajak masyarakat untuk aktif memberikan kritik terhadap tata kelola pemerintahan, sebab itu akan menjadi insting ilmiah yang akan keluar secara sendirinya. Yang seharusnya pemerintah lakukan ialah menjamin keamanan dalam menyatakan kebebasan berpendapat dan mendidik para buzzer agar tidak mendengung para kritikus ini. Andai saja pak presiden mau menertibkan tali-tali pengekang demokrasi, maka partisipasi masyarakat dengan sendirinya akan semakin aktif.

Masyarakat baik atas nama pribadi maupun melalui gerakan civil society sudah sering mengkritik sebagai alternatif penentuan kebijakan. Maksud baik dari kritik harusnya diberi ruang yang luas demi tercipta pola pemikiran yang semakin terus menerus berkembang. Kritik-kritik yang bernas akan bermuara pada peningkatan mutu tata kelola pemerintahan dan pengambilan keputusan.

Kritik bukan bermaksud menghina apalagi sampai mengodal-adil privasi dari sang pengkritik. Kritik harusnya dijawab dengan kritik bukan dengan jemputan polisi. Bila kritik dianggap sebagai narasi yang mengancam jabatan seseorang, kritik tersebut tentu berhasil memberikan persepsi yang semakin beragam dan bernas.

Oleh karena itu, baiklah kiranya pak presiden menjamin dan memberikan rasa aman agar orang-orang yang mengkritik pemerintah tidak dianggap subversif, radikal apalagi sampai dituduh makar. Bisa dimulai dengan merevisi UU ITE, menerima diskusi, dan membersihkan istana dari debu para buzzer. 

Hari demi hari selalu melahirkan kritik karena pendidikan masyarakat Indonesia sudah semakin meningkat. Semoga Om Kwik, Dandhy Laksono, Ananda Badudu dan kita semua jangan takut untuk mengkritik lagi, dan kepada para buzzer yang terlalu rajin mengcounter attack para tokoh yang mengkritik pemerintah semoga mereka segera sadar dan mendapat hidayah.


Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun