Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Quo Vadis Kemanusiaan Kita?

13 Mei 2020   12:27 Diperbarui: 13 Mei 2020   12:37 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : instagram @ferdianplk

Namun sudah terlambat jika baru menyadarinya sekarang. Korban eufisme dari kata prank pun telah memakan korban dan melukai rasa kemanusian kita. Ferdian Paleka adalah contoh sial dari dampak bahaya ini. Dan kita; kita adalah orang yang memberikan terlalu banyak kebijaksanaan dan pemakluman terhadap aksi-aksi akrobatik eufisme ini.

Mulanya, ia dan teman-temannya hanya ingin memberikan sebuah pelajaran kepada para transpuan yang katanya telah melanggar PSBB di Kota Bandung.  Tujuannya baik dan mulia, kita pun terkesima. Alih-alih ingin memberikan pelajaran kepada mereka, se-dus mie instan berisi sampah dan batu bata malah menjadi instrumen yang tidak mendidik.

Tak setuju dengan tindakannya itu, bangkitlah para kaum rebahan dan pegiat medsos mencaci maki tindakan Ferdian tersebut. Ratusan bahkan ribuan, semua pada gotong royong me-mention akun resmi Polri agar dapat menindak tegas aksi-aksi pranknya. Selain itu, para hadirin yang sudah terlanjur ketawa terbahak-bahak melihat bagaiamana reaksi transpuan dan orang-orang yang kena prank ini, malah berbalik menuntut kepada Ferdian agar ia mau meminta maaf.

Selang berapa hari, Ferdian jadi tersangka. Ia pun diamanakan dan dijebloskan di lembaga pemsyarakatan (lapas). Kemudian dari dalam lapas, beredarlah lagi sebuah video perploncoan yang dialami Ferdian Paleka selama ditahan dilapas.

Pada titik ini, kita pun terperangkap lagi dengan makna eufiesme pada kata "diamankan" dan "lapas". Ferdian diamankan oleh Polisi tetapi didalam penjara ia disiksa oleh sesama warga binaan lapas. Lalu dimana amannya? Dimana makna lembaga pemasyarakatannya? Namanya lapas tapi isinya malah melakukan aksi-aksi keji dan jelas melanggar sebuah etika kemanusian. Itu lembaga pemasyarakatan atau lembaga penyiksaan?

Yang lebih aneh lagi, para kaum rebahan dan pegiat medsos yang tadinya berkoar-koar siang malam menuntut agar Ferdian ditangkap tanpa memperdulikan kuota internetnya habis atau tidak, kini malah banting setir. Sebagian ada yang mensyukuri karena Ferdian ditangkap dan disiksa dilapas, sebagaian ada yang adem ayem dan dengan santainya menulis "Duh, Kasian yah Ferdian Paleka."

Dari fenomena ini setidaknya ada dua catatan besar yang bisa kita ambil.

Pertama, saat menonton konten prank sambil tertawa terbahak-bahak, secara tidak sadar kita sedang dikibulin. Karena sudah kebiasan dikibulin, itu menciptakan sebuah tradisi baru yang nampaknya kelihatan biasa-biasa saja. Padahal itu adalah sebuah penyakit masyarakat yang berpotensi mereduksi nilai kejujuran.

Kebohongan kecil-kecilan seperti dalam prank ini, malah bertransformasi menjadi kebohongan masif dan liar. Konten prank Ferdian adalah sebuah preseden buruk dalam tatanan kehidupan sosial kita. Siapa yang akan menjamin bila aksi-aksi semacam ini akan terjadi lagi dikemudian hari. Mungkin bukan lagi sampah atau batu, jangan-jangan softex atau kondom bekas malah menjadi agenda susulan.

Kedua, kita telah terbiasa membalas yang jahat dengan yang jahat, cacian dengan cacian dan makian dengan makian. Contohnya pada kasus diatas. Semua orang bergotong royong mengutuk keras Ferdian tanpa memperhatikan dampak sosial yang lain. Alih-alih menulis pesan yang menyejukkan kala puasa, memberikan solusi ketika dalam masalah, yang kita lakukan malah memberikan contoh kekerasan sosial yang tidak baik kepada generasi medsos yang selanjutnya.

Sialnya, perilaku ini awet dan telah membentuk lingkaran setan. Orang mencaci kita pun mencaci. Orang menindas kita pun menindas balik. Kekerasan malah dijawab kekerasan. Ferdian ditangkap kita malah senang, Ferdian disiksa kita malah pura-pura baik dan berkoar-koar lagi menyuarakan kemanusian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun