Banyak yang menaruh simpati perihal mundurnya Belva Devara dan Andi Taufan Garuda Putra dari jabatan Staf Khusus Milenial Presiden Jokowi. Pun saya demikian. Padahal mereka belum lama duduk dilingkaran kuasa istana. Â
Belva dan Andi Taufan Garuda Putra (Sumber : Tribunnews.com)
Apa yang dilakukan oleh kedua pemuda ini tentu menimbulkan sebuah preseden baru di kancah perpolitikan tanah air. Publik pun jadi bingung apakah mereka perlu diapresiasi ataukah sekedar kita lihat sebagai kejadian yang biasa-biasa saja. Jawaban di masyarakat tentu berbeda.
Persoalan mundur alon-alon yang kelakon dari Belva dan Andi Taufan bak bunga yang layu sebelum berkembang. Mereka dilantik pada bulan November 2019 namun belum genap setahun mereka sudah lebih dulu balik kanan dan angkat kaki keluar dari pemerintah.
Baca Juga : Belva Mundur Siapa Menyusul?
Sedangkan dari sudut pandangku, rasa-rasanya mereka sedang menunjukan lemahnya mentalitas politik anak muda. Seharusnya mereka yang mengaku stafsus milennial menjiwai nilai-nilai perjuangan para politisi senior disekitarnya.
Misalnya Lord Luhut, Menkes Terawan atau presiden jokowi. Biarpun ketiga tokoh ini telah beberapa kali menerima hujan interupsi, toh mereka tetap anteng-anteng saja menghadapinya. Warbiasaaa!!!
Persolan mundur dari kursi jabatan di Indonesia sebenarnya telah sering terjadi. Namun peristiwa Belva dan Andi Taufan memiliki kemistrinya sendiri. Belva dan Andi Taufan sama sama tertuduh terlibat konflik kepentingan.
Belva diisukan bermain dengan Ruang Guru miliknya, dan Andi Taufan dikaitkan dengan potensi maladmintrasi suratnya yang meminta camat diseluruh desa utnuk mendukung relawan dari perusahan miliknya, Amartha yang berujung pada penyalahgunaan kekuasaan.
Baca Ini : Menyoal Surat Staf Khusus Milenial Jokowi Andi Taufan Garuda Putra
Dua kasus ini kemudian booming. Meledak disemua lini masa. Masalah ini pun menjadi trend. Semua pengamat receh dan penulis kolom juga ambil panggung untuk menyulut kasus ini biar semakin panas. Desakan mundur pun menjadi gagasan masuk akal dari para kritikus. Â
Alhasil, Tak sampai seminggu, mereka berdua pun akhirnya menyerah dengan tekanan massa yang begitu perkasa. Ahh, dari sinilah saya menaruh rasa kecewa kepada keduanya. Seharusnya mereka bisa bertahan lebih lama dipemerintahan untuk menunjukan bahwa mereka juga punya mental politik yang tak kalah dengan para penatua di ring satu.
Jika kita selidiki, mereka memiliki harta, kuasa dan jebolan  dari kampus ternama dunia. Belva dan Andi Taufan juga sudah sering merasakan asam garam kehidupan. Masa menghadapi tekanan ini saja sudah langsung mundur?
Sepertinya Belva dan Andi Taufan harus banyak belajar dari tokoh-tokoh politik yang lebih dulu duduk diistana. Sebut saja Presiden Soeharto.
Soeharto baru akan mundur ketika didemo berjilid-jilid oleh para mahasiswa diberbagi daerah. Karena korban jiwa telah banyak dan krisis ekonomi juga sudah mengancam. Akhirnya tak ada pilihan lain selain mundur.
Beda cerita dengan pak harto, ada nama lain yang kebal menghadapi tekanan politik yang kuat dari massa. Siapa dia? Namanya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Masih ingat toh dengan kasus Ahok? Bagaimana ia bisa survive dan santai menerima amukan massa dari para demonstran yang berjudul 212? Ia tetap bekerja seperti biasanya di Balai Kota. Walaupun telah didemo berjilid-jilid, nyatanya itu belum mampu menggoyahkan mental politik dari seorang Ahok.
Lalu ada nama lain yang tak kalah beken dengan itu. Yap, menkes Terawan. Sejauh mata memandang, dan sedekat telinga mendengar, Menkes Terawan adalah satu sosok yang dihujani kritik dan dituntut mundur karena dinilai tidak mampu menciptakan protokol kesehatan Indonesia dari serangan virus corona.
Alih-alih mengamini permintaan itu, ia tetap bisa bekerja sebagai Seorang Menkes dan tetap dengan gayanya yang guyon merespon setiap tanya-tanya wartawan seputar corona.
Ketiga tokoh ini secara usia berbeda dengan Belva dan Andi Taufan. Secara pengalaman, juga sangat jauh. Tetapi intisari pelajarannya adalah seharusnya Belva dan Andi Taufan bisa mengkopipast mentalitas para politikus ini.
Anggap saja tekanan mundur dari massa itu seperti kafila yang berlalu. Persoalan konflik kepentingan dan maldministrasi itu hal biasa. Jangankan dilingkup istana, hingga ke Pemerintahan Desa pun kejadian ini bukan hal yang tabu. Itu hal yang biasa.
Apakah orang Indonesia lulusan Harvard unipersiti itu tidak mengetahui informasi ini? Ataukah mereka saja yang tak kuat hati menerima tuduhan dan desakan mundur dari rakyat? Kalau begitu selamat datang di Indonesia.
Berat memang jika berada diposisi Belva dan Andi Taufan. Keduanya masih muda, punya usaha dan langkahnya masih panjang. Menjadi bagian dari pemerintahan juga baru sebentar. Mereka ibarat bayi politik yang dikandung sembilan bulan dan mirisnya harus lahir dengan operasi sesar karena tak tahan dengan tingginya arus tekanan masa.
Mari menghargai keputusan anak muda ini. Kedepan kita doakan semoga stafsus milenial yang tersisa bisa bekerja lebih baik dan tak ikut mundur-munduran seperti ini. Masih banyak ilmu yang bisa jadi bekal politik kalian dimasa depan. Juga semua informasi disana bisa jadi bahan bakar yang melesatkan kalian dengan ambisi politik yang menyala-nyala.
Dan jika presiden tertarik untuk merekrut stafsus milenial yang baru, maka jangan sungkan untuk menghubungi saya, lupa untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.
Salam.
Baca Artikel-Artikel Menarik Saya disini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H