Alhasil, Tak sampai seminggu, mereka berdua pun akhirnya menyerah dengan tekanan massa yang begitu perkasa. Ahh, dari sinilah saya menaruh rasa kecewa kepada keduanya. Seharusnya mereka bisa bertahan lebih lama dipemerintahan untuk menunjukan bahwa mereka juga punya mental politik yang tak kalah dengan para penatua di ring satu.
Jika kita selidiki, mereka memiliki harta, kuasa dan jebolan  dari kampus ternama dunia. Belva dan Andi Taufan juga sudah sering merasakan asam garam kehidupan. Masa menghadapi tekanan ini saja sudah langsung mundur?
Sepertinya Belva dan Andi Taufan harus banyak belajar dari tokoh-tokoh politik yang lebih dulu duduk diistana. Sebut saja Presiden Soeharto.
Soeharto baru akan mundur ketika didemo berjilid-jilid oleh para mahasiswa diberbagi daerah. Karena korban jiwa telah banyak dan krisis ekonomi juga sudah mengancam. Akhirnya tak ada pilihan lain selain mundur.
Beda cerita dengan pak harto, ada nama lain yang kebal menghadapi tekanan politik yang kuat dari massa. Siapa dia? Namanya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Masih ingat toh dengan kasus Ahok? Bagaimana ia bisa survive dan santai menerima amukan massa dari para demonstran yang berjudul 212? Ia tetap bekerja seperti biasanya di Balai Kota. Walaupun telah didemo berjilid-jilid, nyatanya itu belum mampu menggoyahkan mental politik dari seorang Ahok.
Lalu ada nama lain yang tak kalah beken dengan itu. Yap, menkes Terawan. Sejauh mata memandang, dan sedekat telinga mendengar, Menkes Terawan adalah satu sosok yang dihujani kritik dan dituntut mundur karena dinilai tidak mampu menciptakan protokol kesehatan Indonesia dari serangan virus corona.
Alih-alih mengamini permintaan itu, ia tetap bisa bekerja sebagai Seorang Menkes dan tetap dengan gayanya yang guyon merespon setiap tanya-tanya wartawan seputar corona.
Ketiga tokoh ini secara usia berbeda dengan Belva dan Andi Taufan. Secara pengalaman, juga sangat jauh. Tetapi intisari pelajarannya adalah seharusnya Belva dan Andi Taufan bisa mengkopipast mentalitas para politikus ini.
Anggap saja tekanan mundur dari massa itu seperti kafila yang berlalu. Persoalan konflik kepentingan dan maldministrasi itu hal biasa. Jangankan dilingkup istana, hingga ke Pemerintahan Desa pun kejadian ini bukan hal yang tabu. Itu hal yang biasa.
Apakah orang Indonesia lulusan Harvard unipersiti itu tidak mengetahui informasi ini? Ataukah mereka saja yang tak kuat hati menerima tuduhan dan desakan mundur dari rakyat? Kalau begitu selamat datang di Indonesia.