Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tenaga Medis, Hotel, dan Taman Makam Pahlawan

14 April 2020   09:27 Diperbarui: 14 April 2020   09:42 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto (kompas.com)

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dua hari belakangan ini menjadi buah bibir warganet. Banyak masyarakat yang menginterupsi wacana beliau dalam tagar #DenGanjarBaper yang viral ditimeline twiter tersebut.

Ia dan pesona kebijakannya dianggap keliru bagi sebagian kalangan. Bagi saya, ia tidak lebih dari seorang pejabat yang ingin berbuat baik bagi masyarakat. Khususnya bagi tenaga medis yang sedang berjibaku berperang melawan virus corona.

Namun ada satu hal yang telah dilompati oleh Ganjar selaku orang nomor 1 di Jawa Tengah. Tenaga medis sebagai kalangan yang saat ini didukung oleh hampir semua elemen masyarakat telah diperhadapkan oleh masalah besar. Tak mau ketinggalan akan hal tersebut, Ganjar pun bergerak cepat dengan segudang gagasan dan inovasinya.

Perihal ini berangkat dari wacana Ganjar yang akan menyiapkan Tanah di Taman Makam Pahlawan bagi jenazah tenaga medis yang ditolak oleh masyarakat. Hal ini pun sontak memicu api kritik dan sorotan tajam dari publik.

Kebijakan beliau ini juga dicibir dan dibandingkan dengan Gubernur dari daerah lain. Ganjar diukur dan dibandingkan dengan Kebijakan Anies dan Ridwan Kawil (RK). Kedua orang ini masing-masing menjabat di DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Secara data, Jakarta adalah epicentrum virus corona kemudian disusul oleh Jabar dan selanjutnya Jawa Tengah. Tetapi bukan dari persoalan data virusnya, namun apa kebijakan pemimpinnya ketika daerah menghadapi pandemi. Khususnya yang menjadi sorotan adalah apa kebijakan yang diberikan oleh Pemimpin daerah untuk petugas kesehatan yang sedang menjalankan tugas.

Sejauh ini kedua pimpin daerah baik itu Jakarta dan Jabar, dua-duanya sedang berlomba untuk menjadi yang terdepan dalam menunjukan kualitas seorang pemimpin ditengah pandemi. Walau masih jauh dari panggung 2024, setidaknya mereka sedang memulainya dengan menanam sebuah keyakinan dan optimisme kepada masyarakat.

Bertolak dari itu, Gubernur Ganjar malah membuat wacana yang tak kalah apiknya. Ia juga berusaha agar populisme lewat gagasannya bisa mencuri hati masyarakat. Sama seperti yang dilakulan oleh Anies dan RK.

Contoh kasus misalnya apa yang telah ketiga orang ini berikan untuk para tenaga medis? Semua kompak menjawab, ketiganya telah menyiapakan intensif untuk para tenaga medis yang telah menjadi petugas dilini terdepan melawan virus corona.

Lalu selain itu apalagi?
Dengan guyon orang akan menjawab, Pak Anies dan RK menyiapkan hotel untuk tempat penginapan sementara bagi tenaga medis, sedangkan Pak Ganjar telah menyediakan tanah makam untuk tempat abadi para tenaga medis yang gugur atau meninggal karena virus corona.

Yah, tak ada yang salah dengan itu. Tetapi perlu kita telaah lagi apa maksud dari pak Ganjar ini. Seakan-akan tanah di Jawa Tengah itu sudah tak ada lagi yang mau menerima jasad para tenaga medis karena virus corona selain di Taman Makan Pahlawan.

Secara penampilan, keren sih bila dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Seakan-akan kita sejajar dengan para pahlawan yang sudah lebih dulu mendahului kita. Nampaknya sederajat dengan mereka jika mayat kita bersanding ditanah yang sekompleks dengan mereka.

Di sinilah lompatan pemikiran yang saya kritik itu. Saya tidak sedang meminta Ganjar untuk menyiapkan Tanah di Taman Makam Pahlawan untuk jasad para tenaga medis, tetapi harus ada siasat dari pemerintah untuk melawan stigmatisasi tentang jasad yang wafat karena virus corona. Entah dia dari kalangan tenaga medis atau masyarakat biasa.

Maraknya penolakan jasad para korban virus corona menunjukan bahwa ada gap informasi dan stigmatisasi yang perlu dibenahi. Ia tak lain harus berwujud dari sebuah akal pikiran manusia yang perlu ditata ulang cara dan jalan pikirannya.

Mengapa ada penolakan? Karena ada disrupsi informasi diakar rumput. Bahwa jasad yang meninggal karena virus corona tak bisa dimakamkan sesuai dengan jalur yang seperti biasanya, itu benar. Tetapi masyarakat juga harus tahu bahwa ada tahapan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh tenaga media sebelum para jenazah dibungkus dan dimakamkan.

Secara prinsip para jenazah korban virus corona telah disirami dengan zat disinfektan secara bertahap. Hal ini dilakukan untuk mematikan virus corona yang mungkin saja masih tersisa didalam tubuh. Dan secara logika, tubuh manusia yang terdiri dari sel dan jaringan itu juga akan mati ketika manusia sudah tidak bernafas atau bernyawa.

Mengutip laman liputan 6.com, Ahli forensik Mabes Polri Kombes Pol. Dr.dr.Sumy Hastry P, SpF menegaskan bahwa "virus tidak akan menulari kalau jenazah tidak dibuka setelah dibungkus rapi."

Kebenaran informasi ini tentunya harus didengar dan tersampaikan kepada masyarakat. Diperlukan sosok atau ketokohan dari pejabat publik, tokoh agama dan tokoh masyarakat, agar simpang siur informasi perihal ini bisa kita selesaikan.

Tentu penolakan jenazah tenaga medis ini membawa kita kepada sebuah kolase kehidupan yang buruk. Tak semestinya kejadian ini terulang. Hal ini sangat menciderai rasa humanisme manusia pribumi.

Tenaga medis yang sudah berjuang digarda terdepan seyogyanya perlu kita dukung. Masalah yang mereka  hadapi oleh saat ini memang banyak. Pilihannya tak ada. Tetapi jawaban dan tuntutannya selalu ada. Kesenjangan ini ditambah lagi dengan ketika gugur melaksanakan tugas, jenazah mau dibawa kemana.

Kejadian ini sempat membuat nurani teriris jika kita renungkan lebih dalam. Walaupun mereka saat ini bisa beristirahat sementara di hotel berhari-hari, namun ada rasa was-was dan keresahan setiap hari jika mereka sedang bertugas.

Oleh karenanya, pak Ganjar jangan hanya sibuk memikirkan dimana para jenazah tenaga medis ini akan dimakamkan ketika gugur menjalankam tugas. Tetapi mari melakukan aksi yang lebih luas dalam melawan stigmatisasi virus corona. Baik itu pada pasien yang positif kemudian sembuh, hingga mereka yang berkalang tanah karena tak bisa diselamatkan.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun