Kasihan BPJS, sudah berapa kali mereka defisit. Setiap tahun income mereka selalu lebih kecil dibandingkan outcomenya. Akhirnya mereka harus disuntikkan angin segar agar bisa tetap sehat dan berkembang. Tak mau itu terus terjadi, negara pun tak sungkanlama-lama menyehatkan lembaga asuransi kesehatan ini.
Tak ada jalan lain selain menaikkan outcome dari pungutan para peggunanya. Namun sayang, nasib sial menghadang. Keberadaan MA sebagai alat pertimbangan hukum dan kebijakan negara, menolak mentah-mentah kebijakan tersebut. Kesengsarayaan rakyat pun ikut tercabut bak paku yang menancap pada kayu.
BPJS Â Kesehatan sebagai anak kandung Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditetapkan pada pada awal tahun 2014 merupakan lembaga berbadan hukum tetap yang bertanggung jawab langsung kepada presiden untuk mengurusi jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia.
Dengan semangat gotong royong, itulah filosofi yang diusung lembaga Pimpinan dr .Fachmi Idris ini. Gotong royong yang dimaksud adalah yang kaya menolong yang miskin dan yang sehat menolong yang sakit. Dengan gotong royong semua rertolong. Duh senduhnya~~~
Dengan semboyan seperti ini pada awal BPJS Kesehatan diluncurkan, banyak yang simpati dan tertarik untuk mendaftarkan diri dan memiliki asuransi ini. Karena ada kata Gotong Royong nya, jadi wajar bila masyarakat mengapresiasi dan berbondong-bondong ingin buru-buru berbakti untuk negeri dan sesama.
Namun ditengah perjalanannya, tidak jarang banyak masyarakat yang mengeluhkan pelayanan BPJS Kesehatan. Bukan organisasinya, namun kadang kala yang diharapkan tidak sesuai dengan yang apa yang ada dilapangan.
Sudah basi ditelinga kita, pasien ditolak rumah sakit, pelayanan fasilitas kesehatan tidak memuaskan, pemblokiran kartu BPJS tanpa konfirmasi dan yang terbaru penaikan iuran  dua kali lipat dari iuran yang sebelumnya.
Prinsip dengan Gotong Royong semua tertolong ternyata bukan hanya berlaku bagi penerima manfaat dari asuransi ini, tetapi berlaku juga untuk instusinya itu sendiri. Dengan kenaikan iuran ini, sejujurnya penyakit BPJS lah yang kita tanggung.
Kenaikan iuran BPJS seyogyanya telah menyimpang dari nilai-nilai luhur kelahirannya. Sebagai anak kandung SJSN, BPJS harus benar-benar menjamin dan menyelenggarakan asuransi kesehatan yang berbasiskan kemandirian dan kerakyatan.
Namun, sampai saat ini, BPJS pun tak sanggup untuk mengelola dirinya sendiri. Ia kesakitan dan terus menerus minta disusui oleh negara. Negara pun menjadi iba, dan melimpahkan kekurangan ini kepada tuannya.
Mengutip Kompas.com, Kementerian Keuangan memprediksi tanpa ada kenaikan iuran, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan terus meningkat berturut-turut menjadi sebesar Rp 32 triliun di 2019, mencapai Rp 44 triliun tahun 2020, hingga Rp 56 triliun pada 2021.
Apa yang menyebabkan hal ini terjadi sebenarnya karena lemahnya pemerintah dalam mengantisipasi kelonjakan permintaan dan tuntutan dari BPJS Kesehatan. Bagaimana mungkin hitung-hitungan aktuaria yang dibebankan setiap bulan kepada rakyat, jauh menyimpang dari kebutuhannya.
Dalam hal ini, pemerintah telah salah. Dan kesalahan pemerintah pun dibebankan kepada rakyatnya.
Sebagai seorang rakyat. Melalui jalur dan hak konstitusional, sekelompok masyarakat  mengajukan gugatan dan tuntutannya kepada Mahkamah Agung (MA).
Hasilnya, dalam laman detik.com, MA telah secara resmi dan meyakinkan, menolak dan membatalkan kenaikan iuran yang gelah ditetapkan pemeintah sejak 1 Januari 2020. Bayangkan rasanya ditolak. Ditolak gebetan saja sakit, apalagi ditolak MA, pejabat teras pasti pening-pening.
Menurut MA, Â Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Itu artinya BPJS akan tetap pesakitan dengan defisitnya. Lalu bagaimana BPJS berdalih?
Sebelum gagasan ini berhembus kencang, pemerintah, DPR dan otoritas terkait telah 138 kali  rapat untuk menentukan nasib BPJS Kesehatan. Tercapai kesimpulan bahwa pemerintah secara resmi akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan walaupun badai protes tetap menyertai.
Sudah beberapa kali menambal sulam kekurangan yang dialami terus menerus oleh BPJS Kesehatan. Ketika sudah ditengah jalan, pemerintah pun bisa bernafas lega dengan ditekennya  Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Pak Jokowi, Sri Mulyani, Menkes dan BPJS Keehatan telah tersandera dengan masalah ini. Biar bagaimana pun, BPJS Kesehatan sebagai jaminan semesta seluruh rakyat Indonesia sedang dalam keadaan darurat.
Saya yakin dengan masalah ini, akan ada lagi sasaran tembak pemerintah untuk mengakali agar defisit ditubuh BPJS tidak berlarut-larut.
Ada beberapa cara yang kira-kira akan dijadikan skema untuk menutupi masalah ini yaitu menaikkan cukai rokok (lagi) sebagai sumber dana untuk pembayaran defisit, menghilangkan beberapa layanan yang akan ditanggung dan tidak ditanggung bpjs kesehatan, melakukan cross check data pada peseeta yang layak mendapatkan bantuan iuran atau tidak serta menaikkan denda bagi peserta yang terlambat membayar iuran bulanan.
Mengapa menaikkan cukai rokok (lagi)?
Seperti yang sudah kita metahui, telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah agar defisit keuangan BPJS Kesehatan tak semakin terus bertambah. Selain penyertaan modal negara (PMN), pemerintah juga mengalokasikan bantuan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan, pemerintah juga mengalokasikan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau atau dikenal juga dengan cukai rokok untuk menambal defisit keuangan BPJS tersebut. Mengutip kompas.com, Pada tahun 2018, pemanfaatan cukai rokok mampu menambal defisit BPJS hingga Rp 5 triliun
Pengoptimalisasian pendapatan negara dari cukai rokok tidak hanya berimbas pada income negara yang bertambah dari sisi pajak tetapi juga bisa berimbas pada konsumsi rokok yang bakal semakin terkendali. Mengingat rokok adalah unsur penyumbang penyakit terbanyak didunia dan Indonesia.
Selanjutnya skema menghapus layanaan oleh BPJS Kesehatan.
Secara singkat metode ini bertujuan untuk merampingkan anggaran melaluai efisiensi pelayanan kesehatan yang ditanggung atau tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Misalnya saja penghapusan obat kanker yang harganya jutaan yaitu bevacizumab dan cetuximab.
Skema ini tentu saja bisa dijadikan opsi untuk menutup defisit yang ada pada BPJS Kesehatan walaupun banyak pihak yang menyesalkan terjadinya kebijakan tersebut. Dua obat kanker kolorektal yang dihapus,terbukti cukup efektif membantu penanganan dan penyembuhan pasien kanker kolorektal.
Dari sisi yang lain misalnya bagaimana  BPJS Kesehatan memangkas tanggungan persalinan, katarak, dan fisioterapi. Padahal pasien yang membutuhkan layanan ini sangat banyak.
Selanjutnya adalah skenario cross check data pada peserta yang layak mendapatkan bantuan iuran atau tidak. Seperti yang kita ketahui, pemerintah menonaktifkan 5.227.852 atau 5,2 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Program Jaminan Kesehatan Nasional alias BPJS Kesehatan mulai 1 Agustus 2019.
Peserta PBI JKN merupakan peserta BPJS Kesehatan yang iurannya ditanggung oleh APBN. Peserta PBI biasanya masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Alasan penghapusan ini disebabkan oleh warga yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan status tidak jelas, tidak memanfaatkan layanan Jaminan Kesehatan Nasional sejak tahun 2014 hingga saat ini, meninggal dunia, memiliki data ganda, dan pindah segmen atau menjadi lebih mampu.
Penonaktifkan ini tentu akan sedikit membantu beban pemerintah. Sehingga masyarakat yang telah dinonaktifkan tersebut bisa membayar iuran secara mandiri tanpa ditanggung lagi oleh negara.
Skema yang terakhir adalah pemberlakuan denda bagi peserta yang terlambat membayar iuran. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan peserta akan dikenakan denda pelayanan apabila menunggak dan dalam kurun waktu 45 hari ternyata membutuh pelayanan kesehatan rawat inap. Peserta akan dikenai denda pelayanan sebesar 2,5% dari biaya pelayanan kesehatan (rawat inap) atau maksimal Rp30.000.000,-.
Boleh jadi, peraturan tersebut direvisi agar lebih mudah menjerat peserta yang telat menunaikan kewajibannya. Diketahui bahwa salah satu faktor defisitnya BPJS Kesehatan ialah karena peserta penggunna layanan sering terlambat membayar iuran bulanan. Sehingga untuk memberikan efek jera  dan mengurangi perilaku adverse selection atau membayar iuran hanya pada saat membutuhkan maka pemberlakuan denda ini bisa dijadikan alternatif sebagai income lain bagi BPJS Kesehatan.
Masalah defisit BPJS Kesehatan ini telah berlarut-larut. Deritanya bertambah setelah MA menolak klausul akan penambahan iuran. Banyak rakyat dan bersyukur kepada MA karena telah menutup keran saluran kebijakan yang dinilai terlalu membebankan rakyat.
Semoga saja restrukturisasi dan reformasi di BPJS Kesehatan segera dilaksanakan dengan mempertimbangakn keadaan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H