Mengapa menaikkan cukai rokok (lagi)?
Seperti yang sudah kita metahui, telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah agar defisit keuangan BPJS Kesehatan tak semakin terus bertambah. Selain penyertaan modal negara (PMN), pemerintah juga mengalokasikan bantuan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Bahkan, pemerintah juga mengalokasikan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau atau dikenal juga dengan cukai rokok untuk menambal defisit keuangan BPJS tersebut. Mengutip kompas.com, Pada tahun 2018, pemanfaatan cukai rokok mampu menambal defisit BPJS hingga Rp 5 triliun
Pengoptimalisasian pendapatan negara dari cukai rokok tidak hanya berimbas pada income negara yang bertambah dari sisi pajak tetapi juga bisa berimbas pada konsumsi rokok yang bakal semakin terkendali. Mengingat rokok adalah unsur penyumbang penyakit terbanyak didunia dan Indonesia.
Selanjutnya skema menghapus layanaan oleh BPJS Kesehatan.
Secara singkat metode ini bertujuan untuk merampingkan anggaran melaluai efisiensi pelayanan kesehatan yang ditanggung atau tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Misalnya saja penghapusan obat kanker yang harganya jutaan yaitu bevacizumab dan cetuximab.
Skema ini tentu saja bisa dijadikan opsi untuk menutup defisit yang ada pada BPJS Kesehatan walaupun banyak pihak yang menyesalkan terjadinya kebijakan tersebut. Dua obat kanker kolorektal yang dihapus,terbukti cukup efektif membantu penanganan dan penyembuhan pasien kanker kolorektal.
Dari sisi yang lain misalnya bagaimana  BPJS Kesehatan memangkas tanggungan persalinan, katarak, dan fisioterapi. Padahal pasien yang membutuhkan layanan ini sangat banyak.
Selanjutnya adalah skenario cross check data pada peserta yang layak mendapatkan bantuan iuran atau tidak. Seperti yang kita ketahui, pemerintah menonaktifkan 5.227.852 atau 5,2 juta peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Program Jaminan Kesehatan Nasional alias BPJS Kesehatan mulai 1 Agustus 2019.
Peserta PBI JKN merupakan peserta BPJS Kesehatan yang iurannya ditanggung oleh APBN. Peserta PBI biasanya masyarakat miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah dan diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Alasan penghapusan ini disebabkan oleh warga yang memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan status tidak jelas, tidak memanfaatkan layanan Jaminan Kesehatan Nasional sejak tahun 2014 hingga saat ini, meninggal dunia, memiliki data ganda, dan pindah segmen atau menjadi lebih mampu.
Penonaktifkan ini tentu akan sedikit membantu beban pemerintah. Sehingga masyarakat yang telah dinonaktifkan tersebut bisa membayar iuran secara mandiri tanpa ditanggung lagi oleh negara.