Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebuah Tantangan Puan-puan Pertiwi yang Berekspresi dan Melawan

9 Maret 2020   12:10 Diperbarui: 9 Maret 2020   12:30 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto (liputan 6.com)

Ketika dunia tercipta. Laki-laki lebih dulu ada.  Kala itu, dalam keadaan yang serba sendiri. Laki-laki tak bisa berdiri seorang diri. Tak pasti dan butuh sosok yang memberi arti.

Sekejap. Ketika dalam malam yang pekat, lelaki itu tertidur lelap. Waktu itu berputar wanita pun juga tercipta. Ia daging dari daging dan tulang dari tulang laki-laki. Ini akhirnya menyejarah dan semua berjalan seperti apa adanya sekarang.

Tak bisa kita menampik, bahwa keberadaan perempuan diberbagi lintas zaman dan era peradaban memiliki keanekaragaman masalah, tantangan dan hambatan akan jati dirinya sehari-hari. 

Semisal, di era 98, bagaimana wanita juga ikut terseret dan menjadi korban nyawa dari suara-suara yang melawan dan mencoba keluar dari gelapnya orde otoriter itu.

Jika kita tarik kebelakang maka akan lebih kusam lagi. Dari jaman penjajahan hingga menjelang kemerdekaan perempuan selalu menjadi bagian terkecil dan tersampingkan akibat kolonisasi, pikiran sempit dan gerakan revolusi perempuan yang belum pasti.

Walau dalam kondisi yang menyesakkan, perbuatan dan perjuangan mereka untuk negeri dan se-kaumnya tidak bisa memberikan maksud yang lebih banyak dan hanya berkutat di rumah. Maksudnya di dapur, kasur dan sumur.

Tak mau terbelenggu dalam kondisi itu, para perempuan pun akhirnya memutuskan keluar dari ketidaknyaman tersebut. Mereka saat ini menduduki dan melakukan hal-hal yang beda dari biasanya. Sebut saja presiden, Ketua DPR, Menteri Keuangan, Aktivis Kemerdekaan, Sineas, Jurnalis dan banyak lagi profesi yang mereka jalani. Bagaimana dengan menjual diri dan menjadi gundik? Apakah itu cerminan dari wajah perempuan era ini?

Masalah perempuan Indonesia yang ada didepan mata saat ini ialah bagaiamana perempuan bisa merdeka dan lepas dari pandangan patriarki akan dirinya dan merebut emansipasi absolut dari hak-hak luhur mereka.

Domestikasi kaum perempuan saat ini masih banyak terjadi. Khususnyaya didaerah-daerah yang tingkat pendidikannya rendah dan terpinggirkan. Misalnya saja di Papua, satu waktu saat saya melayani pelayan kesehatan disana. Salah seorang teman yang pagi itu baru saja membantu pelaksanan partus seorang mace dipedalaman Boven Digoel terheran. Mengapa? 

Mace yang baru saja melahirkan itu, setelah beberapa jam keluar dari ruang persalinan, di rumah ia sudah mengangkat air, menyiapkan makanan dan mengasuh anak-anaknya yang lain sembari menemani sang buah hati yang lahir itu.

Sungguh saya takjub melihat dan mendengarnya. Perasaan ini campur aduk. Merasa kasihan dan iba. Namun katanya, itu adalah tugas perempuan dan kewajiban dari seseorang perempuan. Sungguh menyentuh.

Dari satu kisah ini, saya tidak ingin menyampaikan sebuah kesimpulan terlalu awal. Namun izinkan saya merefekliskan bagaimana tantangan dari Puan-Puan yang melawan dalam bingkai kemerdekaan dan Hari Perempuan Internasional.

Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Hal ini masih awet dan dijunjung tinggi sebagai sesuatau budaya dan dogma sentral yang mengekang para perempuan.

Walaupun kita tahu bersama, Presiden kita pernah dari perempuan, Ketua DPR RI kita sat ini Perempuan, Komposisi kabinet yang ada saat juga beberapa persen diisi oleh perempuan. Namun poros pergerakan perempuan era modern belum mengalami ledakkan yang besar.

Mengapa budaya patriarki masih melekat dan betah di Indonesia? 

Hal ini erat kaitannya dengan budaya dan dogma. Misalnya saja bagaimana beberapa daerah di Indonesia masih menjunjung tinggi tradisi yang menyatakan bahwa laki-laki itu memiliki derajat yang lebih diatas perempuan. Lalu ada agama tertentu yang melarang perempuan berbuat melebihi laki-laki dan harus tunduk dibawah laki-laki.

Fenomena lain misalnya, manusia baik laki-laki atau perempuan itu sendiri juga turut serta mengkotak-kotakan dirinya. Semisalnya perempuan tidak boleh jorok, perempuan harus mengurus anak, perempuan harus didapur. Nah, pengkotak-kotakan seperti inilah yang empunya saluran praktik patriarki itu terus berlangsung.

Guyonan pun juga tidak luput dari alasan patriraki terus hidup. Kadangkala kita mengeluarkan pernyataan seperti ini kepada perempuan : inget umur yah!!! Nanti gak ada yang mau lo kalau gak sadar waktu.

Sungguh sangat disayangkan. Biar pun seperti apa, perempuan yang sudah mandiri, berprestasi dan pekerja keras tetap menjadi sasaran dan korban patriarki.

Hal yang menjadi miris lagi jika praktik patriarki itu dilakulan oleh sesama kaumnya. Bukan maksud menggurui apalagi menyalahi. Namun sudah seyogyanyalah para perempuan Indonesia dan seluruhnya harus keluar lebih dulu dari zona ini. 

Niscaya lelaki sebagai padanan hidupnya didunia ini akan merekonstruksi ulang cara berpikir, melihat dan menejermahkan apa arti dari keberadaan perempuan.

Setelah keluar dari zona nyaman patriarki. Perempuan masih memiliki masalah lain. Yaitu merebut emansipasi yang absolut.

Absolut berarti mendapatkan seutuhnya hak yang melekat pada dirinya. Persoalan Tara Basro yang menampakan fotonya sebagai bagian dari ekapresi dianggap telah bertolak dan melanggar UU ITE. Kebebasan ekspresi sebagai bagian yang luhur dari manusia dan perempuan itu sendiri harusnya dijamin oleh UUD. Selanjutnya bisa dibaca pada link berikut

Namun sayangnya emansipasi yang absolut ini terbentur konstitusi dan persepsi yang menjerat. Biji mata hitam lah yang dijadikan corong penglihatan kepada perempuan dan karena kakunya sistem dan belenggu pandangan patriarki yang masih merintangi.

Agenda pengarusutamaan perempuan harus dihidupkan. Mengingaat saat ini sebenarnya adalah momen yang paling penting. Advokasi dan regulasi tentang hak dan kekebasan perempuan harus terus diusulkan. Aji mumpung, Ketua DPR RI kita saat ini adalah perempuan, Puan Maharani. Perempuan-perempuan bisa menjadikan ini sebagai kendaraan politik mencapainya.

Korban Kekerasan Seksual, Korban Prostitusi, Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan kebebasan berekspresi adalah PR kita semua. Memberikan mereka ruang dan bersuara adalah salah satu bentuk keadilan sosial bagi sesama manusia.

Emansiapasi perempuan yang absolut akan direbut bila perempuan paham dan memahami dirinya. Walaupun masih sedikit yang memahami maksud dari makna Hari Perempuan Internasionsional. Majulah Perempuan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun