Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyoal Larangan Ibadah Natal di Sumatera Barat

19 Desember 2019   09:38 Diperbarui: 19 Desember 2019   09:45 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagi.... Kejadiaan mengenai pelarangan ibadah natal disalah satu negara yang katanya menjunjung tinggi nilai nilai kebhinekaan terulang kembali. Ini tentunya mengusik hubungan berbangsa dan bernegara.  Sungguh sebuah ironi tapi layak untuk kita bawa ke ranah diskusi. Mengapa natal dan gereja selalu menjadi pemantik terjadinya diskriminasi?

Bulan Desember memang bulan yang was was bagi saya. Selain karena Desember adalah bulan natal, pada bulan ini juga rawan terjadi hal hal yang kita tidak inginkan. Apalagi menyoal isu agama. Impilkasi yang paling rawan yaitu serangan terorisme.

Pelarangan ibadah natal yang terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya. Jemaat kristiani dilarang beribadah dikarenakan mereka tidak mendapatkan izin dari pemerintah setempat kerena perayaan dan ibadah Natal dilakukan di rumah salah satu umat yang telah dipersiapkan. Pemda setempat beralasan karena situasinya tidak kondusif.

Mengutip dari pemberitaan suara.com, ada 4 masalah yang menjadi poin kunci dari berita yang tidak mengenakan tersebut.
1. Masyarakat dilarang ibadah dirumah karena tidak kondusif
2. Daerah warga sekitar tidak tersedia gereja
3. Masyarakat mengaku sulit mendapatkan izin ibadah dan izin pembangunan gereja
4. Sentimen sara yang berlebihan.

Apa yang membuat situasi tidak kondusif saat jemaat kristiani sedang beribadah dan merayakan natal??? Atau tanyakan ke diri kalian, pada saat beribadah, apa yang membuat situasi disekitar kalian tidak kondusif??? Logika saya disini terjungkal. Setahu saya, agama yang diakui di Indonesia  saat beribadah tidak membawa sajam atau bahan peledak. Semua beribadah dengan penuh hikmat dan tenang. Semua menyembah Tuhannya dengan hati yang damai. Tidak mengancam nyawa disekitarnya. Juga tidak menganggu daerah sekitarnya.

Jika perihal kondusifitas menjadi alasan pelarangan ibadah, ini tentunya mengindikasikan forum kerukunan beragama didaerah tersebut sangat rendah. Mengapa kita berbhineka namun belum bisa hidup berdampingan satu sama lain. Apakah pada saat umat kristiani beribadah, menganggu iman saudaranya yang lain dan berbeda dengannya???

Tentu tidak. Disini adalah soal kita mau menerima dengan akal sehat atau kita tetap beprilaku seperti agama kita yang paling benar dibanding dengan ibadah yang lain. Atau disini mungkin ada usaha usaha  lain yang dilakukan untuk memberangus kebebasan bergama.

Alasan lain ialah pemerintah setempat kuatir akan terjadinya gesekan disekitar daerah yang akan menjadi tempat ibadah perayaan natal dengan lingkungan sekitarnya, pelarangan ibadah bukanlah sebuah solusi. Seharusnya yang dilakukan adalah imbauan dan peningkatan keamanan daerah sekitar lokasi tempat ibadah. Tetapi mengapa dilakukan pelarangan??? Ini tentunya political will yang tidak berpihak pada masyarakat. Apalagi masyarakat yang beragama minoritas.

Masyarakat Desa yang akan beribadah juga telah mengajukan izin perihal ibadah yang akan diselenggarakan pada saat hari H. Pemerintah seharusnya mengayomi dan memfasilitasi. Jika pemerintah setempat menilai daerah sakitar rawan akan terjadinya kericuhan atau gesekan yang akan terjadi jika ibadah tetap dilakukan disalah satu rumah umat yang dimaksud, solusinya adalah menyiapkan tempat ibadah yang mudah dijangkau oleh jemaat dan juga aman bagi masyarakat yang beribadah, misalnya aula  kantor pemerintah atau halaman kantor polisi setempat.

Alih alih memberikan solusi yang bijaksana, pemerintah malah menghimbau agar masyarakatnya yang akan beribadah natal untuk beribadah di gereja resmi. Yang menjadi masalahnya adalah didaerah tersebut tidak ada gereja untuk beribadah. Gereja terdekat yang dapat dijangkau oleh umat kristiani disana berada di Sawahlunto yang jaraknya sekitar 120 km dari lokasi tempat tinggal mereka. Sungguh dekat bukan??? Hmmm... Jika berjalan kaki berapa jam kira kira kamu sampai untuk mencapai jarak yang begitu dekatnya ini???

Mengapa didaerah mereka tidak ada gereja? Apakah mereka tidak mengajukan izin untuk mendirikan gereja? Untuk mengajukan izin beribadah saja mereka tidak diberikan, apalagi izin mendirikan gereja. "Sudah berlangsung cukup lama (1985), selama ini mereka beribadah secara diam-diam di rumah salah satu jemaat, namun mereka sudah beberapa kali mengajukan izin untuk merayakan Natal, namun tak kunjung diberikan izin.

Pernah sekali, pada awal tahun 2000, rumah tempat mereka melakukan ibadah kebaktian dibakar karena adanya penolakan dari warga," ujar Badan Pengawas Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Sudarto kepada Covesia---jaringan Suara.com melalui telepon di Padang, Selasa (17/1/2/2019).

Perihal pemberiaan izin untuk ibadah sebenarnya telah diatur dalam undang undang kita. UU kita menyatakan bahwa ibadah yang bersifat privat dijamin dan dilindungi oleh negara sedangkan ibadah yang bersifat publik sifatnya sangat fleksibel tergantung dari urgensi dan sentimen sosial yang berada disekitarnya. Lalu pertanyaannya adalah ibadah natal itu bersifat publik atau privat?

Ibadah natal pada hakekatnya bersifat publik. Sehingga tentu perlu diperhatikan aspek aspek sosial yang saling bersangkut paut didalamnya. Pemerintah daerah Kabupaten Dharmasraya mengajurkan agar warganya yang akan merayakan natal untuk tidak beribadah natal dirumah tetapi di gereja. Namun sungguh malang, gereja mereka saja tidak ada. Lengkap sudah penganiyaan umat kristiani disana.

Kebebasan beribadah mereka diberangus, jaminan mereka untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa telah dikorupsi dan diganti dengan alasan ini itu yang sifatnya administratif dan bakal sukit untuk mereka penuhi. Jika sudah begini jangan Jokowi yang disalahkan. Kasihan, beliau tidak tahu apa apa mengenai ini.

Forum Komunikasi antar Pimpinan daerah harus bergerak cepat mengatasi hal ini. Jangan biarkan hak hak dasar warga negara dibiarkan berlarut larut seperti ini. Perlu percepatan dan komunikasi interakif dengan jemaat kristiani disana dan tentunya komitmen tokoh masyarakat, tokoh agama untuk sama sama menjaga kebebasan beribadah setiap anak bangsa.

Sentimen sara yang berlebihan berimplikasi pada kebebasan beragama yang riskan. Negara kita telah memutus akan jaminan untuk beribdah. Setiap warga negara harus mengakui akan hak dasar yang telah ditetapkan ini. Apapun agama anda, itu adalah keyakinan anda. Benar yang dikatakan oleh Almarhum Gus Dur, "untukmu agamamu, untukku agamaku". Agamaku tidak akan terusik dengan ibadah saudaraku yang beragama lain. Keyakinanku tidak ada goyah jika mendengar suara ibadah dari agama lain.

Selama kita berada di NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA dan dasar negara kita adalah PANCASILA, setiap warga negara berhak untuk beribdah sesuai dengan keyakinannya masing masing. Namun jika kita masih memberangus kebebasan beragama saudara kita yang berbeda keyakinan dengan kita, perlu kiranya agar kita kembali menanyakan sampai dimana batas batas hidup berbangsa dan  bernegara itu?

Indonesia adalah format yang belum selesai, termasuk menyangkut kedudukan agama di wilayah publik atau sebaliknya isu-isu publik dalam visi dan pandangan agama-agama ( AE Priyono, 2016).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun