Perlu efisiensi di sana sini, tetapi sebisa mungkin tanpa mengurangi sisi keefektifannya.  Salah satu solusinya adalah pembangunan IKN di metaverse yang  bisa dianggap relatif murah jika dibanding harus membangun IKN secara fisik.
Eits... tunggu dulu! Siapa bilang pemerintah kita nggak memikirkan IKN ke bentuk metaverse? Beberapa hari lalu, dikutip dari Tempo.co (13/1/2022), pemerintah melalui Bappenas menyatakan bahwa pemerintah akan mengimplementasikan rancangan IKN ke dalam dunia metaverse dan sudah dibuat tim khusus untuk menganganinya.Â
Namun, setelah membaca beritanya lebih utuh ternyata, tujuan membuat rancangan IKN ke metaverse adalah hanya untuk mengenalkan lebih dekat desain, konsep dan rancangan IKN kepada masyarakat agar tidak hanya terlihat seperti maket atau hologram saja.
Ternyata, bukan untuk membuat rancangan IKN dengan segala proses penyelenggaraan administratifnya ke dalam bentuk metaverse seperti yang sedang dibangun oleh Seoul ataupun Shanghai.Â
Alangkah lebih baik tidak hanya mengubah maket ke dalam bentuk metaverse, melainkan membangun utuh metaverse Ibu Kota Negara Baru dengan segala proses bisnis yang ada di dalamnya. Paling cuma habis beberapa triliun saja, paling banter belasan atau puluhan triliun, yang pasti nggak sampai ratusan triliun lah......
Mengapa ke depan Metaverse akan sangat populer? Sebenarnya kita bisa memprediksinya dengan mengamati perilaku anak-anak kita saat ini. Saya sendiri mengamati anak saya yang berusia 9 tahun.Â
Saat ini dia lebih asik untuk berdiam diri di rumah dengan terhubung internet, dia bisa main game online semacam roblox yang menggambarkan metaverse versi sederhana, dan anehnya dia tidak bosan sampai-sampai kami kewalahan mengingatkannya untuk mengerjakan PR ataupun melakukan aktivitas fisik lainnya.
Fenomena lainnya adalah dulu ketika kita masih anak-anak atau remaja, kalau diajak piknik atau berwisata ke tempat-tempat yang baru, kita sangat antusias, sampai-sampai malam harinya sebelum berangkat pun kita tidak bisa tidur karena terbayang-bayang terus akan asiknya piknik. Namun, fenomena itu tidak lagi terjadi untuk anak-anak saya.
Ketika saya ajak berwisata ke gunung atau objek-objek wisata lainnya, responnya tidak terlalu antusias. Mereka lumayan antusias manakala menginap di hotel yang ada kolam renang dan tentunya akses WiFi.Â
Definisi wisata bagi mereka adalah menginap di hotel, bukan ke objek wisata. Usai asik berenang, mereka lebih memilih ke kamar, langsung online dan tidak terlalu antusias untuk berkegiatan fisik ataupun mengeksplor objek wisata di sekitaran hotel.
Mungkin generasi kita atau generasi orang tua kita menganggap metaverse adalah kenikmatan semu, tidak bisa menggantikan kenikmatan sesungguhnya berinteraksi dan melihat langsung di dunia nyata.