Pertanyaan itu sering timbul di benakku.
Bobo adalah majalah pertama yang kubaca di awal 90-an saat aku masih SD. Rasanya senang sekali membaca cerita Bona si gajah kecil, Oki dan Nirmala di majalah terpopuler untuk anak-anak kala itu. Seingatku harga majalah Bobo saat itu masih beberapa ratus perak saja, yang sekarang ini cuma cukup untuk membeli beberapa gelintir permen.
Kegemaranku membaca seingatku bermula sebelum aku masuk SD. Aku suka melihat ATLAS dan menghafal nama-nama ibukota propinsi, Ibu kota negara. Aku juga suka membaca buku pintar yang dulu terkenal dengan sebutan RPUL.
Nah kegemaranku membaca mendorongku untuk mengoleksi apa yang kubaca. Hoopla, tabloid anak-anak yang sering kubaca saat SD sampai SMP merupakan koleksi pertamaku.Â
Memang agak aneh mengoleksi Tabloid, biasanya kan orang-orang mengoleksi Buku atau paling tidak majalah. Namun, aku merasa sangat sayang sekali kalau membiarkan tabloid favoritku teronggok di kolong meja ruang keluarga, jadilah kusimpan rapi untuk kukoleksi dan sampai sekarang Tabloid Hoopla itu masih tersimpan rapi di lemari di rumah orang tuaku di PATI lengkap dengan bonus-bonus poster artis cilik ataupun remaja.
Koran pun tidak luput dariku. Rasa hausku untuk terus membaca mendorongku untuk melahap bagian per bagian dari koran yang kubaca. Mungkin berbeda dengan orang-orang sibuk di ibukota yang terkadang hanya membaca headline-nya saja bahkan karena terburu-buru berangkat kerja mereka tidak sempat membacanya secuil artikel pun.Â
Bapak ibuku tahu kegemaranku membaca koran jadinya sering membawakan koran sepulang aku sekolah. Kalau tidak Suara Merdeka ya Kedaulatan Rakyat. Aku pun sering berpesan kepada beliau untuk tidak lupa membeli koran. Kami juga tidak berlangganan koran, karena menurutku agak mahal jika berlangganan minimal sebulan, jadilah sekedar membeli eceran.Â
Untuk koran, aku tidak begitu berminat untuk mengkoleksinya, di samping kertasnya tidak menarik dan gampang kucel, juga memakan banyak tempat yang jika jarang disentuh akan banyak timbul debu.
Menginjak SMP, aku sering meminjam buku dan majalah di perpustakaan. Majalah yang menarik perhatianku saat itu adalah INTISARI. Majalah berukuran kecil dan kompak yang isinya sangat kaya dan lengkap seperti nama majalahnya sendiri, dan tentunya sangat menarik bagiku saat itu. Aku suka membaca majalah intisari yang walaupun sudah usang dan lusuh tetapi informasi yang ada di dalamnya sangat menarik bagiku.Â
Sejujurnya aku lebih suka dengan pengetahuan umum dan populer daripada ilmu-ilmu pasti seperti matematika, fisika ataupun kimia. Keinginanku melihat informasi dunia yang luas seolah terakomodir oleh intisari. Dulu aku belum mengenal internet dan tentu saja saat itu belum lahir 'Mbah Google' ataupun 'Mbak Wikipedia'.
Aku ingin mengoleksi intisari, tetapi di toko buku yang ada di kotaku sering tidak tersedia intisari, kalaupun ada akan segera habis. Aku tidak berpikir untuk berlangganan karena tentunya akan membebani finansial orang tua ataupun agak ribet untuk berlangganan saat itu.Â
Akhirnya aku mendapat kesempatan mengoleksi Intisari saat Ibu sering mondar-mandir melanjutkan kuliah ke Jogja setiap akhir pekan. Sudah pasti aku nitip ke beliau untuk membeli intisari.Â
Bertahun-tahun aku membeli intisari eceran, sampai pada akhirnya harganya yang melonjak signifikan menjadi Rp25 ribu-lah yang membuatku berhenti membelinya, karena aku kecewa dengan kebijakan harganya.Â
Coba bayangkan dari semula seharga Rp6000,- saat aku mulai mengoleksinya hanya sekitar 3-4 tahun bertahap naik sampai menjadi Rp25 ribu kalau nggak salah. Jadilah aku memboikot untuk membelinya.
Sejak Mahasiswa aku mulai tidak rutin membeli intisari, tetapi aku akan membelinya jika benar-benar edisinya menarik. Aku beralih ke majalah Tamasya. Aku suka melihat foto-foto pemandangan alam ataupun objek-objek wisata yang menarik.Â
Dalam majalah Tamasya aku menemukan hal itu. Panduan dan tips-tips perjalanan wisata terutama di dalam negeri memberiku mimpi untuk suatu hari nanti aku akan mengelilingi Kepulauan Nusantara dengan segenap eksotikanya.
Aku termasuk orang yang perfeksionis dalam hal memperlakukan koleksiku. Aku seakan tidak rela jika majalah ataupun buku-buku kesayanganku terlipat covernya atau lusuh. Apalagi jika dibaca oleh temanku dengan kasar, dalam hatiku pasti dongkol sekali.Â
Makanya, agar tidak terjadi hal-hal tersebut sebelum temanku meminjam untuk membacanya pasti kuwanti-wanti agar membaca dan membuka halaman per halamannya jangan terlalu kasar.
Sewaktu kuliah di Jogja kegemaranku mengoleksi buku dimulai. Di Jogja banyak terdapat toko buku diskon, salah satunya adalah Toga Mas. Aku senang main ke Toko ini karena koleksi bukunya tergolong lengkap, dapat diskon, dapat sampul mika gratis (termasuk disampulkan langsung), ada wifinya dan yang pasti dekat dengan kosku. Buku-buku motivasi semacam Chicken Soup, ataupun buku-buku tentang Soft Skill banyak kubeli di toko ini.
Untuk buku-buku impor berbahasa Inggris aku beli di Gramedia. Harganya yang relatif mahal sampai ratusan ribu membuatku harus sedikit demi sedikit menyisihkan uang sakuku untuk kubelikan buku itu. Dan buku termahal yang pernah kubeli adalah Buku Security Analysis yang kubeli dari sebuah toko buku impor di daerah Sagan Yogyakarta yang aku lupa namanya.Â
Buku itu merupakan buku legendaris karangan Benjamin Graham yaitu guru dari Investor Tersukses sepanjang sejarah yaitu Warren Buffet. Buku itu juga sempat nongol di film Will Smith yaitu 'The Pursuit of Happyness'. Aku ingin mempunyai buku itu karena penasaran seperti apa buku yang fenomenal itu.Â
Ternyata Toko buku itu harus memesan dulu di Amazon.com, aku pun menunggu kurang lebih satu bulan untuk mendapatkannya. Eh, sekarang buku itu malah teronggok di dalam lemari bersama buku lainnya, hanya beberapa lembar saja yang pernah kubaca....
Sekarang, ketika sudah bekerja di Jakarta aku semakin kalap untuk membeli buku. Ketika ada diskon sampai 30% atau lebih di Gramedia, jelas tanganku menjadi semakin gatal, dan tak terasa  kartu debit pun terus bergesekan dengan EDC.Â
Mending kalau kubaca semua, sampai saat ini kira-kira lebih dari separohnya belum tuntas kubaca, bahkan ada yang masih terbungkus plastik dengan rapi. Hah.....
Beli buku bukan sekedar untuk gaya-gayaan saja biar dianggap kaum intelek. Beli buku itu bagus, tapi kalau tuntas membacanya dan diresapi ilmunya. Kalau sekedar untuk koleksi saja dan cuma dipandangi cover-nya, itu namanya apa? Investasi atau pemborosan? Anda bisa menjawabnya sendiri.....
Ayo Baca Tuntas Buku yang Sudah Kita Beli.....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H