Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Kenapa Bayar Pajak Harus Nyaman?

27 Oktober 2018   00:54 Diperbarui: 27 Oktober 2018   10:38 1790
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: money.cnn.com

Lagi-lagi soal pajak, kapan sih soal pajak ini nggak selalu membayangi umat manusia? Jawabannya adalah ketika wajib pajak membayar pajak dengan nyaman.

Kapan itu terjadi? Ya kapan-kapan, haha..

"Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." 

Itulah bunyi pasal 23A konstitusi kita. Jadi senyampang kita masih Warga Negara Indonesia atau tinggal di Indonesia, tentunya kita berkewajiban untuk membayar pajak sebagai salah satu bakti kita kepada negara. Idealnya sih begitu.

Nah, pemerintah sebagai pemungut pajak tentunya tidak bisa sewenang-wenang dalam memungut pajak karena diatur oleh undang-undang. Sesuai dengan falsafah pajak, "No Taxation without Representation" atau "Taxation without Representation is Robbery". 

Jadi representasi masyarakat dalam hal ini adalah Undang-undang yang merupakan produk hasil pembahasan wakil-wakil rakyat pilihan masyarakat dengan pemerintah.

Kalau Undang-undang yang terkait dengan pajak sudah merepresentasikan suara rakyat, langkah berikutnya adalah memastikan prosedur pemungutannya sebisa mungkin tidak merepotkan dan memberatkan masyarakat. Maksudnya???

Four Maxim adalah empat asas perpajakan yang dikemukakan oleh Adam Smith. Salah satu dari asas tersebut adalah Convenience dalam artian kenyamanan. Apanya yang nyaman? Bayar pajak kok nyaman, lagi ngigau ya....?

Sejujurnya pajak merupakan beban bagi masyarakat. Ketika masyarakat sudah terbebani oleh besaran pajak, jangan sampai dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dipersulit, rumit, dan tidak praktis. Jika itu yang terjadi, maka resistensi masyarakat terhadap pajak akan semakin besar, dan jangan harap kenyamanan dalam membayar pajak akan segera terwujud. 

Waktu pemotongannya pun harus sesegera mungkin dilakukan pada saat yang tepat. Misalkan saya menerima honorarium, maka pemotongan pajak dilakukan sesaat sebelum honorarium diberikan. Sama halnya gaji pegawai yang langsung dipotong oleh bendahara kantor sesaat sebelum gaji didistribusikan. Jadi gaji ataupun honorarium yang kita terima itu sudah bersih.

Nah dengan dipungut/dipotong sesegera mungkin ataupun saat obyeknya diterima, maka si wajib pajak tidak terlalu merasa terbebani, karena uang yang memang seharusnya disetorkan ke kas negara, belu

 Coba bayangkan kalau pungutan pajak tidak segera diberlakukan ketika obyeknya diterima, maka akan menjadikan beban luar biasa bagi masyarakat, dan Direktorat Jenderal Pajak sendiri juga akan ikut kelabakan dalam menagihnya. 

Misalkan pembayaran PPh dilakukan setahun sekali, maka apa yang terjadi? Mungkin si wajib pajak akan merasa sangat terbebani, karena akumulasi pajak yang harus dibayarkan dalam satu tahun tentunya bukan angka yang kecil. Terlebih lagi jika uang penghasilannya dalam satu tahun hampir habis, eh malah dikejar-kejar pegawai pajak, mau bayar pakai apa? Tambah tidak nyaman tentunya.

Coba penghasilan yang diterima itu sudah bersih dipotong pajak, hal yang sangat praktis. Maka bagi wajib pajak tidak akan muncul apa yang namanya endowment effect, dimana dalam konteks pajak ini kita tidak rela/enggan memberikan harta (uang) kita kepada pemerintah.

Karena kita sudah terlanjur menyayanginya/ menganggapnya menjadi hak milik kita, padahal sebenarnya sebagian harta kita itu adalah hak pemerintah dalam bentuk pajak yang diatur oleh undang-undang. Endowment effect dalam kadar tinggi itulah yang memicu penghindaran pajak. Nah, terus bagaimana dalam menyikapi endowment effect ini?

Coba kita telisik apa-apa saja yang membuat kita nyaman dalam membayar pajak:

1. Withholding Tax

Pajak kita langsung dipungut atau dipotong oleh pihak ketiga yang mendapatkan wewenang untuk menghitung, memungut ataupun memotongnya. Misalkan bendahara gaji kita setiap awal bulan. Maka kita tidak perlu repot-repot menghitungnya ataupun menyetorkannya sendiri ke kas negara, seperti halnya pemotongan terhadap gaji pegawai oleh Bendahara gaji. 

Inti dari witholding tax ini kita tidak perlu repot-repot untuk bayar sendiri pajak kita ke kas negara. Sebenarnya witholding tax adalah sebuah paksaan yang tersistem sehingga diharapkan terjadi kepatuhan yang sangat tinggi. Tidak mengherankan jika penerimaan pajak terbesar jika dilihat dari sistem pemungutannya ya adalah withholding tax. 

Kalau yang terjadi seperti itu, wajib pajak jadi nyaman nggak ya? Kalau saya sendiri sih masih nyaman.

2. Pajak Final

Sudah selayaknya pajak-pajak yang bersifat final itu diperbanyak sehingga masyarakat pun sudah tidak terbebani lagi untuk menghitung kewajiban perpajakannya setiap tahun. Masyarakat tidak perlu memasukkan penghasilan yang telah dikenakan pajak final, diperhitungkan lagi dalam pendapatan kena pajak di SPT yang bisa berpotensi untuk lebih atau kurang bayar.

Lebih atau kurang bayar itu terjadi karena pajak-pajak yang tidak bersifat final, sehingga masyarakat ketika membuat dan melaporkan SPT biasanya akan terkena tarif progresif dan seringkali hasil akhirnya kurang bayar. 

Jika diketahuinya kurang bayar pada saat periode pelaporan SPT, tentunya akan memunculkan endowment effect, yang pada akhirnya si Wajib Pajak berpotensi melakukan penghindaran pajak.

Andai saja semua pajak bersifat final dan dipungut dengan sistem withholding tax, wah bisa naik signifikan tax ratio kita, kepatuhan masyarakat by system akan jauh lebih baik karena semacam dipaksa oleh sistem dan sulit melakukan penghindaran. 

Coba kita lihat seperti halnya pajak penghasilan atas transaksi saham di Bursa  yang dikenakan sebesar 0,1%  dari nilai transaksi penjualan saham. Pajak penghasilan tersebut juga dikenakan secara langsung saat transaksi penjualan itu terjadi oleh perusahaan sekuritas, tempat dimana kita membuka rekening efek. Kita tidak perlu repot menghitungnya ataupun menyetorkannya sendiri ke Kas Negara, biarkan broker (sekuritas) kita yang melakukannya.

Pajak yang bersifat final dan withholding tax adalah kunci untuk membuat wajib pajak nyaman dengan pajak, sehingga muara akhirnya adalah kepatuhan wajib pajak yang terjadi secara sukarela atas kesadaran diri sendiri, bukan berasal dari ancaman atau ketakutan-ketakutan atas sanksi pidana pajak.

Dalam hal kenyamanan bagi wajib pajak, tentunya kita juga tidak boleh menafikkan kualitas pelayanan front liner yang prima, Account Representative yang responsif, komunikatif, dan profesional, serta berbagai macam aplikasi mobile dan sejenisnya. 

Yang bisa memudahkan wajib pajak dalam mengakses informasi perpajakan ataupun dalam hal memudahkan wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya. Oiya, satu lagi yang membuat nyaman wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya adalah jika tarif pajak turun signifikan, pasti kenyamanan si wajib pajak bisa berubah jadi 1000%, hahaha....

Bayar Pajak dengan Nyaman, Penerimaan Negara pun Aman!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun