Coba kita simulasikan, misalnya pajak penghasilan dikenakan tarif flat (proporsional) 5% untuk semua tingkat penghasilan, maka wajib pajak dengan penghasilan kena pajaknya Rp1 Milyar akan membayar pajak sebesar Rp50 juta, sedangkan wajib pajak yang penghasilan kena pajaknya Rp10 juta akan membayar pajak sebesar Rp500 ribu. Kondisi tersebut tentunya sudah memenuhi asas daya pikul.
Berbeda kondisinya jika diterapkan tarif pajak progresif maka selain membayar pajak dalam nominal yang lebih besar, si kaya akan mengalami beban pajak dengan proporsi yang lebih besar terhadap penghasilannya dibandingkan orang yang penghasilannya pas-pasan.Â
Hal ini tentunya kontraproduktif dengan asas equality yang dikemukakan oleh Adam Smith, bahwa wajib pajak harus diperlakukan sama atau tidak diskriminatif. Tarif progresif atas pajak penghasilan tidak relevan dengan asas ini, sehingga tidak mengherankan jika banyak diantara wajib pajak yang merasa 'dihukum' dengan tarif progresif, melakukan segala upaya untuk penghindaran pajak.
Contoh dari corrective tax yaitu pajak kendaraan bermotor. Pajak kendaraan bermotor saat ini yang berlaku di Indonesia dikenakan tarif progresif sesuai perda masing-masing provinsi.Â
Tarif Progresif berlaku untuk kepemilikan kendaraan bermotor lebih dari satu. Semakin banyak memiliki kendaraan bermotor maka akan semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Dalam kebijakan ini jelas yang disasar agar konsumsi atau pembelian kendaraan bermotor bisa ditekan agar kemacetan, polusi, dan biaya sosial yang muncul dari keberadaannya bisa lebih terkendali.
Apa jadinya jika pajak progresif diterapkan dalam pajak penghasilan orang pribadi. Kalau punya mobil lebih banyak jelas secara tidak langsung akan merugikan masyarakat lainnya dengan polusi atau potensi kemacetan yang ditimbulkannya.Â
Namun, apakah jika seseorang punya penghasilan lebih banyak berarti dia merugikan banyak orang? Tentu tidak demikian. Justru mungkin dia telah membuka banyak lapangan kerja sehingga selain kontribusi pajak dari penghasilan pribadi dan usahanya, dia juga berkontribusi dengan meningkatkan penerimaan pajak dari para pegawainya ataupun efek domino positif yang muncul dari aktivitas perekonomian yang dilakukannya.Â
Masak orang yang bekerja lebih keras sehingga punya penghasilan yang lebih besar 'dihukum' dengan tarif pajak yang lebih besar. Kalaupun besaran tarif yang sama (proporsional) diberlakukan untuk semua lapisan pendapatan kena pajak, mereka juga akan membayarkan nominal yang lebih besar. Jadi apa yang salah selama ini?
Memang perlu banyak kajian ilmiah yang harus dibuat untuk mengetahui relevansi penerapan tarif progresif PPh orang pribadi di era kompetisi global yang semakin sengit ini, dimana banyak negara berlomba-lomba untuk menurunkan tarif pajaknya baik itu pajak penghasilan orang pribadi ataupun badan, demi menarik para investor luar negeri bahkan yang lebih ekstrim mengiming-imingi tarif pajak rendah kepada orang-orang super kaya untuk menempatkan atau menyembunyikan hartanya di sana.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menerapkan tarif progresif pajak penghasilan orang pribadi, bahkan sebagian besar di dunia ini menggunakan skema tarif progresif, tentunya dengan besaran dan tingkatan tarif yang berbeda-beda. Negara-negara maju di Asia, Eropa maupun Amerika bahkan menerapkan besaran tarif progresif yang jauh lebih tinggi daripada yang sekarang berlaku di Indonesia.Â