Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Adakah yang Salah dengan Tarif PPh Orang Pribadi di Indonesia?

17 Oktober 2018   22:58 Diperbarui: 19 Oktober 2018   04:19 3533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: ist (jogja.tribunnews.com)

Memang sangat mudah menjustifikasi para pengemplang pajak dengan berbagai macam cap negatif, tetapi kalau kamu sendiri di posisi para pengemplang pajak itu, apakah kamu tidak akan tergiur melakukan penghindaran pajak?

Trans Papua salah satu pembiayaannya dari pajak (gambar: liputan6.com)
Trans Papua salah satu pembiayaannya dari pajak (gambar: liputan6.com)
Tidak nasionalis lah, penghisap kekayaan negara lah, pengkhianat negara lah, itulah cap-cap yang serta merta kita sematkan kepada para pengemplang pajak. Namun, kita harus melihat berbagai macam sisi sebelum kita menghakimi seseorang termasuk para pengemplang pajak. Apa sesungguhnya yang memicu perilaku mereka?

Sudah adilkah kebijakan perpajakan yang saat ini berlaku, khususnya yang kita soroti saat ini adalah tarif progresif pajak penghasilan orang pribadi terhadap seluruh lapisan masyarakat baik si kaya ataupun si miskin? 

Jawabannya adalah sudah jika kita memandang keadilan dari teori keadilan legalitas yang diusung oleh Hans Kelsen, dimana pemerintah dianggap sudah  memberikan keadilan jika dijalankan sesuai dengan amanah undang-undang yang berlaku, dalam hal ini sesuai Undang-Undang PPh. 

Namun, bisa berbeda penafsiran jika kita menilik dari berbagai teori keadilan yang ada, salah satunya adalah teori keadilan distributif. Jika teori ini dikaitkan dengan pajak maka,  suatu keadilan dapat tercipta jika dalam pengenaan pajak, pemerintah mempertimbangkan hak, kewajiban, ataupun jasa-jasa yang dimiliki oleh seseorang.

Seringkali dalam berbagai buku atau artikel disebutkan bahwa pajak progresif merupakan salah satu bentuk nyata dalam penerapan asas daya pikul. Apakah benar demikian? 

Asas daya pikul tidak semata-mata memandang seseorang yang mempunyai penghasilan sama juga dikenakan pajak yang sama, tetapi lebih ditekankan kepada kondisi riil wajib pajak tersebut.  

Salah satu kondisi riil yang dapat secara objektif dikuantifikasi adalah berapa jumlah orang (keluarga) yang harus ditanggung oleh seorang wajib pajak. Hal itu mengakibatkan pengenaan besaran pajak yang berbeda antara orang yang belum kawin dan yang sudah kawin ataupun sudah punya anak meskipun penghasilan mereka sama persis. 

Berdasarkan asas daya pikul tadi, semakin banyak tanggungannya tentunya semakin sedikit pajak yang harus dibayarkan. Kebijakan yang tepat untuk mengimplementasikan asas daya pikul tadi adalah penetapan besaran Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Asas daya pikul juga menyebutkan besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Hal ini berarti wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang berbeda, tidak boleh membayar pajak dalam jumlah (nominal) yang sama. 

Namun, bisa juga diartikan bahwa wajib pajak dengan jumlah penghasilan yang berbeda bisa membayar pajak dengan tarif yang sama (bukan jumlah yang sama). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun