Mohon tunggu...
Sony Hartono
Sony Hartono Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Kutulis apa yang membuncah di pikiranku

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Adakah yang Salah dengan Tarif PPh Orang Pribadi di Indonesia?

17 Oktober 2018   22:58 Diperbarui: 19 Oktober 2018   04:19 3533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: ist (jogja.tribunnews.com)

Ada pemeo yang sering kita dengar, bahwa dua hal yang tidak bisa kita hindari di dunia ini yaitu kematian dan pajak. Manusia pasti akan mati dan manusia 'pasti' menghadapi kewajiban perpajakan.

Di Indonesia, pajak merupakan penerimaan negara terbesar sejak berakhirnya kejayaan minyak bumi Indonesia beberapa dekade lalu. Indonesia dengan lebih dari 260 juta penduduknya tentu menyimpan potensi penerimaan pajak yang sangat besar. 

Namun, teori di atas kertas seringkali berbeda dengan kenyataannya di lapangan. Kita tidak perlu menampik bahwa tax ratio kita masih dalam kisaran 11%. Mengutip liputan6.com, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa kita masih perlu menaikkan lagi tax ratio ke kisaran 15% yang merupakan standar tax ratio yang dianggap bagus oleh Bank Dunia.

Salah satu komponen penyebab rendahnya tax ratio kita adalah masih rendahnya proporsi penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi terhadap total penerimaan pajak penghasilan, apalagi jika dibandingkan terhadap total penerimaan pajak. 

Berbeda dengan negara-negara maju, pajak penghasilan orang pribadi mampu menjadi penopang penerimaan pajak, bahkan hampir sebanding dengan penerimaan PPh Badan, sehingga kontinyuitas penerimaan pajak dapat terjaga dengan baik.

Rendahnya kontribusi penerimaan PPh orang pribadi, salah satu faktor penyebabnya dikarenakan masih relatif kecilnya jumlah wajib pajak perseorangan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia produktif di Indonesia. 

Disamping itu, juga diakibatkan banyaknya penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, terutama wajib pajak orang kaya bahkan super kaya. Definisi kaya di sini kita batasi dengan batasan bahwa sebagian besar penghasilannya terkena tarif pajak penghasilan tertinggi yaitu 30%. 

Tentunya hanya sebagian kecil dari penghasilan mereka yang terkena tarif 5%, 15%, sampai 25%. Nah, tarif progresif yang cukup besar ini, disinyalir menjadi penyebab upaya penghindaran pajak yang masif.

Coba kita berandai-andai menjadi orang kaya dengan penghasilan netto dalam satu tahun sebesar Rp10 milyar. Jika status kita belum kawin, maka penghasilan tidak kena pajak adalah Rp54 juta. Jadi penghasilan yang kena pajak sebesar Rp9.946.000000. Maka pajak yang kita bayarkan sebesar (5% x Rp50 juta) + (15% x Rp200 juta) + (25% x Rp250 juta) + (30% x Rp9.446.000.000) = Rp2.928.800.000. Wow gede banget!

Dengan menyerahkan uang kalian sebanyak itu ke negara, jujur apakah kalian rela? Coba kita berandai-andai lagi, jika kamu memperoleh penghasilan sebanyak itu dari kegiatan usaha dan kamu mempekerjakan banyak orang serta turut menjadi motor penggerak roda perekonomian di daerahmu bahkan negara ini, yang mana dengan peran sebanyak itu kamu telah mampu menciptakan wajib pajak-wajib pajak baru (dari para karyawanmu).

Pembayaran pajak dari usahamu, menciptakan efek domino pembayaran pajak dari pemasokmu, bahkan jenis-jenis pajak lain yang muncul akibat berbagai macam aktivitas ekonomi yang muncul dari keberadaan usahamu, tetapi di satu sisi kamu semacam "dihukum" dengan tarif pajak yang lebih tinggi, bagaimana perasaanmu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun