Mohon tunggu...
Ari Sony
Ari Sony Mohon Tunggu... Administrasi - Bung Arson, Pengamat dan Pemerhati Olahraga Khususnya Sepakbola

Olahraga adalah nadi yang harus selalu digerakkan, dan ketika menulis topik lainnya harus sesuai dengan sudut pandang sendiri dan pemikiran yang matang

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tragedi Sepak Bola Gajah di Piala Tiger 1998, Jadi Penyebab Mandeknya Prestasi Timnas Indonesia

6 Juni 2022   14:44 Diperbarui: 6 Juni 2022   14:47 1527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear pembaca Kompasiana, kali ini Bung Arson akan mencoba mengupas sekelumit permasalahan yang terjadi di sepakbola Nasional. Namun, tidak semuanya akan Bung Arson bahas disini, hanya satu topik pembicaraan yang mungkin membuat pecinta sepakbola tanah air, sangat penasaran.

Penasaran mengenai hal apa?

Paceklik gelar yang begitu lama dirasakan oleh Timnas Indonesia di level senior dan Sea Games. Terakhir Timnas Indonesia mendapatkan gelar mayor pada tahun 1991, ketika berhasil meraih medali emas di Sea Games 1991 Manila, Filipina.

Berarti jika dihitung-hitung, sudah sangat lama pecinta sepakbola tanah air merasakan puasa gelar juara, yaitu selama 31 tahun.

Lalu apa hubungannya mandeknya prestasi Timnas Indonesia dengan tragedi sepakbola gajah di Piala Tiger 1998?

Mulai dari sinilah, Bung Arson akan mencoba membahasnya dan mencoba membuka mata semua pihak, agar lebih peduli dengan tragedi Sepakbola Gajah di Piala Tiger 1998, karena ini merupakan "aib" Sepakbola Nasional di ajang Internasional yang tak kan mungkin hilang.

Ibaratnya tindakan dengan sengaja melakukan sepakbola gajah merupakan dosa besar dalam sepakbola, itu berarti sebuah tim menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tertentu. Nah, di pertandingan penyisihan grup terakhir Piala Tiger 1998, Timnas Indonesia saat itu menghalalkan segala cara dengan sengaja mengalah dari Thailand, dengan skor 2-3. Demi menghindari tuan rumah Vietnam.

Sehingga Skuad Garuda lebih memilih bertemu dengan Singapura di babak semifinal Piala Tiger 1998. Memang sih, saat itu Timnas Indonesia dan Thailand sama-sama berusaha menghindar dari Vietnam, karena saat itu Vietnam terindakasi sering diuntungkan wasit dan teror dukungan suporter Vietnam yang sangat fanatik kepada tim tamu, serta saat itu permainan Vietnam sedang on fire di Piala Tiger 1998.

Tidak hanya mengalah dengan skor 2-3, tetapi ada keanehan yang terjadi sepanjang 90 menit yang diperlihatkan oleh Timnas Indonesia dan Thailand. Kedua tim seperti sedang melakukan sesi latihan, laga di atas lapangan tidak menggambarkan sama sekali sebuah pertandingan resmi.

Puncaknya, di masa injury time, Mursyid Effendi sengaja melakukan gol bunuh diri ke gawang Hendro Kartiko, dan lucunya saat itu Yusuf Ekodono malah melampiaskan kegembiraannya dengan melakukan tepuk tangan.

Sejak melakukan dosa besar dalam ajang Internasional sekelas Piala Tiger pada tahun 1998, prestasi Timnas Indonesia mandek dan jalan di tempat. Timnas Indonesia sejak tahun 1998 hingga saat ini, selalu apes, ketika berlaga di partai puncak.

6 kali masuk final Piala AFF (dulunya bernama Piala Tiger) semuanya berakhir dengan kekalahan, yaitu di final Piala AFF 2000, 2002, 2004, 2010, 2016 dan 2020 kemarin. Sehingga Skuad Garuda, mendapatkan predikat spesialis Runner up.

Tidak hanya di ajang Piala AFF, ketika memasuki laga puncak Sea Games, Timnas Indonesia juga mentok hanya kebagian medali perak, yaitu pada Sea Games 2011, 2013 dan 2019.

Dosa besar inilah yang menyebabkan Tuhan sang pemilik alam semesta, tidak merestui Timnas Indonesia berprestasi. Mandeknya prestasi Timnas Indonesia karena ada dosa besar terkait tragedi sepakbola gajah di Piala Tiger 1998, yang hingga saat ini belum terselesaikan secara tuntas.

Oke, kalau misalkan pembaca Kompasiana tidak setuju dengan tragedi sepakbola gajah sebagai penyebabnya dan menganggap paceklik gelar ini hanya sebuah kebetulan saja, karena menilai memang sepakbola Indonesia yang sering bermasalah dengan pengelolaan kompetisi Liga Indonesia; dualisme Liga dan Organisasi; serta carut marut lainnya.

Disini Bung Arson akan coba menganalisa bahwa Skuad Garuda di Piala Tiger 2002, 2004 dan Piala AFF 2010 sangat layak untuk menjadi juara, karena saat itu pemain Timnas Indonesia sangat mumpuni kualitasnya dibandingkan lawannya di laga final. sehingga, tidak seharusnya pada gelaran final Piala Tiger 2002, 2004 dan Piala AFF 2010 Timnas Indonesia kalah.

Piala Tiger 2002

Pada gelaran Piala Tiger 2002, skuad Indonesia yang saat itu dilatih Ivan Kolev dihuni bintang-bintang sepakbola Indonesia, seperti : Hendro Kartiko, Firmansyah, Nur Alim, Sugiantoro, Isnan Ali, Agung Setyabudi, I Putu Gede, Yaris Riyadi, Budi Sudarsono, Bambang Pamungkas dan Gendut Doni Christiawan. Sayangnya Timnas Indonesia kalah dalam adu penalti saat melawan Thailand, dengan skor 2-4. Setelah dalam 120 menit sebelumnya kedua tim bermain imbang 2-2.

Thailand yang bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-57, karena salah satu pemainnya, Noosarung, dikartu merah wasit. Sayangnya unggul jumlah pemain, tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pemain Timnas Indonesia, sehingga Timnas Indonesia akhirnya harus puas dengan memperoleh gelar Runner up.

Piala Tiger 2004

Pada gelaran Piala Tiger 2004, skuad asuhan Peter Withe juga membawa sejumlah pemain bintang yang lagi on fire, seperti : Hendro Kartiko, Charis Yulianto, Firmansyah, Mauly Lessy, Ortizan Solossa, Ponaryo Astaman, Syamsul Bachri, Ellie Aiboy, Boaz Solossa, Ilham Jayakesuma dan Kurniawan Dwi Yulianto.

Dilaga puncak yang mempertemukan Timnas Indonesia dengan Singapura, Skuad Garuda sangat diunggulkan untuk menjuarai turnamen ini. Hal ini, tak lepas dari penampilan impresif yang ditunjukkan oleh skuad asuhan Peter Withe selama babak penyisihan hingga semifinal.

Sayangnya, nasib apes menimpa Skuad Garuda, cedera parah yang dialami Boaz Solossa dilaga final setelah mendapatkan tackle keras dari pemain Singapura, Baihakki Khaizan, menjadi penyebab kekalahan Timnas Indonesia dari Singapura. Tanpa kehadiran Boaz di sisa laga pertandingan final Leg 1 dan Leg 2, permainan Timnas Indonesia tak lagi buas. Sehingga secara agregat Indonesia kalah dilaga puncak dengan skor 2-5 (1-3 dan 1-2).

Piala AFF 2010

Yang paling menyedot perhatian, tentu saja gelaran Piala Tiger 2010. Datang dengan skuad mentereng tim asuhan Alfred Riedl, lagi-lagi harus puas menyabet gelar Runner up. Saat itu, Skuad Garuda dihuni banyak pemain bintang, seperti : Markus Horisson, Mohammad Nasuha, Zulkifli Syukur, Hamka Hamzah, Maman Abdurrahman, Muhammad Ridwan, Firman Utina, Ahmad Bustomi, Oktovinaus Maniani, Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim.

Sama halnya di Piala Tiger 2004, penampilam impresif juga ditunjukkan oleh skuad asuhan Alfred Riedl, mulai babak penyisihan hingga semifinal. Sehingga sangat wajar, ketika pecinta sepakbola tanah air memprediksi Timnas Indonesia akan sangat mudah mengalahkan Malysia di partai puncak, karena di laga penyisihan grup sebelumnya, Malaysia dihajar dengan skor telak 5-1.

Lagi-lagi nasib apes memayungi Timnas Indonesia, tragedi sinar laser di Stadion Bukit Jalil, Malaysia dan adanya dugaan suap, menyebabkan Timnas Indonesia takluk di kandang Malaysia dengan skor 0-3. Di final Leg 2, Timnas Indonesia hanya mampu unggul dengan skor 2-1, sehingga secara agregat kalah dari Malaysia dengan skor 2-4 (0-3 dan 2-1).

Tidak hanya di Piala AFF, di kancah Sea Games 2011 dan 2019, Timnas Indonesia mempunyai peluang meraih medali emas dari cabang sepakbola, karena saat itu Timnas Indonesia mempunyai skuad mewah.

Sea Games 2011

Di tengah konflik internal PSSI, skuad asuhan Rahmad Darmawan hampir saja mempersembahkan medali emas di Sea Games 2011 yang digelar di Jakarta dan Palembang. Rahmad Darmawan mampu mengumpulkan para pemain bintang dan menyatukannya dalam tim yang solid. Skuad bintang di Sea Games 2011, berisikan materi pemain seperti : Kurnia Meiga, Gunawan Dwi Cahyo, Diego Michiels, Hasyim Kipuw, Abdulrahman, Egi Melgiansyah, Oktovianus Maniani, Ferdinand Sinaga, Andik Vermansah, Titus Bonai, Yongky Aribowo dan Patrich Wanggai.

Sayangnya penampilan impresif tim merah putih, harus dihentikan langkahnya oleh Malaysia lewat drama adu penalti dengan skor 3-4, setelah sebelumnya Timnas Indonesia harus berjuang selama 120 menit, Timnas Indonesia dan Malaysia bermain sama kuat dengan skor 1-1. Kekalahan melalui drama adu penalti ini, menyisakan kisah pilu bagi Timnas Indonesia. Bagaimana tidak? dengan skuad menterengnya, Timnas Indonesia layak meraih medali emas, namun sayangnya takdir berkata lain.

Sea Games 2019

Sama halnya di Sea Games 2011, di Sea Games 2019 skuad asuhan Indra Sjafri juga memiliki skuad mewah dan layak untuk meraih medali emas. Indra Sjafri berhasil mengumpulkan banyak pemain bintang, seperti : Bagas Adi Nugroho, Nadeo Arga Winata, Asnawi Mangkualam Bahar, Zulfiandi, Egy Maulana Vikri, Sani Rizki Fauzi, Evan Dimas Darmono, Saddil Ramdani, Firza Andika, Andy Setyo Nugroho, Witan Sulaeman dan Osvaldo Haay.

Sayangnya di laga final, terjangan kaki dari pemain Vietnam, Doan Van Hau, yang luput dari pengamatan wasit, mengakibatkan Evan Dimas Cedera.

Cedera Evan Dimas mempengaruhi alur serangan Timnas Indonesia, karena Evan Dimas merupakan pemain sentral di lini tengah Indonesia yang mampu mengatur ritme permainan Indonesia. Tanpa Evan Dimas, lini tengah Vietnam menguasi jalannya pertandingan di laga final.

Akhirnya, Vietnam berhasil meraih medali emas, usai mengalahkan Timnas Indonesia dengan skor 0-3. Sehingga hal ini, semakin menambah panjang puasa gelar bagi Skuad Garuda.

Skuad Super Mewah di ajang Sea Games 2021

Tim asuhan Coach Shin Tae-yong, digadang-gadang bakal meraih medali emas Sea Games 2021, Vietnam. Skuad Merah Putih berisikan sebagian pemain yang telah mentas di Piala AFF 2020 dan skuad muda ini mempunyai prospek masa depan cerah ditambah tiga pemain senior yang berkualitas, maka tak heran jika pecinta sepakbola tanah air menaruh ekspektasi tinggi kepada skuad Sea Games 2021.

Skuad Sea Games 2021, terdiri dari banyak bintang yang mempunyai kualitas mumpuni, seperti : Asnawi Mangkualam, Egy Maulana Vikri, Witan Sulaeman, Fachruddin Aryanto, Ronaldo Joybera, Ernando Ari, Rizky Ridho, Rachmat Irianto, Marselino Ferdinan, Ricky Kambuaya, Marc Klok, Syahrian Abimanyu, Firza Andika, Alfeandra Dewangga dan Saddil Ramdani.

Namun sayangnya, petaka datang di laga terakhir penyisihan grup, ketika Timnas Indonesia berhasil mengalahkan Myanmar dengan skor 3-1. Asnawi Mangkualam, dianggap wasit mengulur-ulur waktu, sehingga wasit memberikan kartu kuning kepada Asnawi untuk hal yang sepele.

Kartu kuning inilah, yang menyebabkan Asnawi harus absen di laga semifinal melawan Thailand, akibat ia mendapatkan hukuman akumulasi kartu kuning.

Tanpa Asnawi di laga semifinal, membuat daya juang Timnas Indonesia menjadi berkurang, ditambah lagi penampilan penjaga gawang Thailand, Kawin Thamsatchanan tampil begitu impresif di bawah mistar gawang Thailand, ia berhasil menggagalkan sejumlah peluang emas yang dimiliki oleh pemain Timnas Indonesia.

Akhirnya skuad asuhan Coach STY, harus puas membawa pulang medali perunggu, setelah di laga perebutan medali perunggu berhasilkan mengalahkan Malaysia dalam drama adu penalti dengan skor 4-3. Setelah dalam waktu 90 menit kedua tim bermain imbang sama kuat, dengan skor 1-1 (perebutan medali perunggu Sea Games 2021, tidak dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu 2 x 15 menit).

Dengan skuad mewah yang dimiliki Timnas Indonesia diajang Sea Games 2021, tak layak sebenarnya skuad Garuda membawa pulang medali perunggu. Skuad mewah ini, layak mendapatkan hasil lebih, yaitu berupa medali emas Sea Games 2021.

Banyaknya nasib apes, yang selalu mengikuti kiprah Timnas Indonesia di partai puncak, sepertinya ini sebuah pertanda atau peringatan. Bahwa ada dosa masa lalu yang belum terselesaikan, yaitu dosa besar Tragedi Sepakbola Gajah.

Sepakbola memang tak lepas dari hal mistis atau kutukan, bahkan seorang Gianluigi Buffon merasakan "kutukan Sulley Muntari". Sekitar Medio Februari 2012 lalu, Juventus dan AC Milan sedang terlibat dalam perebutan Scudetto musim 2012/2013.

Saat itu, Sulley Muntari berhasil mencetak gol lewat sundulan ke gawang Buffon. Tidak adanya video VAR seperti saat ini, menyebabkan gol dari Muntari tidak terlihat oleh Wasit, Paolo Tagliavento dan hakim garis.

Mungkin dalam hatinya Buffon tahu, jika bola itu sudah melewati garis gawang. Sehingga jika Buffon berkata jujur kepada wasit, gol itu bisa disahkan wasit.

Setelah laga, Sulley Muntari hanya berkata bahwa seharusnya Buffon tahu jika bola itu telah masuk ke gawang. Muntari juga mengatakan bahwa ia, tidak mempunyai idola dalam sepakbola, tetapi jika Buffon mau berkata jujur, maka Buffon bisa dianggapnya sebagai juara keadilan.

Dalam sebuah wawancara dengan media Italia, Football Italia, Buffon mengungkapkan hal yang sangat mengejutkan "Saya harus jujur, semuanya bergerak sangat cepat sehingga saya tidak menyadari bola telah melewati garis. Ingatlah, bahkan jika saya menyadarinya, saya pasti tidak akan memberi tahu wasit!," ungkap Buffon.

Dari kalimat terakhir yang diungkapkan oleh Buffon, ia pun akan menghalalkan segala cara dengan tidak mengakui gol dari Muntari, meskipun ia melihat bola telah masuk ke gawangnya.

Meski tidak ada kutukan apapun dari Sulley Muntari, tetapi pada akhirnya sejak Februari 2012 hingga saat ini, Juventus dan Buffon selalu apes di Liga Champions. Padahal Juventus telah menggelontorkan banyak uang untuk merekrut Cristiano Ronaldo demi sebuah gelar Liga Champions.

Mungkinkah ini juga ada kaitannya dengan keapesan Buffon dan Juventus, karena tidak ada pengakuan apapun dari Buffon soal gol dari Muntari tersebut.

Nah, dari contoh kasus Buffon di atas, berarti PSSI harus legowo mengakui kesalahan terkait Tragedi Sepakbola Gajah di Piala Tiger 1998. Meminta maaf kepada seluruh pihak atas kejadian memalukan yang terjadi 24 tahun silam.

Setelah meminta maaf dan menyesal, jangan lupa juga untuk melakukan Taubat Nasuha dengan menggelar acara Doa Bersama untuk menghapus dosa besar terkait insiden sepakbola gajah. Semoga dengan mengakui dan meminta maaf, serta dilakukannya doa bersama, prestasi Timnas Indonesia tidak mandek lagi dan bisa segera berprestasi.

Titip pesan buat Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, semoga Pak Ketum sapaan akrab beliau, mau berbesar hati untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan yang bukan menjadi kesalahannya dimasa lalu. Dengan begitu ia menjadi sosok pemimpin luar biasa dan layak memimpin organisasi besar seperti PSSI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun