Mohon tunggu...
Ari Sony
Ari Sony Mohon Tunggu... Administrasi - Bung Arson, Pengamat dan Pemerhati Olahraga Khususnya Sepakbola

Olahraga adalah nadi yang harus selalu digerakkan, dan ketika menulis topik lainnya harus sesuai dengan sudut pandang sendiri dan pemikiran yang matang

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perilaku Anti Korupsi Masyarakat Indonesia

6 November 2019   08:52 Diperbarui: 6 November 2019   09:09 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ( Foto: BSMH )

Hingga saat ini, Presiden Joko Widodo belum mengambil keputusan secara resmi tentang Perppu KPK, karena menurut Presiden masih ada uji materi tentang Perppu KPK di MK. Hal tersebut yang disampaikan Presiden kepada media di Istana Negara, akhir pekan lalu.

"Kita melihat bahwa sekarang ini masih ada proses uji materi di MK. Kita harus menghargai proses-proses seperti ini," kata Jokowi. Kemudian menambahkan lagi 

"Jangan ada, orang yang masih berproses, uji materi kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam bertatanegaraan," jelas Jokowi

Apakah nantinya Perppu KPK akan diterbitkan atau tidak oleh Presiden? Apapun keputusan yang akan diambil oleh Presiden Joko Widodo itu adalah konstitusional. Sehingga kita harus menghormati dan menghargai keputusan terakhir dari Presiden.

Sikap masyarakat yang selama ini menunggu hasil keputusan tentang Perppu KPK, menunjukkan kesadaran dan kepedulian masyarakat yang mengarah kepada sikap dan perilaku anti korupsi. 

Kenyataannya apakah masyarakat benar-benar memiliki perilaku anti korupsi? Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2019 sebesar 3,70 pada skala 0 sampai 5. 

Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2018 sebesar 3,66. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, hal ini tentunya sangat menggembirakan menunjukkan masyarakat semakin tidak permisif akan perilaku korupsi. 

Indeks perilaku anti korupsi masyarakat Indonesia mengalami peningkatan, namun ada beberapa yang harus disoroti dalam dimensi indeks. Dalam penyusunan indeks perilaku korupsi terbagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi pengalaman dan persepsi dalam mengakses fasilitas publik.

Dalam Indeks pengalaman, masyarakat mengalami peningkatan indeks yang signifikan dari tahun ke tahun di mulai sejak tahun 2015. Indeks pengalaman tercatat di angka 3,39 pada tahun 2015 dan mengalami peningkatan hingga 3,65 pada tahun 2019. 

Peningkatan ini menunjukkan bahwa  semakin berkurangnya kasus tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) yang ditemukan masyarakat dalam mengakses pelayanan publik. 

Keterlibatan masyarakat dalam pengalaman petty corruption, misalnya pada saat mengakses pelayanan publik agar segera diprioritaskan mengandalkan hubungan kekerabatan atau pertemanan, adanya permintaan tambahan biaya diluar peraturan yang sudah ditetapkan, demi memperlancar urusan dalam mengakses pelayanan publik memberikan uang lebih kepada petugas, dan lain sebagainya semakin berkurang.

Berkebalikan dengan indeks dimensi pengalaman yang mengalami peningkatan, dalam indeks dimensi persepsi anti korupsi mengalami penurunan. Padahal, dalam jangka waktu enam tahun terakhir dimensi persepsi tidak pernah mengalami penurunan. 

Indeks persepsi berada pada 3,86 pada tahun 2018 turun menjadi 3,80 pada tahun 2019. Indeks persepsi korupsi mengalami penurunan, menunjukkan semakin permisifnya korupsi di masyarakat. Ini menandakan bahwa, penilaian masyarakat terhadap berbagai bentuk perilaku korupsi yang sudah biasa terjadi dan dianggap sebagian masyarakat sebagai hal yang wajar.

Bahwa pada tahun 2019 ada beberapa indikator masyarakat semakin permisif terhadap korupsi, yaitu: pertama, persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap istri yang menerima uang tambahan dari suami di luar penghasilan tanpa mempertanyakan asal usul uang tersebut meningkat dari 22,52 (tahun 2018) menjadi 25,56 (tahun 2019). 

Selanjutnya kedua, Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap seorang pegawai negeri menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan keluarga meningkat dari 20,74 (tahun 2018) menjadi 22,52 (tahun 2019). 

Ketiga, Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap orang tua mengajak anaknya dalam kampanye PILKADA/PEMILU demi mendapatkan uang lebih banyak meningkat dari 12,61 (tahun 2018) menjadi 12,88 (tahun 2019). 

Keempat, Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap seseorang mengetahui saudaranya mengambil uang tanpa izin tetapi tidak melaporkan kepada orang tuanya meningkat dari 2,41 (tahun 2018) menjadi 2,76 (tahun 2019). 

Dan yang kelima, Persentase masyarakat yang menganggap wajar sikap seseorang menggunakan barang milik anggota rumah tangga lain tanpa izin meningkat dari 4,47 (tahun 2018) menjadi 5,15 (tahun 2019). Sehingga dalam hal ini, keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam pengendalian korupsi.

Faktor lain yang menyumbang naiknya sikap permisif masyarakat, faktor-faktor tersebut, diantaranya : memberi uang/barang dalam proses penerimaan menjadi pegawai negeri/swasta, memberi uang/barang lebih kepada polisi untuk mempercepat pengurusan SIM, STNK, SKCK, dll., membagikan uang/barang ke calon pemilih pada PILKADES/PILKADA/PEMILU, Guru mendapat jaminan anaknya diterima masuk ke sekolah tempat dia mengajar, memberi uang lebih kepada petugas untuk mempercepat urusan administrasi (KTP dan KK).

Indeks persepsi anti korupsi masyarakat secara umum mengalami peningkatan, yang mengalami peningkatan adalah indeks pengalaman akses pelayanan publik, bukan indeks persepsi anti korupsinya. Meningkatnya indeks pengalaman akses pelayanan publik menandakan semakin anti korupsinya instansi pelayanan publik di pemerintahan. 

Diterapkannya sistem reformasi birokrasi disetiap instansi pemerintahan, pelayanan publik semakin prima dan menutup peluang terjadinya kebocoran atau kecurangan seperti pungutan liar, gratifikasi, dan nepotisme. Ditambah lagi adanya pengawasan ketat dari BPK, KPK, dan Ombudsman sehingga menutup peluang terjadinya tindakan korupsi.

Segala bentuk kecurangan korupsi, walaupun hanya sebatas kecurangan korupsi kecil-kecilan perlu dihindari. Contoh-contoh  kecurangan kecil diantaranya, memakai kendaraan dinas untuk kegiatan pribadi, memberikan uang lebih kepada petugas dalam membuat surat-surat penting telah dianggap hal yang wajar. Padahal, korupsi kecil-kecilan yang telah memasyarakat ini, akan menimbulkan kebiasaan sehingga apabila tidak dicegah akan melahirkan kejahatan korupsi yang lebih besar lagi ke depannya. 

Dengan demikian, pemerintah harus bisa mengubah pola pikir di  masyarakat akan perilaku anti korupsi. Penanaman pendidikan anti korupsi sejak dini untuk masyarakat sangat dibutuhkan, akan lebih baik jika ada kurikulum pendidikan anti korupsi sejak jenjang Sekolah Dasar. Hal ini akan meningkatkan moral dan kejujuran masyarakat, sehingga lebih sadar akan perilaku anti korupsi. Dengan tingginya kesadaran masyarakat dalam berperilaku anti korupsi diharapkan mampu menurunkan angka kasus korupsi besar di masa depan.

sumber:  

  1. https://kabar24.bisnis.com/read/20190916/15/1148788/bps-masyarakat-anggap-wajar-perilaku-koruptif 
  2. https://news.detik.com/kolom/d-4712596/mengukur-perilaku-antikorupsi 
  3. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190917210839-4-100194/korupsi-era-now-nyogok-jadi-pns-hingga-beri-uang-demi-skck

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun