Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang *Ranah 3 Warna
Merantau. Begitulah kebiasaan masyarakat suku minangkabau dari dulu dan masih bertahan hingga zaman modern sekarang. Terbukti hampir separuh masyarakat Sumatera Barat (yang didominasi suku minangkabau) telah meninggalkan tanah kelahirannya. Terutama lelaki yang belum menikah (bujang).
Karantau madang dihulu, Babuah babungo balun. Marantaulah bujang dahulu Dirumah paguno balun
Kini, merantau tak hanya berlaku untuk kaum pria, wanita minang juga melakukan hal yang sama. Banyak alasan mengapa mereka harus pergi. Bukan karena mereka tak menyukai kehidupan di kampung lalu lari. Sebaliknya merantau adalah bentuk kecintaan dari kampung itu sendiri. Sesungguhnya, dalam kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minang, pergi merantau bagi para ’bujang’ dianggap sebagai ’prestasi’ tersendiri. Terlepas dari apakah nanti mereka akan berhasil atau tidak. Merantau bukanlah suatu tindakan untuk menghindar, tapi perbuatan terhormat.
Pemahaman ini didukung dengan adanya ungkapan ataupun pedoman hidup lain, yaitu:
Sayang jo anak dilacuik’i ( Sayang kepada anak dihukum kalau berbuat salah ) Sayang jo kampuang ditinggakan ( Sayang kepada kampung, ditinggalkan )
Di tanah perantauan, mental para perantau muda ini ditempa untuk menerima kondisi-kondisi terjelek diperantauan. Mereka dianjurkan untuk mengutamakan mencari pekerjaan terlebih dahulu. Dan ketika kembali ke tanah kelahirannya, mereka membawa cerita-cerita hebat tentang perjuangan. Hal inilah yang kemudian memacu kaum muda lainnya untuk mengikuti jejak mereka. Kebiasaan merantau pun bak estafet yang selalu diteruskan.
Fenomean merantau ini juga menjadi inspirasi bagi para sastrawan. Hamka, dalam novelnyaMerantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi keDelidan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lainTenggelamnya Kapal Van der Wijckjuga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Selain novel karya Hamka, novel karyaMarah Rusli,Siti NurbayadanSalah AsuhannyaAbdul Muisjuga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat.
Maka janganlah takut merantau. Banyak pengalaman-pengalaman luar biasa menanti di luar sana. Keluar dari zona nyaman akan mendewasakan. Karena untuk menerima berkah yang lebih besar, terkadang kita harus melepaskan hal kecil dalam genggaman. Ketika sendiri dan harus bertahan dalam kekurangan, kita (manusia) akan menjadi dua kali lebih cerdas dan kreatif. Selamat merantau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H