Mohon tunggu...
sonya winanda
sonya winanda Mohon Tunggu... -

tahun 2010 ini saya masih berstatus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Padang Sumatera Barat. saya ingin menjadi seorang pendidik,jurnalis sekaligus pengarang. GANTO adalah salah satu tempat favorit saya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tinggalkan Kampung atau Malu!

12 Desember 2011   15:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:26 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berjuang *Ranah 3 Warna

Merantau. Begitulah kebiasaan masyarakat suku minangkabau dari dulu dan masih bertahan hingga zaman modern sekarang. Terbukti hampir separuh masyarakat Sumatera Barat (yang didominasi suku minangkabau) telah meninggalkan tanah kelahirannya. Terutama lelaki yang belum menikah (bujang).

Karantau madang dihulu, Babuah babungo balun. Marantaulah bujang dahulu Dirumah paguno balun

Kini, merantau tak hanya berlaku untuk kaum pria, wanita minang juga melakukan hal yang sama. Banyak alasan mengapa mereka harus pergi. Bukan karena mereka tak menyukai kehidupan di kampung lalu lari. Sebaliknya merantau adalah bentuk kecintaan dari kampung itu sendiri. Sesungguhnya, dalam kenyataan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Minang, pergi merantau bagi para ’bujang’ dianggap sebagai ’prestasi’ tersendiri. Terlepas dari apakah nanti mereka akan berhasil atau tidak. Merantau bukanlah suatu tindakan untuk menghindar, tapi perbuatan terhormat.

Pemahaman ini didukung dengan adanya ungkapan ataupun pedoman hidup lain, yaitu:

Sayang jo anak dilacuik’i ( Sayang kepada anak dihukum kalau berbuat salah ) Sayang jo kampuang ditinggakan ( Sayang kepada kampung, ditinggalkan )

Di tanah perantauan, mental para perantau muda ini ditempa untuk menerima kondisi-kondisi terjelek diperantauan. Mereka dianjurkan untuk mengutamakan mencari pekerjaan terlebih dahulu. Dan ketika kembali ke tanah kelahirannya, mereka membawa cerita-cerita hebat tentang perjuangan. Hal inilah yang kemudian memacu kaum muda lainnya untuk mengikuti jejak mereka. Kebiasaan merantau pun bak estafet yang selalu diteruskan.

Fenomean merantau ini juga menjadi inspirasi bagi para sastrawan. Hamka, dalam novelnyaMerantau ke Deli, bercerita tentang pengalaman hidup perantau Minang yang pergi keDelidan menikah dengan perempuan Jawa. Novelnya yang lainTenggelamnya Kapal Van der Wijckjuga bercerita tentang kisah anak perantau Minang yang pulang kampung. Selain novel karya Hamka, novel karyaMarah Rusli,Siti NurbayadanSalah AsuhannyaAbdul Muisjuga menceritakan kisah perantau Minang. Dalam novel-novel tersebut, dikisahkan mengenai persinggungan pemuda perantau Minang dengan adat budaya Barat.

Maka janganlah takut merantau. Banyak pengalaman-pengalaman luar biasa menanti di luar sana. Keluar dari zona nyaman akan mendewasakan. Karena untuk menerima berkah yang lebih besar, terkadang kita harus melepaskan hal kecil dalam genggaman. Ketika sendiri dan harus bertahan dalam kekurangan, kita (manusia) akan menjadi dua kali lebih cerdas dan kreatif. Selamat merantau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun