Bisa dikatakan hal ini bagaikan dua mata pisau, antara sumber kedamaian dan juga keterbelakangan. Rumah warga di desa ini terpisah jarak ber ubin-ubin, atau bisa dibilang puluhan meter satu sama lain.Â
Rumah disana juga hanya ada rumah tempo dulu, Â yaitu rumah panggung yang terbuat dari anyaman bambu dan bongkahan kayu.
Pemandangan yang disuguhkan juga sungguh tiada tanding, terlebih saat fajar menyingsing. Perbukitan yang mengelilingi desa ini seakan melindungi desa ini dari individualisme kehidupan manusia modern yang selalu sibuk bersama urusan virtualnya.
Menurut saya, tempat ini sangat baik untuk jiwa yang mungkin lelah dengan dunia modern dan membutuhkan ketenangan serta menginginkan kehidupan sebagai manusia yang fitrahnya menyatu dengan alam.Â
Tanpa distraksi whatsapp group pekerjaan, kehedonan kaum Instagram, keributan warga Twitter, unboxing para youtuber, atau rehat sejenak dari aktivitas social climber. Sungguh, suasana di desa ini sangat baik untuk rehat dan bertanya kepada diri sendiri: "sebenarnya apa yang selama ini dicari?"
***
Disamping kesederhanaan desa Cisadon yang saya kagumi, namun tetap saja saya cukup kecewa. Mengapa anak-anak disana tidak bisa mendapat hak untuk bersekolah?Â
Bukankah mereka juga berhak melihat dunia lebih luas dari desanya, memperbesar ekspetasinya, dan kelak menjadi manusia besar yang berguna bagi sekelilingnya.Â
Karena saya pribadi melihat anak-anak sangat berharga, perlakuan kita sebagai dewasa dapat merubah dunianya, atau bahkan mengubah masa depannya. Yang tentu secara tidak langsung dapat berpengaruh pada kita saat menua.