Ibukota, sebagai jantung keramaian suatu negara tentu selalu terdepan dalam segala hal. Entah dari sisi ekonomi, akomodasi, transportasi, edukasi, serta aspek kehidupan lainnya. Begitupun dengan daerah sekelilingnya yang mendukung jalannya kesibukan ibu kota dalam memutar roda perekonomian negara.Â
Seperti ibu kota Indonesia, Jakarta. Ada 5 kota di sekitar ibu kota kita yang dianggap vital yang biasa kita sebut dengan Jabodetabek.Â
Salah satu kota dari Jabodetabek yang sering disorot dalam pemberitaan di media yaitu kota Bogor. Terlebih ketika libur panjang datang, kota Bogor yang asri ini menjadi "pelarian" para jiwa-jiwa kantoran yang mencari keasrian dan rasa tenang.
Dengan menelisik lebih dalam kota Bogor sebagai tempat penyegaran pikiran dan paru-paru kita yang biasanya menghirup polusi, sembari melihat hijaunya Puncak yang asri, ternyata kita bisa temukan adanya diskriminasi. Diskriminasi yang tak terlihat dan menyelinap jauh di balik perbukitan.Â
Diskriminasi ini bisa kita lihat dan rasakan setelah 3 jam perjalanan. Perjalanan yang melewati jalan sempit yang terkadang licin, sebagian berbatu, dan sisi kirinya terhampar jurang, yang mestinya dapat membahayakan siapapun yang memacu kendaraannya melintas diatasnya. (Kecuali pangeran berkuda saja). Medan yang sulit ini seakan menjadi alasan sukar berkembangnya desa di balik perbukitan, yaitu Cisadon.
Cisadon yang terletak di balik perbukitan ini sudah dibiarkan lama terbelakang. Desa ini dibiarkan "jadul" seperti zaman penjajahan. Tanpa penerangan yang layak, tanpa sinyal yang menyeruak, atau bahkan lebih parah lagi tiadanya akses pendidikan sebagai hak anak-anak menjadikan desa ini sangat menyedihkan di mata siapapun yang melihatnya.
Desa yang terdiri dari 30 KK ini memiliki sekitar 20an anak-anak yang seharusnya dalam masa sekolah kehilangan haknya dalam menimba ilmu. Hal ini dikarenakan jarak yang jauh, medan yang sulit serta kurangnya perhatian dari siapapun yang mengabaikan. Anak-anak ini belajar hanya ketika relawan datang, selebihnya, mereka bermain bebas dengan alamnya sendiri.
Tentu, siapapun yang mendengar seluk beluk desa ini akan mengernyitkan dahi, dibalik modernisasi sinyal 5G, sibuknya digitalisasi, hiruk pikuk perdebatan politisi yang disertai virtual conspiracy yang marak menjadi perusak silaturahmi ini ternyata masih terdapat desa yang damai tanpa akses informasi digital.Â