Kandungan emasnya, dijadikan bahan rebutan..
Batu baranya, diolah lagi untuk penerangan..
Tanah suburnya, dijadikan hamparan perkebunan yang menghasilkan uang milyaran..
Namun,
Jangankan perhiasan, sebagian  rakyatnya tak  layak berpakaian
Anak-anaknya  hidup dalam kelaparan
Manusia dewasanya tidak mengenal tulisan
Malam harinya, semua sudut petang tanpa penerangan
Dan peradabannya seolah terasingkan..
Â
Terkadang fakta memang menyesakkan. Dualisme yang ekstrim ini memang nyatanya berjalan berdampingan.Â
Pulau indah yang terletak di bagian Timur Indonesia ini memiliki banyak masalah yang kronis dan kompleks.
Selain jauh dari jangkauan, hidup rakyatnya juga tak kalah jauh dari perhatian.
Persentase Buta hurufnya, menempati posisi tertinggi.
Tak mau kalah dari buta huruf, gizi buruknya juga menempati posisi jawara di negeri ini.
Akibat hal tersebut, maka rakyatnya
Tidak tahu kapan mereka dilahirkan
Tidak tahu bagaimana nama mereka dituliskan,
Tidak memiliki kartu identitas/pengenal,
Dan mirisnya, tidak bisa mengenali sampai kapan batas layak konsumsi pada makanan kemasan..
Apakah ada yang lebih buruk dari tidak bisa mengetahui apapun di dunia ini?
Dikala semua hal bisa kita ketahui  melalui huruf yang terstruktur dan tercetak pada lembaran buku, tersurat berjuta giga pada Google.
Ketika kita terarah berkat banyak membaca, mendapat petunjuk melalui kitab agama, dan beberapa problema hidup bisa kita temukan solusinya dengan mencari tahu
Bahkan Tuhan pun menyeru umatnya untuk menjadi berilmu..
Apakah adil jika sampai detik ini ada yang masih belum mengenal tulisan?
Terbelakang karena keadaan?
Bahkan ekspektasinya hanya sekedar hidup sampai esok dari hasil alam..
Tanpa tahu adakah kehidupan di lain latar,
Bahkan yang tinggal di gunung pun tidak tahu apa itu laut,
Bertanya-tanya adakah air sebanyak itu di bumi ini yang menyelimut
Karena alam yang menghidupi,
Mereka tak menuhankan materi
Membiasakan diri dengan berbagi
Membantu tanpa pamrih
Juga tidak mengharap belas kasih
Anak-anak terbiasa dan nyenyak tertidur diatas tumpukan jerami, tanpa ada bantal, guling, atau selimut yang menemani,
Sekalinya tidur diatas kasur pemberian, mereka senang bukan kepalang
Mungkin kita yang memiliki kehidupan serba ada di mama kota, melihatnya kasihan
Namun sebenarnya mereka bahagia tanpa ada bahan perbandingan
Selain itu, di kotanya, anak-anak yang seharusnya duduk belajar di bangku sekolah
Malah duduk meringkuk sembari mengorek tong sampah
Sebagian dari mereka berjalan menyusuri trotoar
Dengan lem aibon menempel pada indra penciuman
Mau dibawa kemana peradaban?
Jika anak mudanya hidup tanpa arahan,
Hancur begitu saja karena ketidaktahuan..
Namun, setelah keluh kesah saya yang berjilid-jilid ini,
Saya hadir menawarkan solusi
Ada beberapa pahlawan kontemporer yang meninggalkan kenyamanannya di kota,
Demi memajukan peradaban Papua,
Mereka rela mengikhlaskan segala kemudahan yang tersaji di perkotaan,
Untuk menciptakan harapan baru di pedalaman,
Menyalakan pelita di kegelapan yang dalam
Mengajarkan dari bagaimana mereka menggunakan pakaian,
Bagaimana menjaga kebersihan
Merubah kebiasaan
Dan tentu, Memperkenalkan tulisan
Sudah sepantasnya kita, saudara setanah airnya peduli dan beraksi
Untuk membantu memenuhi hak-haknya yang terabaikan
Memberi panggung dan perhatian yang layak mereka dapatkan
Melalui tangan para pahlawan tadi
Kepedulian kita terhadap Papua dapat tersalurkan,
Cinta kita dapat terwakilkan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H