Mohon tunggu...
Sonti Soraya Sinaga
Sonti Soraya Sinaga Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

a full time officer, sometimes a traveller

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

8 Hari Menikmati Jepang di Akhir Musim Semi

2 Agustus 2016   17:21 Diperbarui: 2 Agustus 2016   19:31 1401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
salah satu sudut dengan kolam yang bersih di dalam Shinjuku Gyoen National Park (dokumentasi pribadi)

Setelah melakukan perjalanan ke Jepang tahun lalu, saya jadi berkeinginan untuk melakukan perjalanan ke Jepang lagi. Alasannya, pertama karena memang saya menyukai Jepang, kedua karena saya merasa perjalanan saya tahun lalu tidak terselesaikan dengan baik karena masalah cuaca. Walaupun persiapan perjalanan saya tahun lalu lebih panjang dan detail dibanding persiapan saya tahun ini, tapi itu  karena tahun lalu adalah perjalanan pertama dan saya mendapat banyak pelajaran dari pengalaman pertama tersebut, sehingga bisa saya perbaiki di perjalanan yang kedua ini.

Banyak orang yang bilang perjalanan saya yang kedua ini dilakukan pada waktu yang salah, karena musim semi akan berakhir, sehingga saya tidak bisa melihat indahnya bunga sakura ketika mekar. Selain itu, waktu perjalanan saya ini bertepatan dengan golden week, yaitu waktu libur panjang bagi orang Jepang di musim semi. Tapi pertimbangan utama saya memilih tanggal perjalanan ini adalah waktu cuti yang sangat  minimal dengan jangka waktu hari libur yang cukup panjang (ambil cuti 3 hari dapat libur 9 hari), kedua adalah suhu udara karena saya tidak tahan dengan cuaca dingin, sehingga saya harus menunggu cuaca cukup hangat agar cukup kuat untuk melakukan perjalanan ini.

Beruntungnya kali ini saya mendapatkan tiket pesawat direct flight dari Jakarta ke Tokyo (pergi-pulang) dengan harga (yang menurut saya) cukup murah ketika menghadiri Japan travel fairdi sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta bulan Oktober 2015 yang lalu. Sayangnya, tiket pesawat ini mengharuskan rute Jakarta-Tokyo (pergi-pulang). Padahal saya inginnya Jakarta-Tokyo (pergi) dan Osaka-Jakarta (pulang) atau sebaliknya untuk menghemat biaya.

Sebenarnya persiapan perjalanan pertama dan kedua ini sama-sama 5 bulan sejak pembelian tiket hingga tanggal keberangkatan. Dan karena sudah pernah berlibur ke Jepang sebelumnya, yang waktunya hanya baru 5 bulan sebelum pembelian tiket, jadi persiapan liburan saya ke Jepang yang kedua kali ini bisa dikatakan lebih mudah dan lebih santai. Pertama, saya sudah punya tanda visa waiver di e-paspor saya, jadi saya tak perlu lagi berurusan dengan Kedutaan Jepang di Indonesia, sedangkan sebelumnya bahkan paspor saja saya belum punya. Kedua, saya sudah tahu harus menukarkan kurs ke valas mana yang termurah di Jakarta. Ketiga, saya sudah tahu cara mencari rekomendasi destinasi wisata, menyusun rutenya yang paling efisien secara waktu dan dana. Keempat, saya sudah tahu harus menyiapkan apa saja untuk dibawa untuk kenyamanan perjalanan saya selama di Jepang.

Penantian selama 5 bulan jadi terasa lebih rileks. Saking santainya, saya bahkan baru menukar kurs rupiah ke yen sehari sebelum keberangkatan. Dan memesan mobile wifi 3 hari sebelum keberangkatan, which is batas waktu minimum sebelum hari-H penyewaan. Hanya penginapan dan transportasi antar kota di Jepang yang saya pesan dari jauh-jauh hari karena tanggal liburan saya ke Jepang kali kedua ini bertepatan dengan liburan Golden Week orang Jepang agar bisa mendapat harga yang murah dan lokasi yang baik.

Sekedar informasi, perjalanan saya ke Jepang kali ini saya lakukan dengan 2 orang teman saya, yaitu Marven dan Galo. Maka untuk penginapan kami mencari penginapan yang bisa untuk 3 orang tamu melalui airbnb.com agar bisa mendapatkan penginapan yang murah dan bagus. Jadi semua informasi penginapan yang saya berikan di bawah adalah untuk akomodasi 3 orang saja. Dan berikut inilah cerita perjalanan saya yang kedua kali ke Jepang pada musim semi 2016.

Hari Pertama: Jakarta – Tokyo – Osaka

Sedikit sedih, menjelang hari keberangkatan kami ke Jepang, saya terkena batuk pilek yang tak kunjung sembuh hingga hari-H keberangkatan. Dan akhirnya saya berangkat ke Jepang dalam kondisi flu. Untungnya perjalanan kami adalah direct flight, sehingga kami tidak menghabiskan banyak waktu di perjalanan. Sedikit tips untuk penerbangan panjang, sebaiknya lakukan city check-in agar mendapatkan posisi tempat duduk yang nyaman. Sebenarnya kami sempat mencoba city check-in, tetapi web-nya eror dan karena akan cuti panjang, kami harus menyelesaikan pekerjaan di kantor sehingga tak sempat jika harus berkali-kali mencoba city check-in. Sehingga kami bertiga harus rela mendapat tempat duduk terpisah dan tidak dekat dengan jendela. Kami berangkat pukul 06.00 (waktu lokal) dari Bandara Soekarno-Hatta dan setelah menempuh 7 jam perjalanan, kami tiba di Bandara Narita sekitar pukul 15.00 (waktu lokal). Senangnya bisa kembali ke Jepang, sampai saya lupa dengan flu yang menempel di pernafasan saya.

Dari Bandara Narita kami berencana melanjutkan perjalanan dengan maskapai lokal ke Osaka, tapi jadwalnya jam 19.30, jadi setelah selesai urusan imigrasi, kami makan dulu lalu, mengambil mobile wifi, mengirim kartu pos ke beberapa teman di Indonesia dan berkeliling area komersil Bandara Narita yang cukup besar itu. Dan pukul 20.30 kami tiba di bandara Kansai.

tiba di bandara Narita
tiba di bandara Narita
Dan begitu keluar dari gedung terminal bandara Kansai, kami langsung memasuki stasiun kereta di dekat terminal 1 bandara Kansai. Maka petualangan di Jepang pun dimulai. Ya, menurut saya perjalanan di Jepang bisa dikatakan petualangan karena kami menggunakan segala jenis kereta api sebagai alat transportasi selama di Jepang dan untuk memahami rute, jadwal dan stasiun kereta api di Jepang bukanlah hal yang mudah. Saya sendiri yang sudah 2 kali ke Jepang masih belum juga memahami rute kereta api di Jepang ini, karena jalurnya banyak sekali dan berbeda-beda namanya.

Malam itu kami menginap di sebuah apartemen di daerah Namba.Kami tidak kesulitan menemukan penginapan, jaraknya dekat sekali dengan stasiun JR Namba dan pemilik apartemen ini memberikan petunjuk yang sangat jelas untuk menuju apartemen (rekomendasinya di sini).

Hari Ke-2 : Osaka – Nara – Kyoto

Minggu pagi yang cerah di Osaka, kami mengunjungi Osaka Castle (Osakajo) sebagai destinasi pertama kami. Sebenarnya Osakajo ini ada dalam itinerary saya tahun lalu, tapi karena masalah cuaca, jadwal perjalanan saya jadi berantakan, sehingga saya terpaksa melewatkan perjalanan ke Osakajo ini. Dari stasiun kami berjalan kaki menuju Osakajo dan sempat mampir sebentar ke mini market express local untuk membeli roti sebagai menu sarapan kami.

Osaka Castle (dokumentasi pribadi)
Osaka Castle (dokumentasi pribadi)
Hari itu pengunjung Osakajo cukup ramai, antrian pembelian tiket masuknya cukup panjang. Karena di dalam Osakajo ini tidak boleh mengambil foto, sementara kami harus membayar tiket masuk sebesar ¥800 jadi kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam kastil itu, kami hanya menikmati suasana di sekitarnya dan berfoto di sana.

berfoto di depan Osaka Castle
berfoto di depan Osaka Castle
Dari Osakajo kami bergerak ke daerah Sumiyoshi. Di sini ada sebuah kuil Shinto yang menurut saya memiliki bentuk berbeda dengan kuil kebanyakan yang saya lihat di Jepang. Untuk masuk ke kuil ini tidak perlu membayar apa pun. Kami cukup beruntung ketika tiba di Sumiyoshi-taisha ini ada pernikahan Shinto yang sedang berlangsung. Jadi kami bisa melihat prosesi pernikahan ala Shinto. Selain itu di sana juga sedang diadakan lomba panahan yang pesertanya siswa sekolah menengah yang sangat menarik perhatian saya karena saya belum pernah melihat lomba panahan secara langsung. Para siswa yang menjadi peserta itu semuanya menggunakan pakaian a la Jepang.

Foto keluarga pengantin Shinto (dokumentasi pribadi)
Foto keluarga pengantin Shinto (dokumentasi pribadi)
Mendekati tengah hari kami beranjak ke Namba lagi dan singgah di Dotonbori. Tempat ini memang tak pernah sepi sepertinya. Apalagi di liburan golden week seperti itu, banyak wisatawan lokal Jepang dan dari berbagai negara memadati area ini. Siang itu  kami berniat mencari restoran untuk makan siang. Awalnya kami menyusuri Hazenji-Yokocho alley, ternyata jalan kecil itu banyak terdapat restoran kecil khas Jepang yang menu utamanya adalah steak. Namun harganya di atas budget kami, jadi kami hanya sekedar lewat dan kembali ke jalan utama Dotonbori untuk mencari restoran yang harganya bersahabat dan menunya sesuai dengan lidah. Kami harus cukup bersabar siang itu, karena hampir semua tempat makan ramai oleh pengunjung yang ingin makan siang. Sehingga akhirnya kami memilih sebuah restoran ramen yang barisan antriannya tidak terlalu panjang.

Sumiyoshi-taisha shrine (dokumentasi pribadi)
Sumiyoshi-taisha shrine (dokumentasi pribadi)
Setelah makan kami menyusuri Dotonbori hingga pukul 1 siang. Menurut jadwal yang kami susun, harusnya setelah dari Dotonbori kami ke Nara untuk mengunjungi Todaiji temple. Tapi karena kami merasa kaki sudah cukup lelah, akhirnya kami memutuskan untuk melewatkannya, dari Osaka kami hanya melewati Nara dan langsung ke Kyoto.
Dotonbori di Osaka (dokumentasi pribadi)
Dotonbori di Osaka (dokumentasi pribadi)
Dan sore itu tibalah kami di Kyoto. Ah, saya suka sekali dengan suasana kota ini, dan saya jatuh cinta kembali dengan kota itu, persis seperti yang saya rasakan ketika tiba di Kyoto tahun lalu. Hari itu saya merasa Kyoto ramai sekali oleh wisatawan, lebih ramai dari yang saya lihat tahun lalu. Kami berhenti di stasiun Gion-Shijo dan langsung menuju apartemen yang jaraknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari stasiun (rekomendasinya di sini).

Untuk makan malam, kami membeli nasi instan di mini market ekspress lokal, yang kemudian kami hangatkan dengan microwave,yang sudah tersedia di apartemen, dan kami santap dengan rendang kering yang kami bawa dari Indonesia. Dan malam itu kami habiskan dengan beristirahat saja di apartemen karena saya terkena demam dan Marven terkena radang tenggorokan, jadi kami perlu menjaga stamina agar tetap kuat hingga perjalanan di Jepang ini selesai.

Hari Ke-3: Kyoto

Pagi hari saya membuka jendela kamar apartemen, saya melihat cuaca cerah sekali, walaupun anginnya terasa sangat dingin. Belajar dari pengalam hari sebelumnya, saya harus banyak sekali minum air, karena cuacanya cerah tapi anginnya dingin dan kering, sehingga tenggorakan cepat terasa kering. Tapi meminum air dingin di tengah cuaca bersuhu cukup rendah rupanya membuat tenggorokan saya yang memang sudah sakit menjadi semakin menderita, jadi saya sedikit sekali minum, sehingga saya demam di malam hari.

Sedikit informasi penting, (saya tidak mengerti kenapa) air minum di Jepang itu disajikan dingin. Jika kita membeli air minum dalam kemasan di vending machine (harganya sekitar ¥110 untuk kemasan 500 mL) memang airnya dingin, karena disimpan dalam lemari pendingin, tapi air minum yang disediakan di restoran secara gratis adalah air dengan es, jika ingin air hangat, maka kita harus memesan teh atau ocha yang tidak gratis. Dan air yang keluar dari keran air minum di tempat umum pun dingin. Jadi sebaiknya ketika kembali ke penginapan, siapkanlah air hangat sebagai bekal sepanjang perjalanan.

Walaupun suhu badan saya masih tinggi pagi itu, saya tetap berangkat bersama 2 teman saya untuk berjalan-jalan di Kyoto. Hanya hari itu ransel kami bertiga penuh oleh botol minum berisi air hangat. Dan setelah sarapan (nasi instan dan ikan teri sambal kering dari Indonesia) saya makan vitamin C dan obat penurun demam.

Destinasi pertama kami di hari Senin itu adalah Fushimi Inari-taisha, yang jadi destinasi favorit di Kyoto, karena terkenal dengan barisan torii gate yang berjajar hingga puncak gunung Inari, dan pernah menjadi lokasi shooting film Memoirs of a Geisha (2005). Tahun sebelumnya saya dan Marven sudah ke tempat ini dan sudah menyusuri barisan torii gate yang panjang itu hingga ke puncak gunung Inari dan menikmati pemandangan kota Kyoto dari sana. Sedangkan Galo baru pertama kali ke Jepang, sehingga dia terpaksa naik sendirian, sedangkan saya dan Marven menunggu di bawah.

thousand of torii gate at Fushimi Inari-taisha (dok. pribadi)
thousand of torii gate at Fushimi Inari-taisha (dok. pribadi)
Biaya masuk ke tempat ini gratis. Sama seperti tahun sebelumnya, kami datang ke kuil itu pagi sekali agar tidak terlalu ramai dan nyaman untuk berfoto-foto sambil berjalan menyusuri torii gate. Semakin siang, kami lihat pengunjungnya semakin banyak, hingga akhirnya sekitar pukul 10 Galo sudah turun kembali. Kami masih menunggu dia beristirahat sebentar sambil melihat toko-toko souvenir di bagian depan kuil, di mana kita bisa membeli miniatur torii gate.

Pukul 10.30 kami beranjak ke kuil Kinkakuji. Untuk menuju tempat itu, kami harus menumpang bus kota. Kami sempat salah destinasi, karena salah mendengar tujuan. Kami baru tahu, ternyata ada kuil Kinkakuji dan kuil Ginkakuji. Dan kami memilih bus ke Ginkakuji. Ketika turun, kami melewati Philosopher’s Path, sebuah jalan kecil dengan kolam bersih yang memanjang berisi ikan dan di pinggirnya ditumbuhi pohon bunga sakura yang sudah selesai masa mekarnya. Ketika menyadari tempat itu adalah Philosopher’s Path, kami akhirnya tahu kalau kami salah tujuan, karena Philosopher’s Path memang ada dalam destinasi kami, tapi lokasinya tidak berdekatan dengan kuil Kinkakuji. Lalu kami kembali menaiki bus kota dan melihat rute yang benar.

Hingga akhirnya tibalah kami di kuil Kinkakuji, yang dikenal sebagai Golden Pavilion. Sedangkan kuil Ginkakuji dikenal sebagai Silver Pavilion. Sesuai namanya, seperti itulah warna kedua kuil tersebut, dan konon katanya itu juga adalah material pembuat bagian luar kedua kuil tersebut. Pengunjung Kinkakuji ini jauh lebih ramai daripada Ginkakuji, dan memang kuil tesebut adalah destinasi favorit di Kyoto karena keunikannya dengan bahan emas tersebut. Untuk masuk ke Kinkakuji kita harus membayar tiket ¥400 per orang. Jalan di dalam komplek kuil emas ini sudah diatur sedemikian rupa agar menjadi satu arah dari masuk hingga keluar, sehingga semua wisatawan bisa berjalan kaki dengan tenang.

Golden Pavilion Kinkakuji Temple (dokumentasi pribadi)
Golden Pavilion Kinkakuji Temple (dokumentasi pribadi)
Dari Kinkakuji kami berlanjut ke Kyoto Botanical Garden. Tempat ini juga sebenarnya sudah ada dalam list saya tahun lalu, tapi tidak jadi dikunjungi dengan alasan cuaca. Harga tiket masuk ke sini cukup murah, hanya ¥200 per orang. Dan senang sekali rasanya ketika saya tiba di sana dan berjalan-jalan di tengah taman bunga yang disusun dengan indah sekali. Walaupun sakura sudah selesai masa mekarnya, saya tetap senang berjalan-jalan di sana, karena pengunjungnya jadi tidak ramai. Sebelum masuk ke dalam kebun raya ini, kami sempat bersantap siang di sebuah restoran kecil di dekat gerbang utama. Rasanya enak dan harganya tidak terlalu mahal.

salah satu sudut di Kyoto Botanical Garden (dokumentasi pribadi)
salah satu sudut di Kyoto Botanical Garden (dokumentasi pribadi)
Hari sudah sore ketika kami keluar dari Kyoto Botanical Garden, dan kami kembali ke Gion-Shijo dan berkeliling di kawasan Gion, di mana (jika beruntung) kita bisa bertemu Geisha dan atau Maiko (apprentice Geisha) yang berjalan menuju tempat show mereka di daerah itu. Biasanya para Geisha dan Maiko ini menaiki Jinrikisha (becak khas Jepang), namun ada juga yang berjalan kaki dan dijemput dengan mobil. Peraturan untuk wisatawan di sini adalah, tidak boleh mencolek Geisha atau Maiko, hanya boleh difoto dari jarak tertentu.

Sebenarnya hari sebelumnya saya melihat Maiko ketika baru saja tiba di Kyoto dan kami berjalan menuju penginapan. Dan sore itu saya melihat Geisha di sana. Ketika langit mulai gelap, kami kembali ke penginapan untuk mandi. Setelah itu kami keluar lagi untuk menyusuri area Gion-Shijo sambil mencari makanan untuk santap malam, karena ingin menu berbeda lagi untuk makan malam.

Hari ke-4: Kyoto

Kali ini tujuan kami adalah Arashiyama, destinasi favorit lainnya di Kyoto yang terkenal dengan bamboo grooves-nya. Jadi setelah sarapan nasi instan dengan lauk ikan teri sambal kering dan rendang kering lagi seperti hari sebelumnya, kami bergerak ke Stasiun Saga Arashiyama. Tahun lalu saya juga telah ke tempat ini, tetapi karena hujan, jadi kami lebih banyak menghabiskan waktu berteduh di kuil Tenryuji dan sedikit saja menyusuri hutan bambunya ketika hujan sedikit mereda. Kali ini kami datang cukup pagi lagi untuk menghindari keramaian.

Cuaca cukup cerah ketika kami mulai menyusuri Arashiyama dan belum banyak pengunjung. Kami sempat singgah sebentar di kuil Tenryuji sebelum akhirnya berjalan di antara hutan bambu tertata dengan baik di Arashiyama. Kami sempat tersasar ketika mencari spot bamboo groove yang paling banyak dikunjungi orang, karena banyak sekali persimpangan jalan kecil di area ini. Ternyata hutan bambu ini juga sudah cukup ramai di pagi hari itu oleh wisatawan. Di sini kita bisa menemukan banyak orang naik jinriksha, yaitu becak khas Jepang yang ditarik dengan tenaga manusia dengan berjalan dan atau berlari.

Bamboo Grooves at Arashiyama (dokumentasi pribadi)
Bamboo Grooves at Arashiyama (dokumentasi pribadi)
Kami terus berjalan kaki hingga sampai di sungai Sagano dan jembatan Togetsukyo, lalu kembali ke stasiun lagi dan melanjutkan perjalanan ke Toei Uzumasa Eigamura yang tak jauh dari stasiun Saga Arashiyama. Kami berhenti di stasiun Uzumasa, dan berjalan kaki sekitar 5 menit dan sampai di sana. Toei Uzumasa Eigamura atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kyoto Studio Park adalah theme park dan lokasi film set khas Jepang yang dapat dimasuki dengan harga tiket ¥2.200. Siang itu pengunjungnya cukup ramai, tapi semuanya adalah turis lokal, dan sepertinya hanya kami bertiga turis asing yang datang ke sana siang itu.

berpose di tepi sungai Katsura
berpose di tepi sungai Katsura
Awalnya kami berasa sedikit bingung dengan isi taman bermain itu karena wahana yang kami temui dari pintu masuk kebanyakan untuk anak kecil dan berbayar lagi, seperti Ninja Training. Di sana banyak sekali anak kecil yang menggunakan baju ala Ninja dan membawa pedang mainan. Kami sempat berhenti sebentar untuk membeli es krim dan makanan ringan lokal. Lalu kami melanjutkan berkeliling dan menemukan set perkampungan khas Jepang masa lalu hingga sebuah gedung yang berisi  miniatur tokoh animekhas Jepang, seperti Dragon Ball, dan  set super hero Jepang seperti Kamen Rider dan Power Ranger. Seru sekali untuk generasi 90-an seperti kami menemukan tempat ini, kami bisa melihat perkembangan cerita tokoh super hero idola masa kecil dan berfoto dengan set-nya.

salah satu sudut penuh dengan Ranger Merah
salah satu sudut penuh dengan Ranger Merah
Mendekati jam makan siang, kami keluar dari theme park itu dan melanjutkan perjalanan ke Nishiki Food Market. Seperti namanya, tempat ini adalah pasar yang berbentuk shopping street yang memanjang di jalan yang tidak terlalu lebar, dan menjajakan berbagai bahan makanan khas Jepang. Sedikit informasi, tidak banyak restoran di jalan ini jika anda ingin makan. Dan akhirnya kami hanya bisa menyusuri jalanan ini sambil kelaparan, tapi tergoda juga ingin membeli beberapa bahan mentah yang dijual. Hingga akhirnya kami tak membeli apapun di sana dan memilih restoran di ujung jalan.

Pukul 14.30 kami ke daerah Higashiyama dan menyewa kimono, lalu berjalan hingga ke kuil Kiyomizudera. Kuil ini juga tujuan favorit karena lokasinya di atas bukit, dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Kyoto dengan menara Kyoto yang terlihat kecil. Kuil ini dibangun dengan material bangunan berupa kayu yang kuat. Sore itu kuil ini ramai sekali dan ada banyak wisatawan yang juga menyewa kimono. Sayangnya sore itu hujan turun, sehingga kami kurang puas untuk berkeliling. Tahun sebelumnya saya juga tak kuat berkeliling area kuil ini karena kelelahan. Jadi karena hari semakin gelap, maka  kami kembali ke tempat penyewaan kimono lalu bertukar pakaian lagi. Setelah itu kami makan malam dan kembali ke apartemen.

selfie di tengah keramaian Kiyomizudera Temple
selfie di tengah keramaian Kiyomizudera Temple
Hari ke-5: Nagoya

Pukul 10 pagi kami meninggalkan Kyoto dengan menumpangi kereta cepat Shinkansen Nozomi N700 dari stasiun Kyoto. Hanya 30 menit perjalanan dengan harga tiket yang cukup mahal ¥5070  kami tiba di kota Nagoya. Kota yang sama sekali baru bagi kami bertiga, sehingga kami harus kembali mempelajari rutenya.

tiket Shinkansen N700 Kyoto-Nagoya
tiket Shinkansen N700 Kyoto-Nagoya
Setelah memasukkan tas ke loker penitipan, kami bergerak ke Kinjofuto. Di sini ada museum kereta api bernama SCMAGlev and Railway Park, atau juga dikenal dengan JR Museum. JR adalah jalur kereta api Jepang yang dikelola oleh pemerintah, sehingga hanya jalur inilah yang memiliki kereta cepat atau yang umum disebut shinkansen. Dengan harga tiket ¥1000, di dalam museum ini kita bisa melihat bagaimana shinkansen dikembangkan sejak awal hingga saat ini dan berbagai jenis kereta api lain di Jepang.

lantai 1 JR Museum (dokumentasi pribadi)
lantai 1 JR Museum (dokumentasi pribadi)
Pengunjung museum ini kebanyakan turis lokal dan sepertinya hanya kami yang turis asing di sana.Setelah makan siang di area kantin di dalam museum ini kami sempat menonton film documenter tentang sejarah Shinkansen. Film ini berbahasa Jepang dengan subtitle bahasa Inggris, yang cukup sulit untuk dicerna di jam seperti itu, sehingga akhirnya saya sempat tertidur di dalam studio. Setelah pemutaran film selesai, kami kembali ke stasiun Nagoya.

Sebenarnya kami berencana ke Nagoya Castle di Inuyama, namun lokasinya cukup jauh dari stasiun, sementara uang yen kami sudah semakin tipis, sehingga kami putuskan untuk duduk-duduk saja di coffee shop di dalam stasiun. Kami juga sempat membeli obat di drug store lokal lalu menikmati sore di dekat air mancur depan stasiun

Menjelang matahari terbenam kami bergerak ke Nagoya Port. Tempat ini di luar rencana kami, karena rencananya dibuat mendadak hari itu juga. Dan tanpa kami duga, tempat ini ternyata bagus sekali. Tidak terlalu ramai tapi enak untuk dinikmati. Itu adalah kali pertama saya mengunjungi port  yang bersih, tertata apik dan tidak berbau anyir.

Nagoya Port dengan view feris wheel (dokumentasi pribadi)
Nagoya Port dengan view feris wheel (dokumentasi pribadi)
Langit sudah gelap ketika kami meninggalkan Nagoya Port, kami kembali ke stasiun Nagoya. Kami makan malam terlebih dahulu di sebuah restoran Italia di dalam stasiun sebelum mengambil tas kami di loker penitipan. Setelah itu kami segera ke pool bus malam di dekat stasiun. Sekedar info, di tempat itu ada beberapa pemberhentian bus malam ke berbagai destinasi, sehingga kita harus bertanya dengan detail posisi bus yang akan ditumpangi agar tidak salah naik atau tertinggal. Pukul 22.30 bus kami tiba dan kami segera naik dan bersiap untuk tidur di dalam bus malam menuju Tokyo.

Nagoya Port di malam hari (dokumentasi pribadi)
Nagoya Port di malam hari (dokumentasi pribadi)
Hari ke-6: Tokyo

Pukul 06.30 bus yang kami tumpangi tiba di depan stasiun Hamamatsucho. Masih pagi sekali dan suasana Tokyo masih sepi. Kami masuk ke dalam stasiun, lalu menumpang membersihkan badan seadanya di dalam toilet. Lalu kami memasukkan tas lagi ke dalam loker penitipan dan melanjutkan perjalanan ke kuil Kameidoten.

Bulan Mei adalah masa di mana bunga wisteria mekar. Dan di pekarangan kuil Kameidoten ini ada banyak bunga wisteria. Sayangnya, saat kami di sana, bunga berwarna ungu yang tumbuh menggantung ini tidak begitu mekar, entah belum puncak mekarnya atau sudah lewat masa mekarnya, saya tidak paham. Jadi kami tidak terlalu lama di sana.

Bunga Wisteria di depan Kameidoten Shrine yang tak lagi mekar (dokumentasi pribadi)
Bunga Wisteria di depan Kameidoten Shrine yang tak lagi mekar (dokumentasi pribadi)
Kami lanjut berjalan kaki ke tujuan berikutnya, Tokyo Skytree. Saya senang sekali hari itu langit kota Tokyo cerah sekali, sehingga saya bisa menikmati pemandangan kota Tokyo dengan jelas dari bangunan tertinggi di Jepang tersebut. Tidak seperti tahun sebelumnya, di mana awan menutupi langit, sehingga pemandangan yang didapat dari menara ini hanya awan putih. Namun karena itu juga, pengunjung menara ini pun jadi banyak sekali. Ketika masuk ke tempat penjualan tiket, kami melihat antrian orang sudah mengular, baik yang ingin membeli tiket, maupun yang hendak naik ke observatory deck.

Tokyo Skytree (dokumentasi pribadi)
Tokyo Skytree (dokumentasi pribadi)
Normalnya harga tiket di sana adalah ¥2060, namun seorang petugas menawarkan tiket khusus dengan harga yang lebih mahal, tapi kami bisa segera naik. Dan tanpa pikir panjang kami memilih tiket itu saja. Dan begitu sampai di atas di ketinggian 350 meter, ternyata pengunjung sudah ramai sekali, sehingga kami agak kesulitan untuk mendapatkan tempat duduk untuk menikmati pemandangan. Jadi kami memilih untuk tidak berlama-lama di sana dan tidak naik lagi ke ketinggian 450 meter karena di sana juga sangat ramai.

pemandangan Tokyo dari ketinggian 350 meter Tokyo Skytree (dokumentasi pribadi)
pemandangan Tokyo dari ketinggian 350 meter Tokyo Skytree (dokumentasi pribadi)
Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke kuil Sensoji di Asakusa. Kuil ini pun tak pernah sepi pengunjung, terutama di gerbang utamanya, di mana banyak orang berfoto di depan lampion besar yang menggantung di sana. Kami kemudian menyusuri Nakamise, sebuah shopping street yang menyediakan berbagai souvenir khas Jepang. Untuk kota Tokyo, kita bisa menemukan jinriksha di daerah Asakusa ini.

Kaminarimon Gate menuju Asakusa Kanon Temple dan Sensoji Temple (dokumentasi pribadi)
Kaminarimon Gate menuju Asakusa Kanon Temple dan Sensoji Temple (dokumentasi pribadi)
Dari Asakusa kami ke stasiun Tokyo menuju Imperial Palace. Saat itu stasiun Tokyo sedang direnovasi. Saya suka dengan bangunan stasiun itu yang masih mempertahankan bangunan lamanya yang terlihat antik, sementara di sekelilingnya banyak gedung perkantoran yang modern.

bagian depan stasiun Tokyo (dokumentasi pribadi)
bagian depan stasiun Tokyo (dokumentasi pribadi)
Siang itu kami sudah cukup lelah sehingga kami hanya sanggup masuk hingga halaman depan Imperial Palace. Kami kembali ke Hamamatsucho dan masuk ke WTC Building. Di lantai 40 bangunan ini ada sebuah tempat bernama Seaside Top. Dengan tiket seharga ¥620, kita bisa duduk di sana dan menikmati pemandangan kota Tokyo dari ketinggian 152 meter dengan objek utama Tokyo Tower yang menjadi simbol kebanggaan warga kota Tokyo. Sore itu kami habiskan dengan duduk santai menikmati senja dengan melihat Tokyo Tower di depan kami.

pemandangan ke Tokyo Tower dari Seaside Top di sore hari (dokumentasi pribadi)
pemandangan ke Tokyo Tower dari Seaside Top di sore hari (dokumentasi pribadi)
Pengunjung Seaside Top ini kebanyakan adalah fotografer yang mengabadikan pemandangan sore hingga malam kota Tokyo dengan Tokyo Tower sebagai objek utamanya. Kami cukup beruntung karena dating cukup awal ke sana, sehingga mendapatkan tempat duduk dengan spot terbaik (menurut saya) untuk mengambil foto. Kami tetap duduk di situ hingga langit gelap dan lampu di Tokyo Tower menyala.

Tokyo di kala senja (dokumentasi pribadi)
Tokyo di kala senja (dokumentasi pribadi)
Kami sudah cukup kelelahan malam itu, jadi pukul 19.00 kami meninggalkan WTC Building dan bergerak ke Omotesando, di mana apartemen sewaan kami berada. Sebenarnya jarak ke apartemen tersebut tidak jauh dari stasiun, hanya sekitar 5 menit berjalan kaki. Namun host dari apartemen tersebut tidak memberikan petunjuk dan foto yang jelas soal lokasi apartemennya, sehingga kami harus berkali-kali menyusuri jalanan di Omotesando dan bertanya pada beberapa orang untuk menemukan alamat apartemen tersebut. Hingga kami butuh sekitar 1,5 jam untuk menemukan apartemen tersebut, Sehingga kami baru bisa masuk kamar sekitar pukul 22.00. Dan sedihnya, kamar yang kami sewa itu agak kotor dan berantakan, rekomendasinya bisa dilihat di sini. Tapi karena sudah lelah, jadi kami menyusun barang kami seadanya di dalam, lalu mandi dan beristirahat.

salah satu jendela berhias di Seaside Top (dokumentasi pribadi)
salah satu jendela berhias di Seaside Top (dokumentasi pribadi)
Hari ke-7: Tokyo – Fuji – Tokyo

Setelah kelelahan di hari sebelumnya, ternyata kami tidak bisa tidur cukup lama di hari ke-7. Kami harus bangun pukul 04.30 untuk bersiap-siap ke Fuji. Itu pun kami hampir terlewat, karena saya dan Marven teringat jadwal bus kami tahun lalu adalah jam 7 pagi untuk keberangkatan bus pertama, padahal kali itu adalah golden week dan jadwal keberangkatan bus pertama adalah jam 6 pagi. Untungnya saya sempat cek itinerary begitu terbangun, sehingga kami tak sempat mandi pagi itu dan langsung bergegas ke stasiun Shinjuku

Ketika sampai di Stasiun Shinjuku, kami sempat berputar-putar, karena ternyata pool bus ke Fuji sudah berpindah tempat di gedung baru, sedangkan saya dan Marven mengingat lokasi pool yang kami tahun lalu. Dan beruntungnya kami bisa tiba pukul 05:50 di poolShinjuku Highway Express Bus itu, kami segera membayarkan tiket dan naik ke bus.

Pagi itu langit terlihat cerah, kami berharap kali ini bisa melihat gunung Fuji hingga puncaknya hari itu. Karena mengantuk, saya sempat tertidur di dalam bus hingga Marven membangunkan saya karena melihat puncak Gunung Fuji di kejauhan. Wah, senang sekali rasanya pagi itu. Setelah 2 jam perjalanan melewati jalan tol dari stasiun Shinjuku, akhirnya kami tiba di stasiun Kawaguchiko. Udara dingin menyambut kami begitu keluar dari bus. Sama seperti tahun sebelumnya, saya senang sekali dengan suasana stasiun Kawaguchiko yang bentuk bangunannya klasik itu.

berpose di depan stasiun Kawaguchiko
berpose di depan stasiun Kawaguchiko
Hari itu kami akan ke Shibazakura Matsuri, atau Pink Moss Festival, yang hanya diadakan setahun sekali antara pertengahan April hingga pertengahan Mei di kaki gunung Fuji. Kami harus membayar ¥2,200 untuk bisa mengunjungi festival tahunan tersebut. Cukup mahal memang, tapi harga itu sudah termasuk biaya transportasi dengan bus dari stasiun Kawaguchiko ke tempat festival, pergi-pulang. Perjalanan ke tempat Shibazakura Matsuri ini ditempuh selama setengah jam dari stasiun Kawaguchiko. Info soal festival ini bisa dilihat di sini.

Kami sengaja datang cukup pagi ke sini untuk menghindari keramaian pengunjungnya, walaupun direkomedasikan untuk mengunjungi tempat ini di siang hari setelah tengah hari untuk menghasilkan perpaduan warna terbaik. Namun setibanya kami di sana, pengunjungnya sudah cukup ramai. Sehingga kami harus bersabar untuk berfoto-foto di tempat tertentu yang memiliki spot foto terbaik, karena pengunjung menumpuk di tempat tertentu itu. Walaupun saya sangat tidak suka dengan warna pink, tapi hari itu saya merasa senang sekali berada di antar bunga-bunga yang kebanyakan berwarna pink yang sedang mekar dengan indahnya.

Shibazakuri Matsuri - Pink Moss Festival (dokumentasi pribadi)
Shibazakuri Matsuri - Pink Moss Festival (dokumentasi pribadi)
Karena berangkat terburu-buru, kami sarapan seadanya pagi itu, sehingga kami merasa sangat lapar ketika jam sudah menunjukkan angka 10. Pengunjung tidak boleh makan di area bunga-bunga. Penyelenggara festival menyediakan area kantin yang menyajikan makanan berat maupun camilan ringan. Tapi karena saya sangat ingin makan udon di stasiun Kawaguchiko, jadi kami memilih untuk makan es krim saja di sana sambil menunggu jadwal bus kembali ke stasiun Kawaguchiko. Saya tak akan pernah lupa rasa es krim yang saya makan hari itu, rasanya enak sekali. Seandainya saya tidak sedang batuk, mungkin saya akan membeli es krim itu sampai berkali-kali.

Shibazakura Matsuri - Pink Moss Festival (dokumentasi pribadi)
Shibazakura Matsuri - Pink Moss Festival (dokumentasi pribadi)
Setibanya kembali di stasiun Kawaguchiko, kami langsung ke area kantin dan memesan udon di sana. Tahun lalu saya juga makan di situ dan saya suka sekali dengan rasanya, makanya saya kembali ke situ untuk menyantapnya. Selesai makan kami melanjutkan perjalanan ke Shimo-Yoshida dengan kereta. Jadwal keretanya di area Fuji memang tidak banyak, jadi kami harus menunggu cukup lama hingga kereta tiba.

Lokasi Shimo-Yoshida tak jauh dari Kawaguchiko, hanya 10 menit perjalanan dengan kereta. Dari stasiun Shimo-Yoshida yang kecil itu kami berjalan kaki selama sekitar 10 menit hingga tiba ke kuil Arakura-sengen dan barisan anak tangga menuju pagoda Chureito. Entah berapa banyak anak tangga yang harus kami daki hingga tiba di pagoda itu, sampai saya harus berhenti berkali-kali. Tapi lelahnya terbayar ketika melihat pemandangan yang kami dapat dari pagoda, pemandangan yang banyak ditemukan di foto-foto promosi pariwisata Jepang, pagoda Chureito dengan latar belakang gunung Fuji.

the famous Chureito Pagoda - Arakura Sengen Shrine (dokumentasi pribadi)
the famous Chureito Pagoda - Arakura Sengen Shrine (dokumentasi pribadi)
Kami menemukan beberapa pohon chery masih memperlihatkan bunga Sakura di sana. Sayangnya langit sudah terlanjur berawan ketika kami tiba di sana. Sehingga kami tak bisa berlama-lama untuk berfoto di sana, dan tak lama setelah itu hujan pun turun. Jadi kami segera kembali ke stasiun Kawaguchiko dan kembali ke Tokyo.

Pohon bunga sakura di depan Chureito pagoda (dokumentasi pribadi)
Pohon bunga sakura di depan Chureito pagoda (dokumentasi pribadi)
Setibanya kembali di stasiun Shinjuku kami melanjutkan perjalanan ke Shibuya. Walaupun hujan masih mengiringi, tapi tempat itu masih ramai. Karena hari masih cukup terang, jadi foto bersama patung Hachiko tak kami lewatkan saat itu.

Awalnya kami mau merekam aktivitas orang-orang di pedestrian yang terkenal itu, tapi karena hujan, kami takut kamera kami rusak, jadi kami putuskan untuk ke Takeshita Dori, shoppingstreet yang terkenal di Harajuku. Kami makan malam terlebih dahulu di gerai makanan cepat saji khas Jepang yang ada tepat di seberang stasiun Harajuku, lalu menjelejahi jalanan yang ramai oleh remaja Jepang itu. Berbeda dengan Nakamise, kebanyakan barang yang dijajakan di Takeshita Dori ini adalah barang fashion, terutama yang sedang menjadi trend bagi anak muda Jepang.

Takeshita Dori dari stasiun Harajuku (dokumentasi pribadi)
Takeshita Dori dari stasiun Harajuku (dokumentasi pribadi)
Sayangnya hujan turun cukup lama malam itu, sehingga kami kurang bebas bergerak ketika menjelajahi toko-toko di sana. Kami hanya memasuki 2 atau 3 toko, termasuk Daiso, toko dengan 1 harga yang menjual berbagai jenis barang, dan membeli beberapa barang sebagai oleh-oleh dari sana. Setelah itu kami segera kembali ke apartemen agar punya cukup waktu untuk beristirahat.

Hari ke-8: Tokyo – Jakarta

Dan tibalah hari terakhir perjalanan kami di Jepang. Malam sebelumnya kami memutuskan untuk bangun agak siang. Kami baru bangun pukul 08.00 lalu segera mengemasi barang-barang kami dan bergerak ke stasiun Shibuya. Di sana kami menitipkan bawaan kami di loker penyimpanan lalu melanjutkan perjalanan ke stasiun Sendagaya dan berjalan kaki ke Shinjuku Gyoen National Park.

Tempat ini juga sudah saya kunjungi tahun lalu, dan alasannya masih sama, tahun lalu saya tak bisa banyak menikmati taman itu karena hujan. Dan pagi itu langit Tokyo cerah sekali, kami puas berlama-lama menjalani taman yang terluas di Tokyo tersebut. Sama seperti taman kebanyakan di Jepang, Shinjuku Gyoen pun akan lebih indah untuk dikunjungi ketika bunga Sakura mekar, dan saya tetap senang walaupun masa mekar Sakura sudah selesai, karena pengunjungnya jadi lebih sedikit. Saya memang lebih suka mendatangi tempat wisata di  tempat yang tenang dan sepi.

salah satu sudut dengan kolam yang bersih di dalam Shinjuku Gyoen National Park (dokumentasi pribadi)
salah satu sudut dengan kolam yang bersih di dalam Shinjuku Gyoen National Park (dokumentasi pribadi)
Sejam berkeliling Shinjuku Gyoen, kami kembali ke Shibuya lagi dan berkeliling di sana. Rasanya Cuma di Shibuya ini saya bisa menikmati keramaian dengan merekam kesibukan pejalan kaki yang banyak sekali di sana. Dan memang itulah daya tarik salah satu pedestrian teramai di dunia itu. Setelah itu kami juga sempat ke Disney Shop dan makan siang di sebuah restoran ramen di daerah itu, sebelum kembali ke stasiun Shibuya lagi. Kami mengambil tas kami dan menumpangi kereta ekspres dari Shibuya ke Narita. Dan selesailah sudah liburan kami di Jepang.

keramaian Shibuya crossing street difoto dari gerai Starbucks lantai 2 Tsutaya Plaza Shibuya (dokumentasi pribadi)
keramaian Shibuya crossing street difoto dari gerai Starbucks lantai 2 Tsutaya Plaza Shibuya (dokumentasi pribadi)
Jika ditanya, apakah saya masih mau ke Jepang lagi? Maka jawaban saya adalah ya. Ada banyak tempat lain yang masih ingin saya kunjungi di Jepang, terutama di musim gugur. Menurut saya ada beberapa tempat yang akan lebih indah jika dilihat di musim gugur dan saya ingin melakukannya. Mungkin setelah mengunjungi Jepang di musim gugur baru saya merasa cukup dengan eksplorasi Jepang. Semoga keinginan saya ini terwujud, sehingga saya bisa  melanjutkan tulisan soal wisata Jepang lagi untuk yang ketiga kalinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun