Setelah melakukan perjalanan ke Jepang tahun lalu, saya jadi berkeinginan untuk melakukan perjalanan ke Jepang lagi. Alasannya, pertama karena memang saya menyukai Jepang, kedua karena saya merasa perjalanan saya tahun lalu tidak terselesaikan dengan baik karena masalah cuaca. Walaupun persiapan perjalanan saya tahun lalu lebih panjang dan detail dibanding persiapan saya tahun ini, tapi itu  karena tahun lalu adalah perjalanan pertama dan saya mendapat banyak pelajaran dari pengalaman pertama tersebut, sehingga bisa saya perbaiki di perjalanan yang kedua ini.
Banyak orang yang bilang perjalanan saya yang kedua ini dilakukan pada waktu yang salah, karena musim semi akan berakhir, sehingga saya tidak bisa melihat indahnya bunga sakura ketika mekar. Selain itu, waktu perjalanan saya ini bertepatan dengan golden week, yaitu waktu libur panjang bagi orang Jepang di musim semi. Tapi pertimbangan utama saya memilih tanggal perjalanan ini adalah waktu cuti yang sangat  minimal dengan jangka waktu hari libur yang cukup panjang (ambil cuti 3 hari dapat libur 9 hari), kedua adalah suhu udara karena saya tidak tahan dengan cuaca dingin, sehingga saya harus menunggu cuaca cukup hangat agar cukup kuat untuk melakukan perjalanan ini.
Beruntungnya kali ini saya mendapatkan tiket pesawat direct flight dari Jakarta ke Tokyo (pergi-pulang) dengan harga (yang menurut saya) cukup murah ketika menghadiri Japan travel fairdi sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta bulan Oktober 2015 yang lalu. Sayangnya, tiket pesawat ini mengharuskan rute Jakarta-Tokyo (pergi-pulang). Padahal saya inginnya Jakarta-Tokyo (pergi) dan Osaka-Jakarta (pulang) atau sebaliknya untuk menghemat biaya.
Sebenarnya persiapan perjalanan pertama dan kedua ini sama-sama 5 bulan sejak pembelian tiket hingga tanggal keberangkatan. Dan karena sudah pernah berlibur ke Jepang sebelumnya, yang waktunya hanya baru 5 bulan sebelum pembelian tiket, jadi persiapan liburan saya ke Jepang yang kedua kali ini bisa dikatakan lebih mudah dan lebih santai. Pertama, saya sudah punya tanda visa waiver di e-paspor saya, jadi saya tak perlu lagi berurusan dengan Kedutaan Jepang di Indonesia, sedangkan sebelumnya bahkan paspor saja saya belum punya. Kedua, saya sudah tahu harus menukarkan kurs ke valas mana yang termurah di Jakarta. Ketiga, saya sudah tahu cara mencari rekomendasi destinasi wisata, menyusun rutenya yang paling efisien secara waktu dan dana. Keempat, saya sudah tahu harus menyiapkan apa saja untuk dibawa untuk kenyamanan perjalanan saya selama di Jepang.
Penantian selama 5 bulan jadi terasa lebih rileks. Saking santainya, saya bahkan baru menukar kurs rupiah ke yen sehari sebelum keberangkatan. Dan memesan mobile wifi 3 hari sebelum keberangkatan, which is batas waktu minimum sebelum hari-H penyewaan. Hanya penginapan dan transportasi antar kota di Jepang yang saya pesan dari jauh-jauh hari karena tanggal liburan saya ke Jepang kali kedua ini bertepatan dengan liburan Golden Week orang Jepang agar bisa mendapat harga yang murah dan lokasi yang baik.
Sekedar informasi, perjalanan saya ke Jepang kali ini saya lakukan dengan 2 orang teman saya, yaitu Marven dan Galo. Maka untuk penginapan kami mencari penginapan yang bisa untuk 3 orang tamu melalui airbnb.com agar bisa mendapatkan penginapan yang murah dan bagus. Jadi semua informasi penginapan yang saya berikan di bawah adalah untuk akomodasi 3 orang saja. Dan berikut inilah cerita perjalanan saya yang kedua kali ke Jepang pada musim semi 2016.
Hari Pertama: Jakarta – Tokyo – Osaka
Sedikit sedih, menjelang hari keberangkatan kami ke Jepang, saya terkena batuk pilek yang tak kunjung sembuh hingga hari-H keberangkatan. Dan akhirnya saya berangkat ke Jepang dalam kondisi flu. Untungnya perjalanan kami adalah direct flight, sehingga kami tidak menghabiskan banyak waktu di perjalanan. Sedikit tips untuk penerbangan panjang, sebaiknya lakukan city check-in agar mendapatkan posisi tempat duduk yang nyaman. Sebenarnya kami sempat mencoba city check-in, tetapi web-nya eror dan karena akan cuti panjang, kami harus menyelesaikan pekerjaan di kantor sehingga tak sempat jika harus berkali-kali mencoba city check-in. Sehingga kami bertiga harus rela mendapat tempat duduk terpisah dan tidak dekat dengan jendela. Kami berangkat pukul 06.00 (waktu lokal) dari Bandara Soekarno-Hatta dan setelah menempuh 7 jam perjalanan, kami tiba di Bandara Narita sekitar pukul 15.00 (waktu lokal). Senangnya bisa kembali ke Jepang, sampai saya lupa dengan flu yang menempel di pernafasan saya.
Dari Bandara Narita kami berencana melanjutkan perjalanan dengan maskapai lokal ke Osaka, tapi jadwalnya jam 19.30, jadi setelah selesai urusan imigrasi, kami makan dulu lalu, mengambil mobile wifi, mengirim kartu pos ke beberapa teman di Indonesia dan berkeliling area komersil Bandara Narita yang cukup besar itu. Dan pukul 20.30 kami tiba di bandara Kansai.
Malam itu kami menginap di sebuah apartemen di daerah Namba.Kami tidak kesulitan menemukan penginapan, jaraknya dekat sekali dengan stasiun JR Namba dan pemilik apartemen ini memberikan petunjuk yang sangat jelas untuk menuju apartemen (rekomendasinya di sini).
Hari Ke-2 : Osaka – Nara – Kyoto
Minggu pagi yang cerah di Osaka, kami mengunjungi Osaka Castle (Osakajo) sebagai destinasi pertama kami. Sebenarnya Osakajo ini ada dalam itinerary saya tahun lalu, tapi karena masalah cuaca, jadwal perjalanan saya jadi berantakan, sehingga saya terpaksa melewatkan perjalanan ke Osakajo ini. Dari stasiun kami berjalan kaki menuju Osakajo dan sempat mampir sebentar ke mini market express local untuk membeli roti sebagai menu sarapan kami.
Untuk makan malam, kami membeli nasi instan di mini market ekspress lokal, yang kemudian kami hangatkan dengan microwave,yang sudah tersedia di apartemen, dan kami santap dengan rendang kering yang kami bawa dari Indonesia. Dan malam itu kami habiskan dengan beristirahat saja di apartemen karena saya terkena demam dan Marven terkena radang tenggorokan, jadi kami perlu menjaga stamina agar tetap kuat hingga perjalanan di Jepang ini selesai.
Hari Ke-3: Kyoto
Pagi hari saya membuka jendela kamar apartemen, saya melihat cuaca cerah sekali, walaupun anginnya terasa sangat dingin. Belajar dari pengalam hari sebelumnya, saya harus banyak sekali minum air, karena cuacanya cerah tapi anginnya dingin dan kering, sehingga tenggorakan cepat terasa kering. Tapi meminum air dingin di tengah cuaca bersuhu cukup rendah rupanya membuat tenggorokan saya yang memang sudah sakit menjadi semakin menderita, jadi saya sedikit sekali minum, sehingga saya demam di malam hari.
Sedikit informasi penting, (saya tidak mengerti kenapa) air minum di Jepang itu disajikan dingin. Jika kita membeli air minum dalam kemasan di vending machine (harganya sekitar ¥110 untuk kemasan 500 mL) memang airnya dingin, karena disimpan dalam lemari pendingin, tapi air minum yang disediakan di restoran secara gratis adalah air dengan es, jika ingin air hangat, maka kita harus memesan teh atau ocha yang tidak gratis. Dan air yang keluar dari keran air minum di tempat umum pun dingin. Jadi sebaiknya ketika kembali ke penginapan, siapkanlah air hangat sebagai bekal sepanjang perjalanan.
Walaupun suhu badan saya masih tinggi pagi itu, saya tetap berangkat bersama 2 teman saya untuk berjalan-jalan di Kyoto. Hanya hari itu ransel kami bertiga penuh oleh botol minum berisi air hangat. Dan setelah sarapan (nasi instan dan ikan teri sambal kering dari Indonesia) saya makan vitamin C dan obat penurun demam.
Destinasi pertama kami di hari Senin itu adalah Fushimi Inari-taisha, yang jadi destinasi favorit di Kyoto, karena terkenal dengan barisan torii gate yang berjajar hingga puncak gunung Inari, dan pernah menjadi lokasi shooting film Memoirs of a Geisha (2005). Tahun sebelumnya saya dan Marven sudah ke tempat ini dan sudah menyusuri barisan torii gate yang panjang itu hingga ke puncak gunung Inari dan menikmati pemandangan kota Kyoto dari sana. Sedangkan Galo baru pertama kali ke Jepang, sehingga dia terpaksa naik sendirian, sedangkan saya dan Marven menunggu di bawah.
Pukul 10.30 kami beranjak ke kuil Kinkakuji. Untuk menuju tempat itu, kami harus menumpang bus kota. Kami sempat salah destinasi, karena salah mendengar tujuan. Kami baru tahu, ternyata ada kuil Kinkakuji dan kuil Ginkakuji. Dan kami memilih bus ke Ginkakuji. Ketika turun, kami melewati Philosopher’s Path, sebuah jalan kecil dengan kolam bersih yang memanjang berisi ikan dan di pinggirnya ditumbuhi pohon bunga sakura yang sudah selesai masa mekarnya. Ketika menyadari tempat itu adalah Philosopher’s Path, kami akhirnya tahu kalau kami salah tujuan, karena Philosopher’s Path memang ada dalam destinasi kami, tapi lokasinya tidak berdekatan dengan kuil Kinkakuji. Lalu kami kembali menaiki bus kota dan melihat rute yang benar.
Hingga akhirnya tibalah kami di kuil Kinkakuji, yang dikenal sebagai Golden Pavilion. Sedangkan kuil Ginkakuji dikenal sebagai Silver Pavilion. Sesuai namanya, seperti itulah warna kedua kuil tersebut, dan konon katanya itu juga adalah material pembuat bagian luar kedua kuil tersebut. Pengunjung Kinkakuji ini jauh lebih ramai daripada Ginkakuji, dan memang kuil tesebut adalah destinasi favorit di Kyoto karena keunikannya dengan bahan emas tersebut. Untuk masuk ke Kinkakuji kita harus membayar tiket ¥400 per orang. Jalan di dalam komplek kuil emas ini sudah diatur sedemikian rupa agar menjadi satu arah dari masuk hingga keluar, sehingga semua wisatawan bisa berjalan kaki dengan tenang.
Sebenarnya hari sebelumnya saya melihat Maiko ketika baru saja tiba di Kyoto dan kami berjalan menuju penginapan. Dan sore itu saya melihat Geisha di sana. Ketika langit mulai gelap, kami kembali ke penginapan untuk mandi. Setelah itu kami keluar lagi untuk menyusuri area Gion-Shijo sambil mencari makanan untuk santap malam, karena ingin menu berbeda lagi untuk makan malam.
Hari ke-4: Kyoto
Kali ini tujuan kami adalah Arashiyama, destinasi favorit lainnya di Kyoto yang terkenal dengan bamboo grooves-nya. Jadi setelah sarapan nasi instan dengan lauk ikan teri sambal kering dan rendang kering lagi seperti hari sebelumnya, kami bergerak ke Stasiun Saga Arashiyama. Tahun lalu saya juga telah ke tempat ini, tetapi karena hujan, jadi kami lebih banyak menghabiskan waktu berteduh di kuil Tenryuji dan sedikit saja menyusuri hutan bambunya ketika hujan sedikit mereda. Kali ini kami datang cukup pagi lagi untuk menghindari keramaian.
Cuaca cukup cerah ketika kami mulai menyusuri Arashiyama dan belum banyak pengunjung. Kami sempat singgah sebentar di kuil Tenryuji sebelum akhirnya berjalan di antara hutan bambu tertata dengan baik di Arashiyama. Kami sempat tersasar ketika mencari spot bamboo groove yang paling banyak dikunjungi orang, karena banyak sekali persimpangan jalan kecil di area ini. Ternyata hutan bambu ini juga sudah cukup ramai di pagi hari itu oleh wisatawan. Di sini kita bisa menemukan banyak orang naik jinriksha, yaitu becak khas Jepang yang ditarik dengan tenaga manusia dengan berjalan dan atau berlari.
Pukul 14.30 kami ke daerah Higashiyama dan menyewa kimono, lalu berjalan hingga ke kuil Kiyomizudera. Kuil ini juga tujuan favorit karena lokasinya di atas bukit, dari sini kita bisa melihat pemandangan kota Kyoto dengan menara Kyoto yang terlihat kecil. Kuil ini dibangun dengan material bangunan berupa kayu yang kuat. Sore itu kuil ini ramai sekali dan ada banyak wisatawan yang juga menyewa kimono. Sayangnya sore itu hujan turun, sehingga kami kurang puas untuk berkeliling. Tahun sebelumnya saya juga tak kuat berkeliling area kuil ini karena kelelahan. Jadi karena hari semakin gelap, maka  kami kembali ke tempat penyewaan kimono lalu bertukar pakaian lagi. Setelah itu kami makan malam dan kembali ke apartemen.
Pukul 10 pagi kami meninggalkan Kyoto dengan menumpangi kereta cepat Shinkansen Nozomi N700 dari stasiun Kyoto. Hanya 30 menit perjalanan dengan harga tiket yang cukup mahal ¥5070  kami tiba di kota Nagoya. Kota yang sama sekali baru bagi kami bertiga, sehingga kami harus kembali mempelajari rutenya.
Sebenarnya kami berencana ke Nagoya Castle di Inuyama, namun lokasinya cukup jauh dari stasiun, sementara uang yen kami sudah semakin tipis, sehingga kami putuskan untuk duduk-duduk saja di coffee shop di dalam stasiun. Kami juga sempat membeli obat di drug store lokal lalu menikmati sore di dekat air mancur depan stasiun
Menjelang matahari terbenam kami bergerak ke Nagoya Port. Tempat ini di luar rencana kami, karena rencananya dibuat mendadak hari itu juga. Dan tanpa kami duga, tempat ini ternyata bagus sekali. Tidak terlalu ramai tapi enak untuk dinikmati. Itu adalah kali pertama saya mengunjungi port yang bersih, tertata apik dan tidak berbau anyir.
Pukul 06.30 bus yang kami tumpangi tiba di depan stasiun Hamamatsucho. Masih pagi sekali dan suasana Tokyo masih sepi. Kami masuk ke dalam stasiun, lalu menumpang membersihkan badan seadanya di dalam toilet. Lalu kami memasukkan tas lagi ke dalam loker penitipan dan melanjutkan perjalanan ke kuil Kameidoten.
Bulan Mei adalah masa di mana bunga wisteria mekar. Dan di pekarangan kuil Kameidoten ini ada banyak bunga wisteria. Sayangnya, saat kami di sana, bunga berwarna ungu yang tumbuh menggantung ini tidak begitu mekar, entah belum puncak mekarnya atau sudah lewat masa mekarnya, saya tidak paham. Jadi kami tidak terlalu lama di sana.
Setelah kelelahan di hari sebelumnya, ternyata kami tidak bisa tidur cukup lama di hari ke-7. Kami harus bangun pukul 04.30 untuk bersiap-siap ke Fuji. Itu pun kami hampir terlewat, karena saya dan Marven teringat jadwal bus kami tahun lalu adalah jam 7 pagi untuk keberangkatan bus pertama, padahal kali itu adalah golden week dan jadwal keberangkatan bus pertama adalah jam 6 pagi. Untungnya saya sempat cek itinerary begitu terbangun, sehingga kami tak sempat mandi pagi itu dan langsung bergegas ke stasiun Shinjuku
Ketika sampai di Stasiun Shinjuku, kami sempat berputar-putar, karena ternyata pool bus ke Fuji sudah berpindah tempat di gedung baru, sedangkan saya dan Marven mengingat lokasi pool yang kami tahun lalu. Dan beruntungnya kami bisa tiba pukul 05:50 di poolShinjuku Highway Express Bus itu, kami segera membayarkan tiket dan naik ke bus.
Pagi itu langit terlihat cerah, kami berharap kali ini bisa melihat gunung Fuji hingga puncaknya hari itu. Karena mengantuk, saya sempat tertidur di dalam bus hingga Marven membangunkan saya karena melihat puncak Gunung Fuji di kejauhan. Wah, senang sekali rasanya pagi itu. Setelah 2 jam perjalanan melewati jalan tol dari stasiun Shinjuku, akhirnya kami tiba di stasiun Kawaguchiko. Udara dingin menyambut kami begitu keluar dari bus. Sama seperti tahun sebelumnya, saya senang sekali dengan suasana stasiun Kawaguchiko yang bentuk bangunannya klasik itu.
Kami sengaja datang cukup pagi ke sini untuk menghindari keramaian pengunjungnya, walaupun direkomedasikan untuk mengunjungi tempat ini di siang hari setelah tengah hari untuk menghasilkan perpaduan warna terbaik. Namun setibanya kami di sana, pengunjungnya sudah cukup ramai. Sehingga kami harus bersabar untuk berfoto-foto di tempat tertentu yang memiliki spot foto terbaik, karena pengunjung menumpuk di tempat tertentu itu. Walaupun saya sangat tidak suka dengan warna pink, tapi hari itu saya merasa senang sekali berada di antar bunga-bunga yang kebanyakan berwarna pink yang sedang mekar dengan indahnya.
Lokasi Shimo-Yoshida tak jauh dari Kawaguchiko, hanya 10 menit perjalanan dengan kereta. Dari stasiun Shimo-Yoshida yang kecil itu kami berjalan kaki selama sekitar 10 menit hingga tiba ke kuil Arakura-sengen dan barisan anak tangga menuju pagoda Chureito. Entah berapa banyak anak tangga yang harus kami daki hingga tiba di pagoda itu, sampai saya harus berhenti berkali-kali. Tapi lelahnya terbayar ketika melihat pemandangan yang kami dapat dari pagoda, pemandangan yang banyak ditemukan di foto-foto promosi pariwisata Jepang, pagoda Chureito dengan latar belakang gunung Fuji.
Awalnya kami mau merekam aktivitas orang-orang di pedestrian yang terkenal itu, tapi karena hujan, kami takut kamera kami rusak, jadi kami putuskan untuk ke Takeshita Dori, shoppingstreet yang terkenal di Harajuku. Kami makan malam terlebih dahulu di gerai makanan cepat saji khas Jepang yang ada tepat di seberang stasiun Harajuku, lalu menjelejahi jalanan yang ramai oleh remaja Jepang itu. Berbeda dengan Nakamise, kebanyakan barang yang dijajakan di Takeshita Dori ini adalah barang fashion, terutama yang sedang menjadi trend bagi anak muda Jepang.
Hari ke-8: Tokyo – Jakarta
Dan tibalah hari terakhir perjalanan kami di Jepang. Malam sebelumnya kami memutuskan untuk bangun agak siang. Kami baru bangun pukul 08.00 lalu segera mengemasi barang-barang kami dan bergerak ke stasiun Shibuya. Di sana kami menitipkan bawaan kami di loker penyimpanan lalu melanjutkan perjalanan ke stasiun Sendagaya dan berjalan kaki ke Shinjuku Gyoen National Park.
Tempat ini juga sudah saya kunjungi tahun lalu, dan alasannya masih sama, tahun lalu saya tak bisa banyak menikmati taman itu karena hujan. Dan pagi itu langit Tokyo cerah sekali, kami puas berlama-lama menjalani taman yang terluas di Tokyo tersebut. Sama seperti taman kebanyakan di Jepang, Shinjuku Gyoen pun akan lebih indah untuk dikunjungi ketika bunga Sakura mekar, dan saya tetap senang walaupun masa mekar Sakura sudah selesai, karena pengunjungnya jadi lebih sedikit. Saya memang lebih suka mendatangi tempat wisata di  tempat yang tenang dan sepi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H