Sebagaimana seorang raja hendaknya mampu menjadi raja yang baik, memberikan teladan sesuai dengan martabat raja, seorang menteri hendaknya menjadi menteri yang baik sesuai dengan jabatannya, seorang ayah hendaknya menjadi seorang ayah yang baik sesuai sebutannya, seorang anak hendaknya menjadi anak yang baik sesuai sebutannya (S. Reksosusilo, Sejarah Awal Filsafat Timur, hal.47). Sangatlah miris, jika seorang pemimpin bertingkah layaknya seorang preman atau seorang ayah bertingkah seperti anak remaja yang bingung mengenai jati dirinya. Misalnya ikut tawuran supaya bisa diterima dengan baik dalam suatu kelompok, biar dibilang anak-anak millenial. Justru ketika tingkah laku tidak diolah dengan baik, maka dari sinilah munculnya bibit kehancuran.Â
 Mengandung kewajiban etisÂ
Penegakan nama bertujuan untuk memperjelas eksistensi seseorang terutama berkaitan dengan peran dan tanggung jawabnya dalam kehidupan bersama. Setiap nama bukan direduksi untuk menggolongkan manusia berdasarkan kelas tertentu. Misalnya, nama digunakan untuk memisahkan orang kaya dengan orang miskin, orang pintar dan orang bodoh, orang malas dan orang orang rajin, dan seterusnya. lebih dari pada itu, nama mengandung implikasi tertentu sehingga setiap orang mesti sadar dan tahu apa tugas dan tanggung jawabnya, akan esensi idealnya yang mesti dipenuhi.
Dalam tataran para penguasa (mereka yang bergumul dalam pemerintahan), penegakan nama menjadi semacam daya imperatif. Mengapa demikian? Bukankah itu sebuah diktum yang lebih berujung pada sikap diskrimnatif? Seolah-olah rakyat biasa bisa melakukan apa saja, sesuka hati. Tanpa terikat oleh aturan apa pun. Daya imperatif yang dimaksudkan bukanlah untuk memojokkan atau memberatkan beban terhadap golongan tertentu. Confucius meletakkan dalil dasarnya bahwa kemajuan dan kemakmuran suatu negara sangat ditentukan oleh seorang pemimpin. Jika pemimpin tidak mampu memberikan teladan yang baik, maka negara otomatis kacau balau. Konsekuensinya adalah seorang pemimpin dipanggil untuk berjalan dalam jalannya sebagai pemimpin. Pemimpin wajib peka terhadap kebutuhan bawahannya, menegakkan keadilan, memiliki sikap empati, setia pada kebenaran, kelemah lembutan dalam memerintah dan berbagai macam kebajikan lainnya yang mesti diterapkan oleh seorang pemimpin demi tercapainya bonum commune.
Berkaitan dengan cara seorang pemimpin untuk memerintah, Confucius sendiri berkata: Bila rakyat diperintah dengan kasar, dan ketertiban diciptakan dengan hukuman, maka rakyat akan tertib; tetapi ketaatan itu hanya sekedar formalitas, rakyat hanya takut dihukum bukan karena mereka malu berbuat pelanggaran. Â Sebaliknya, bila rakyat diperintah dengan bijak dan bermoral, serta ketertiban dipelihara oleh ritual kesopanan, maka rakyat akan baik karena mereka punya rasa malu jika melanggar hukum (Tsai Chih Chung, the saying of confucius, hal 55). Â Seyogianya, seorang pemimpin mesti mempunyai tanggung jawab dalam segala tindakan sesuai identitasnya. Bila melakukan sesuatu yang bertentangan dengan identitasnya, maka ia hanya menjadi manusia picik, manusia rendah (xiao ren). Â Andai kata para pemimpin bisa memenuhi kewajiban mereka dengan baik, maka sangatlah jelas esensi ideal mereka sebagai pemimpin. Mereka layak menyandang nama sebagai pemimpin tidak hanya dalam nama namun juga dalam kenyataan hidup sehari-hari. Istilah yang lebih tepat dalam filsafat Cina adalah berada dalam "jalan penguasa."
Â
Transformasi diri
      Hemat saya, kontinuitas dari penegakan nama (rectification of names) akan menghantar setiap orang untuk berani keluar dari diri sendiri, berani menggalkan buaian kenyamanan menuju yang lain. Dalam filsafat Yunani klasik titik berangkat menggapai yang lain disebut sebagai perbuatan MENJADI. Maka sekaligus menjadi jelas bahwa nama yang dimiliki oleh setiap individu membantu  mengarahkan pengungkapan identitas diri seseorang. Dalam hal ini, saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Martha Nussbaum "Hidup tidak hanya berurusan dengan dirimu sendiri, dengan segala kepentingan personalmu. Hidup itu soal bagaimana menerima kenyataan bahwa engkau rela berbagi bersama yang lain dan bagaimana engkau melakukan perbuatan baik bagi orang lain."
      Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa salah satu panggilan esensial manusia adalah memenuhi undangan untuk berlayar bersama yang lain seturut indentitas yang dimiliki oleh setiap individu. Pelayaran mengingatkan setiap individu, betapa pentingnya peran setiap orang, betapa tergantungnya kita akan keandilan orang lain untuk membantu mencapai tujuan hidup. Sehingga pelayaran itu hanya mungkin jika ada orang lain yang selalu mendukung dan mendorong perahu kehidupan kita. Sekali lagi dan lagi, ada bersama yang lain berarti kita siap dibentuk, siap untuk mendistribusikan segala potensi khas yang kita miliki demi membangun dialektika hidup yang harmonis.
Penegakan nama hanya bisa diaksentuasikan lewat tanggapan dari setiap individu untuk memenuhi setiap undangan bercorak kemanusiaan. dikatakan demikian karena tujuan akhir dari penegakan nama yang dicetuskan oleh Confucius adalah demi tercapainya kehidupan bersama yang harmonis, adil, dan damai. Tata hidup bersama sangat bergantung pada kepekaan, rasa memiliki tugas dan tangggung jawab yang penuh sebagai manusia. alhasil manusia bisa kembali ke fitrah awalnya sebagai manusia yang bermakhluk sosial.
Â