Mohon tunggu...
Sonideritus Bandung
Sonideritus Bandung Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penegakan Nama Menurut Confucius

14 April 2021   09:16 Diperbarui: 14 April 2021   09:16 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 PENEGAKAN NAMA MENURUT CONFUCIUS

Istilah "Penegakan Nama" atau dalam filsafat Cina merupakan salah satu kunci dasar untuk  mengolah kebajikan dasar manusia. Istilah ini dipelopori oleh Confucius. Tujuan dasarnya adalah penegakan tingkah laku yang nantinya berujung pada membangun relasi yang harmonis, menciptakan kesejahteraan, mengarahkan tujuan hidup manusia terlebih khusus berkaitan dengan identitas yang disematkan pada masing-masing individu. Apabila setiap orang hidup seturut namanya dalam arti tahu tugas dan tanggung jawabnya, maka niscaya kehidupan bermasyarakat akan adil dan damai.

Interpretasi antrolopologis

Usaha penegakan nama dalam Confucius, sejatinya sangatlah sederhana. Fokus persoalannya lebih berkecimpung tindakan-tindakan konkret manusia, down to earth. Bagaimana manusia mesti bertingkah sesuai dengan nama yang disandangnya. Tidak merembes sampai pada nuansa metafisik seperti yang dicetuskan oleh para filsuf Yunani. Dalam hal ini, saya tidak sedang membandingkan antara filsuf yang satu dengan yang lain. Tentu saja, teori yang mereka wariskan memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing.

Dalam terang pemikiran Confucius setiap realitas mempunyai nama atau identitasnya masing-masing. Nama itu telah dirancang seturut fungsi dan peran masing-masing dalam kehidupan bersama. Antara nama dan bagaimana melaksanakan tugas, Confucius beranggapan bahwa tugas yang dijalankan oleh manusia sudah inheren di dalam dirinya seturut nama yang diterimanya sejak awal. Jika sebagai petani, sebaiknya tidak perlu lagi bingung dengan tugas dan tanggung jawab yang perlu dijalankan. Apalagi kalau bertanya, apa yang harus dilakukan ketika sampai di kebun atau pakaian seperti apa yang harus dipakai ketika menanam tomat. Demikian juga halnya jika seseorang sebagai mahasiswa. Semestinya tidak perlu lagi cemas dengan tugas yang mesti diemban setiap hari. Misalnya mengerjakan tugas, mengikuti perintah dosen, menghargai undangan untuk selalu berdisiplin,  mengembangkan visi misi kampus, dan lain sebagainya.  Semuanya itu menjadi tugas pokok yang sudah mendarah daging bagi mahasiswa sehingga penegakan nama yang dicetuskan dapat tercapai. 

Penegakan nama hanyalah sebuah eufemisme untuk  menggerakan setiap orang agar selalu berada dalam jalur hidupnya, untuk selalu berkecimpung dengan dunia nyata. Setia dengan segala perkara, baik yang dihadapi oleh diri sendiri maupun yang turut dialami oleh orang lain. Dalam arti demikian, manusia mungkin bisa mengatasi segala kemiskinan, ketidakadilan, ketamakan, korupsi, acuh tak acuh, egoisme, serta berbagai macam tindakan non moral lainnya.

 Penegakan Tingkah laku

Menurut Confucius, penegakan nama pertama-tama lebih  berorientasi pada penegakan tingkah laku seseorang dalam hidup bersama. Bahkan ini menjadi optio Fundamental  agar manusia bisa menjalin relasi yang baik dengan sesama. Setiap nama yang disematkan pada seseorang seharusnya disesuaikan dengan karakter dan tindakan seseorang dengan cita-cita normatif yang terkandung dalam nama-nama relasi fundamental manusia (John M. Koller, Filsafat Asia. hal 548).

  Nama kiranya menjadi sebuah tanda yang khas bagi setiap individu untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan bersama dengan cara atau corak hidup yang khas pula.

Mengapa Confucius memberikan  perhatian khusus terhadap tingkah laku  seseorang dalam mengolah kebajikan moral? Karena tingkah laku menentukan hasil yang dicapai. Hasil yang dicapai akan menjadi tolak ukur apakah seseorang sudah berhasil menjadi manusia atau belum. Mungkin saja secara hakikat, seseorang dikatakan manusia, namun bila hidup tidak memberikan makna, hanya asal bernafas, apakah bedanya manusia dengan hewan. Manusia mestinya lebih unggul dalam bertingkah laku karena telah dikaruniai akal budi. Menggunakan akal budi dengan baik dan benar berarti berpikir dan bertindak sebagaimana layaknya manusia bermoral. Apabila tingkah laku seseorang tidak mencerminkan identitas yang dimiliki, apakah gunanya nama tersebut? 

Penegakan tingkah laku yang dimaksudkan oleh Confucius memiliki relasi timbal balik. Relasi ini merupakan satu kesatuan yang utuh, saling melengkapi. Baik antara orang yang dipimpin maupun mereka yang memberikan mandat khusus untuk memimpin merupakan suatu padanan yang utuh demi tercapainya kehidupan bersama yang makmur.   Berkenaan dengan relasi tersebut, Confucius membagi atas lima hubungan mendasar, yaitu:  relasi pemerintah dengan rakyat, ayah dengan anak, suami dengan isteri, kakak dengan adik, dan teman dengan teman. Pemerintah sepantasnya bertingkah yang baik dengan masyarakat, menghargai segala aspirasi yang mereka sampaikan. 

    Sebagaimana seorang raja hendaknya mampu menjadi raja yang baik, memberikan teladan sesuai dengan martabat raja, seorang menteri hendaknya menjadi menteri yang baik sesuai dengan jabatannya, seorang ayah hendaknya menjadi seorang ayah yang baik sesuai sebutannya, seorang anak hendaknya menjadi anak yang baik sesuai sebutannya (S. Reksosusilo, Sejarah Awal Filsafat Timur, hal.47). Sangatlah miris, jika seorang pemimpin bertingkah layaknya seorang preman atau seorang ayah bertingkah seperti anak remaja yang bingung mengenai jati dirinya. Misalnya ikut tawuran supaya bisa diterima dengan baik dalam suatu kelompok, biar dibilang anak-anak millenial. Justru ketika tingkah laku tidak diolah dengan baik, maka dari sinilah munculnya bibit kehancuran. 

 Mengandung kewajiban etis 

Penegakan nama bertujuan untuk memperjelas eksistensi seseorang terutama berkaitan dengan peran dan tanggung jawabnya dalam kehidupan bersama. Setiap nama bukan direduksi untuk menggolongkan manusia berdasarkan kelas tertentu. Misalnya, nama digunakan untuk memisahkan orang kaya dengan orang miskin, orang pintar dan orang bodoh, orang malas dan orang orang rajin, dan seterusnya. lebih dari pada itu, nama mengandung implikasi tertentu sehingga setiap orang mesti sadar dan tahu apa tugas dan tanggung jawabnya, akan esensi idealnya yang mesti dipenuhi.

Dalam tataran para penguasa (mereka yang bergumul dalam pemerintahan), penegakan nama menjadi semacam daya imperatif. Mengapa demikian? Bukankah itu sebuah diktum yang lebih berujung pada sikap diskrimnatif? Seolah-olah rakyat biasa bisa melakukan apa saja, sesuka hati. Tanpa terikat oleh aturan apa pun. Daya imperatif yang dimaksudkan bukanlah untuk memojokkan atau memberatkan beban terhadap golongan tertentu. Confucius meletakkan dalil dasarnya bahwa kemajuan dan kemakmuran suatu negara sangat ditentukan oleh seorang pemimpin. Jika pemimpin tidak mampu memberikan teladan yang baik, maka negara otomatis kacau balau. Konsekuensinya adalah seorang pemimpin dipanggil untuk berjalan dalam jalannya sebagai pemimpin. Pemimpin wajib peka terhadap kebutuhan bawahannya, menegakkan keadilan, memiliki sikap empati, setia pada kebenaran, kelemah lembutan dalam memerintah dan berbagai macam kebajikan lainnya yang mesti diterapkan oleh seorang pemimpin demi tercapainya bonum commune.

Berkaitan dengan cara seorang pemimpin untuk memerintah, Confucius sendiri berkata: Bila rakyat diperintah dengan kasar, dan ketertiban diciptakan dengan hukuman, maka rakyat akan tertib; tetapi ketaatan itu hanya sekedar formalitas, rakyat hanya takut dihukum bukan karena mereka malu berbuat pelanggaran.  Sebaliknya, bila rakyat diperintah dengan bijak dan bermoral, serta ketertiban dipelihara oleh ritual kesopanan, maka rakyat akan baik karena mereka punya rasa malu jika melanggar hukum (Tsai Chih Chung, the saying of confucius, hal 55).  Seyogianya, seorang pemimpin mesti mempunyai tanggung jawab dalam segala tindakan sesuai identitasnya. Bila melakukan sesuatu yang bertentangan dengan identitasnya, maka ia hanya menjadi manusia picik, manusia rendah (xiao ren).  Andai kata para pemimpin bisa memenuhi kewajiban mereka dengan baik, maka sangatlah jelas esensi ideal mereka sebagai pemimpin. Mereka layak menyandang nama sebagai pemimpin tidak hanya dalam nama namun juga dalam kenyataan hidup sehari-hari. Istilah yang lebih tepat dalam filsafat Cina adalah berada dalam "jalan penguasa."

 

Transformasi diri

            Hemat saya, kontinuitas dari penegakan nama (rectification of names) akan menghantar setiap orang untuk berani keluar dari diri sendiri, berani menggalkan buaian kenyamanan menuju yang lain. Dalam filsafat Yunani klasik titik berangkat menggapai yang lain disebut sebagai perbuatan MENJADI. Maka sekaligus menjadi jelas bahwa nama yang dimiliki oleh setiap individu membantu  mengarahkan pengungkapan identitas diri seseorang. Dalam hal ini, saya sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Martha Nussbaum "Hidup tidak hanya berurusan dengan dirimu sendiri, dengan segala kepentingan personalmu. Hidup itu soal bagaimana menerima kenyataan bahwa engkau rela berbagi bersama yang lain dan bagaimana engkau melakukan perbuatan baik bagi orang lain."

            Rasanya tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa salah satu panggilan esensial manusia adalah memenuhi undangan untuk berlayar bersama yang lain seturut indentitas yang dimiliki oleh setiap individu. Pelayaran mengingatkan setiap individu, betapa pentingnya peran setiap orang, betapa tergantungnya kita akan keandilan orang lain untuk membantu mencapai tujuan hidup. Sehingga pelayaran itu hanya mungkin jika ada orang lain yang selalu mendukung dan mendorong perahu kehidupan kita. Sekali lagi dan lagi, ada bersama yang lain berarti kita siap dibentuk, siap untuk mendistribusikan segala potensi khas yang kita miliki demi membangun dialektika hidup yang harmonis.

Penegakan nama hanya bisa diaksentuasikan lewat tanggapan dari setiap individu untuk memenuhi setiap undangan bercorak kemanusiaan. dikatakan demikian karena tujuan akhir dari penegakan nama yang dicetuskan oleh Confucius adalah demi tercapainya kehidupan bersama yang harmonis, adil, dan damai. Tata hidup bersama sangat bergantung pada kepekaan, rasa memiliki tugas dan tangggung jawab yang penuh sebagai manusia. alhasil manusia bisa kembali ke fitrah awalnya sebagai manusia yang bermakhluk sosial.

 

Pusataka 

John M. Koller, Filsafat Asia, judul asli Asian Philosophies, penerj: Donatus Sermada, Maumere:Ledalero,2001

S. Reksosusilo, Sejarah Awal Filsafat Timur, Malang : Pusat Publikasi Filsafat Teologi widya sasana

Tsai Chih Chung, The Saying Of Confucius, Elex Media Komputindo:Jakarta, 2011

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun