Ketidaksempurnaan adalah bagian dari kesempurnaan itu sendiri, oke?
Ketika kita dijanjikan sebuah film yang bercerita tentang seorang pahlawan, tokoh besar, orang baik, ahli surga atau apa pun namanya, yang terbersit di pengharapan kita adalah sosok sempurna tiada cacat, kan?Â
Saat kita menonton film atau drama demikian, adalah normal bila hati kita berharap bahwa kita juga memiliki sosok seperti itu dalam kehidupan kita. Iya, kan? Namun sayangnya, kita hidup di dunia nyata, bukan film yang dapat direncanakan perjalanan kisahnya.
Ada banyak pujian ditujukan kepada film animasi Nussa karena kualitas animasinya yang luar biasa bagus, dan yang paling utama tentu pesan moral yang disampaikannya begitu sederhana dan mudah dipahami anak-anak. Dari semua akhlak baik dari tokoh Nussa, keluarga dan teman-temannya itu, sebenarnya kita juga harus "memuji" sikap buruk Nussa yang tampak dalam film ini. Loh, kok sikap buruk dipuji?
 Begini, kita tentu akan memuji tokoh Nussa sebagai anak yang merepresentasikan akhlak Islam yang sesungguhnya. Namun, kita juga harus paham bahwa yang sempurna adalah Islam sebagai agama, bukan individu yang menganutnya.Â
Nussa juga demikian. Ketika Nussa merajuk, marah, iri, dan bahkan berprasangka buruk kepada Umma (ibunya Nussa), saat itulah kita harus memuji Nussa karena anak ini memang benar-benar anak biasa, manusia biasa yang penuh kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.Â
Ia tidak selalu benar, tidak pula selalu senyum dan tidak bisa marah. Pokoknya, Nussa adalah manusia biasa yang kemudian mesti memohon maaf atas semua kesalahan dan kekurangan.
Dalam hidup kita selalu ingin punya pasangan yang sempurna, anak yang sempurna, orangtua yang sempurna dan sahabat-sahabat yang sempurna. Iya, kan?Â
Jujur saja, karena kita pasti pernah marah saat orang terdekat kita berbuat yang tidak kita suka, kita pasti pernah membandingkan mereka dengan seseorang yang lain atau artis di film atau drama, atau mungkin kita tiba-tiba menyesal kenapa pasangan kita bukan Si A atau Si B atau Si Z sekalian.
Saat Nussa berperilaku buruk karena rasa iri yang muncul dalam dadanya, apakah Umma marah? Apakah Abba (ayahnya Nussa) marah saat Nussa marah-marah karena Abba tidak bisa menepati janji?Â
Lalu, apakah Umma juga marah saat Abba sibuk dengan pekerjaannya sampai rela berpisah jauh dari keluarga? Marahkah Rara (adik Nussa) saat kakaknya mengabaikannya? Apakah Syifa dan Abdul berkurang rasa kasih sayangnya ke Nussa karena Nussa bersikap buruk kepada mereka? Kata "TIDAK" adalah jawaban untuk semua pertanyaan itu.
Secara tersirat, entah memang sudah didesain oleh pembuat film, semua momen itu mengajarkan kepada kita bahwa setiap individu yang hadir dalam kehidupan kita akan (pernah) membuat kita tidak nyaman dan tidak senang.Â
Tidak ada satu saja manusia yang sempurna, sehingga setiap sikap seseorang yang tidak baik itu "harus" kita terima dengan lapang dada. Kemudian, kita perlu mengenal orang-orang yang ada di dekat kita secara baik sebelum memutuskan "posisi" orang tersebut dalam kehidupan kita sebagaimana Nussa yang justru jadi teman baik Joni setelah mereka sama-sama terkurung di ruangan sekolah.
Ingat, yang sempurna adalah Islam, bukan Nussa, bukan manusia, dan tentu bukan penulis dan pembaca tulisan ini. Ketidaksempurnaan kita justru akan membuat kita menjadi sempurna, karena dengan itu kita terus belajar dan berbenah diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H