Abstrak
Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dalam dunia Islam, memberikan pandangan mendalam mengenai akhlak mazmumah (karakter tercela) seperti hidup berfoya-foya, takabur, riya', dan sum'ah. Artikel ini mengeksplorasi ajaran Al-Ghazali terkait pentingnya menghindari akhlak-akhlak tersebut untuk mencapai kesucian jiwa dan keberkahan hidup.Â
Berdasarkan pandangan Imam Al-Ghazali serta dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis, artikel ini menguraikan dampak negatif dari akhlak-akhlak mazmumah serta cara-cara menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Al-Ghazali menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) melalui kesederhanaan, kerendahan hati, keikhlasan, dan ketulusan dalam setiap tindakan.
Kata Kunci:Â Imam Al-Ghazali, akhlak mazmumah, hidup berfoya-foya, takabur, riya', sum'ah, tazkiyatun nafs, keberkahan.
Pendahuluan
Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cerminan keimanan seseorang. Akhlak mazmumah, atau karakter yang tercela, tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan antar sesama manusia. Imam Al-Ghazali, seorang tokoh besar dalam bidang tasawuf dan etika Islam, memberikan perhatian khusus pada akhlak mazmumah dan dampaknya terhadap spiritualitas manusia.Â
Menurut Al-Ghazali, hidup berfoya-foya, takabur, riya', dan sum'ah merupakan penyakit hati yang dapat menghalangi seseorang dari mencapai kebahagiaan yang sejati dan keberkahan hidup.
Artikel ini mengkaji pandangan Al-Ghazali tentang empat jenis akhlak mazmumah tersebut dan bagaimana cara menghindarinya, disertai dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis. Selain itu, artikel ini juga menawarkan pendekatan praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tazkiyatun nafs, atau penyucian jiwa, yang menjadi inti dari ajaran Imam Al-Ghazali.
1. Hidup Berfoya-Foya dalam Pandangan Al-Ghazali
Hidup berfoya-foya, atau dikenal sebagai sifat israf dalam Islam, merujuk pada perilaku yang berlebihan dalam memanfaatkan harta dan kenikmatan dunia. Menurut Imam Al-Ghazali, israf bukan hanya soal pemborosan dalam hal materi, tetapi juga pemborosan dalam waktu dan kesempatan hidup. Al-Ghazali menekankan pentingnya hidup dalam kesederhanaan dan tidak terjebak dalam kenikmatan dunia yang fana.
Al-Qur'an mengingatkan umat Islam untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan nikmat Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-A'raf:
"Dan makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf [7]: 31)
Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin menekankan bahwa hidup berlebihan akan mengeraskan hati dan menjauhkan seseorang dari Allah. Orang yang berfoya-foya akan lebih sibuk dengan urusan duniawi daripada urusan akhirat. Menurutnya, seorang Muslim harus mengutamakan kesederhanaan dan bersyukur atas nikmat yang diberikan, tanpa terjebak dalam kerakusan.
2. Takabur Menurut Imam Al-Ghazali
Takabur atau kesombongan adalah penyakit hati yang berbahaya, yang dapat merusak amal perbuatan seseorang. Al-Ghazali dalam bukunya, Ihya' Ulumuddin, menyebutkan bahwa takabur adalah perasaan merasa diri lebih baik daripada orang lain dalam hal apapun, baik itu dalam hal harta, ilmu, atau kedudukan. Menurutnya, takabur adalah bentuk kezaliman terhadap diri sendiri, karena hanya Allah yang layak disombongkan.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman [31]: 18)
Hadis Nabi juga menjelaskan bahaya takabur:
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi." (HR. Muslim)
Al-Ghazali menekankan bahwa takabur tidak hanya merusak hubungan dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia. Kesombongan akan memicu kebencian dan perpecahan di antara manusia, serta menghalangi seseorang untuk menerima kebenaran dan nasihat. Untuk menghindari takabur, Al-Ghazali menyarankan umat Islam untuk selalu mengingat keterbatasan manusia dan betapa lemahnya kita tanpa bantuan Allah.
3. Riya' Menurut Imam Al-Ghazali
Riya' adalah perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk dipuji oleh orang lain, bukan karena Allah. Menurut Imam Al-Ghazali, riya' merupakan salah satu bentuk kemunafikan yang sangat halus. Riya' tidak hanya merusak amal seseorang, tetapi juga menunjukkan bahwa hati seseorang tidak ikhlas dalam beribadah kepada Allah.
Dalam Al-Qur'an, Allah memperingatkan orang-orang yang beramal karena riya':
"Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya'." (QS. Al-Ma'un [107]: 4-6)
Rasulullah SAW juga bersabda:
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kamu sekalian adalah syirik kecil." Para sahabat bertanya, "Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Riya'." (HR. Ahmad)
Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa seseorang harus selalu mengintrospeksi niatnya dalam beramal. Niat yang tulus dan ikhlas kepada Allah adalah syarat utama diterimanya amal. Untuk menghindari riya', Al-Ghazali menyarankan agar kita senantiasa mengingat bahwa hanya Allah yang berhak menilai amal, dan pujian dari manusia tidak memiliki nilai apa-apa di akhirat.
4. Sum'ah Menurut Imam Al-Ghazali
Sum'ah adalah keinginan untuk dikenal dan dipuji karena suatu amal atau kebaikan yang dilakukan. Jika riya' berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan di hadapan orang lain, sum'ah berkaitan dengan amal yang disebarkan setelah perbuatan tersebut selesai, dengan harapan mendapat pengakuan. Al-Ghazali menjelaskan bahwa sum'ah adalah bentuk dari mencari popularitas dan reputasi di dunia, yang dapat merusak keikhlasan seseorang.
Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk sum'ah (agar orang mendengarnya), maka Allah akan mempermalukannya, dan barangsiapa berbuat untuk riya' (agar orang melihatnya), maka Allah akan mempermalukannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Al-Ghazali, sum'ah mengandung bahaya yang sama dengan riya'. Orang yang selalu mencari pengakuan dari manusia akan kehilangan keberkahan dalam amalnya. Amal yang ikhlas semata-mata karena Allah akan lebih bernilai di mata Allah daripada amal yang dilakukan untuk mengejar popularitas dunia.
Dampak Sosial dan Spiritual Akhlak Mazmumah
Hidup berfoya-foya, takabur, riya', dan sum'ah memiliki dampak yang serius terhadap kehidupan sosial dan spiritual seseorang. Secara sosial, sifat-sifat ini menciptakan ketidakseimbangan dalam hubungan antarindividu, menimbulkan persaingan yang tidak sehat, iri hati, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Secara spiritual, penyakit-penyakit hati ini menghalangi seseorang dari mencapai kedekatan dengan Allah, menghapus pahala amal, dan menutup pintu keberkahan.
Al-Ghazali mengajarkan bahwa tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) adalah kunci untuk menghindari akhlak mazmumah ini. Dengan membersihkan hati dari penyakit seperti hidup berfoya-foya, takabur, riya', dan sum'ah, seseorang akan mendapatkan kedamaian batin dan hidup yang diberkahi.
Kesimpulan
Ajaran Imam Al-Ghazali tentang akhlak mazmumah menekankan pentingnya kesederhanaan, kerendahan hati, keikhlasan, dan ketulusan dalam setiap perbuatan. Hidup berfoya-foya, takabur, riya', dan sum'ah adalah penyakit hati yang dapat merusak hubungan manusia dengan Allah dan sesama manusia. Dengan mendalami ajaran Al-Ghazali serta berpegang pada dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis, kita dapat menjaga diri dari perilaku negatif ini dan meraih kehidupan yang penuh keberkahan dan kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H